PKS Akan Gugat Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi

author Seno

- Pewarta

Jumat, 01 Apr 2022 04:56 WIB

PKS Akan Gugat Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi

i

images (56)

Optika.id - PKS (Partai Keadilan Sejahtera) akan mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tentang presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi.

Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengatakan partainya ingin menguji soal berapa angka ambang batas pencalonan presiden yang ideal di negara demokrasi, khususnya Indonesia.

Baca Juga: Sehari Dilantik, Yusril Mengatakan Jika Tragedi Mei 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat

"Kita ingin uji sebenarnya berapa angka yang wajar dan layak bagi kehidupan demokrasi di Indonesia," kata Syaikhu dalam keterangannya, Kamis (31/3/2022).

Dia mengulas penerapan presidential threshold 20 persen selama ini dinilainya menimbulkan polarisasi yang kuat di masyarakat.

"Polarisasi yang kuat di antara anak bangsa ini akan menimbulkan pembelahan yang tajam yang jika tidak segera dipulihkan bisa menyimpan rasa sakit," katanya.

Dia menyebut akan mengurangi potensi konflik dan polarisasi tersebut. Salah satunya, ujar dia, dengan menolak pencalonan presiden terbatas hanya pada dua pasang calon.

"Kita ingin mengurangi potensi konflik di tengah masyarakat dengan tidak terjadinya pembelahan akibat hanya adanya dua pasang calon, misalnya," ujarnya. Dia pun akan menggunakan hak konstitusi dengan membawa presidential threshold ke MK.

"PKS sebagai bagian dari kehidupan demokrasi bangsa akan menggunakan hak konstitusi dengan menguji presidential threshold ke MK. PKS sebagai partai politik juga memiliki legal standing yang pas sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden," imbuhnya.

MK Tolak Gugatan Partai Ummat

Sebelumnya, gugatan Partai Ummat agar presidential threshold menjadi 0 persen ditolak hakim Mahkamah Konstitusi.

Permohonan Partai Ummat diwakili oleh Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekjen A Muhajir. MK menilai parpol yang memiliki legal standing adalah yang pernah berlaga di Pemilu 2019 atau sebelumnya, bukan partai baru.

"Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2020 tersebut di atas, maka partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik yang sudah pernah menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya," kata Wakil Ketua MK Aswanto saat membacakan putusan MK yang disiarkan di channel MK seperti dikutip Optika.id, Kamis (31/3/2022).

Menurut MK, Partai Ummat dalam permohonan tersebut adalah partai politik yang baru terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. MK menilai Partai Ummat belum pernah diverifikasi oleh KPU, baik administrasi maupun faktual, sebagaimana halnya persyaratan untuk menjadi partai politik peserta pemilihan umum.

"Mahkamah partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta pemilihan umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan a quo," ujar Aswanto.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Partai Ummat tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

"Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," ujar Aswanto.

Selain itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti mengakui sangat sulit menghapus presidential threshold, karena sudah 19 kali digugat dan kalah. Namun, keduanya optimis dengan menyajikan sejumlah argumen baru, salah satunya mencontohkan dengan Uruguay. "Uruguay adalah Negara Kesatuan Republik Demokrasi Perwakilan dengan sistem Presidensial. Sistem pemilihan presiden Uruguay dilakukan tanpa menggunakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold)," demikian bunyi pemohon yang dikutip dari berkas permohonan yang dilansir website MK seperti dikutip Optika.id, Kamis (31/3/2022).

Baca Juga: PKS Sebut Indonesia Tak Ada Oposisi, Yang Mengontrol DPR

Di Uruguay, setiap partai politik diwajibkan untuk mengajukan kandidat presidennya masing-masing dan pemenangnya ditentukan dengan sistem 2 ronde. Pada pemilihan presiden tahun 2019, terdapat 11 partai politik yang mencalonkan 11 kandidat presiden masing-masing. Uruguay seperti di Indonesia yaitu menganut multipartai dengan 6 partai politik yang berada di dalam parlemen (majelis rendah dan majelis tinggi) dan 10 parpol yang berada di luar parlemen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Lebih spesifik, Uruguay dapat diambil menjadi contoh negara dengan sistem presidensial, multipartai, dan desain kepemiluan yang dekat dengan Indonesia," bebernya.

Desain pemilu Uruguay dilakukan secara serentak, Presiden dan Wakil Presiden juga dipilih dalam 1 pasang, di mana threshold keterpilihan Presiden apabila meraih lebih dari 50% suara, jika tidak maka akan diadakan putaran kedua.

Pemilhan umum di Uruguay diselenggarakan oleh badan independen berupa Mahkamah Pemilu yang terdiri dari 9 anggota dan menjabat selama 5 tahun. Terkait dengan kandidasi Presiden, setiap partai politik di Uruguay diwajibkan mengusung pasangan calon.

"Saat ini, Urugay menempati peringkat 15 dari 167 negara indeks demokrasi dunia, di mana terklasifikasi sebagai demokrasi penuh. Berbeda dengan Indonesia yang menempati urutan ke 64 dengan klasifikasi demokrasi tidak sempurna," tukasnya.

Pemohon juga mencontohkan sistem pemilihan lain yang tidak mengenal presidential threshold. Seperti di Peru, Brasil, Meksiko, Kolombia, Afghanistan, Zambia, Sierra Leone, Ghana, Nigeria, Ekuador, hingga Chili.

"Menurut peneliti politik terkemuka di tanah air, Burhanuddin Muhtadi, bahwa penerapan presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya. Persyaratan tersebut dinilai aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya. Bahkan di Amerika Serikat, calon independen pun bisa maju sebagai calon presiden. Perlu digarisbawahi, di negara lain presidential threshold bertujuan sebagai syarat untuk menang setelah pemilihan presiden berlangsung," tandasnya.

Di Amerika Serikat, pada 2020 tercatat 1.212 calon terdaftar di FEC (KPU-nya AS). Dari total keseluruhan calon tersebut, dalam waktu 8 bulan hingga 12 bulan kampanye hingga mendekati kira-kira 1 bulan sebelum hari pemilihan umum (general election), pada akhirnya hanya akan tersisa 4 hingga 2 pasangan.

Baca Juga: Usai Putusan MK, PKS Diminta Usung Kembali Anies Baswedan!

"Menyusutnya jumlah calon yang ribuan itu, kata Chris disebabkan etika politik para kandidat yang akan mundur dengan sendirinya apabila elektabilitas calon tersebut telah pada pemilihan presiden AS tahun ketinggalan jauh dari kandidat lainnya," ucap pemohon.

Pada Pilpres pertama kali yaitu pada 2004, presidential threshold sebesar 3 persen kursi DPR atau 5 persen suara nasional. Kemudian dinaikkan di pilpres 2009 hingga saat ini. Namun fakta politik menujukan tidak ada korelasi antara presidential threshold dengan stabilitas pemerintahan.

"Hal ini semakin membuktikan bahwa penghapusan Pasal 222 UU Pemilu tidak akan mengancam sistem presidensial, karena faktanya koalisi pemerintahan bukan hanya bisa terjadi sebelum pemilihan presiden, tetapi setelah adanya presiden terpilih," ungkapnya.

Oleh sebab itu, Yusril Ihza Mahendra dan LaNyalla Mattaliti berharap agar aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu itu dihapus. Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin dan Sultan Baktiar Najamudin.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum pemohon.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU