[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="196"] Ruby Kay[/caption]
Karena keturunan bangsawan, ia punya privilege untuk menempuh pendidikan disekolah pemerintah kolonial di Jepara. Raden Ajeng Kartini jadi mahir berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda. Namun di usia belia, Kartini terpaksa menikah dengan pria paruh baya karena dijodohkan oleh orang tua.
Baca Juga: RA. KARTINI SANG INSPIRATOR PENERJEMAHAN AL-QUR'AN DI TANAH JAWA
Mungkin karena merasa terkekang seperti burung dalam sangkar emas, Kartini sering curhat dengan JH Abendanon, salah seorang sahabatnya di Den Haag, Belanda. Lewat surat ia ungkapkan kondisi perempuan jawa yang mengalami diskriminasi gender. Tanggal 17 September 1904, sesaat setelah melahirkan, Kartini mengalami pendarahan lalu wafat.
JH Abendanon yang saat itu menjabat sebagai menteri kebudayaan dan agama Belanda punya ide untuk membukukan surat-surat tadi. Kartini diglorifikasi sedemikian rupa agar tampak hebat.
Momentum peluncuran buku curhatnya Kartini bertepatan dengan kebijakan Belanda yang sedang menjalankan politik balas budi di daerah koloni. Boom! Buku itupun laris manis diborong pembeli.
Dalam bahasa Belanda, judul buku kumpulan surat Kartini itu adalah Door Duisternis tot Licht. Terbit tahun 1911. Terjemahan aslinya ialah Dari kegelapan menuju cahaya. Tahun 1922, saat disadur oleh Armin Pane dan dicetak oleh Balai Pustaka, judulnya dirubah menjadi Habis gelap terbitlah terang.
Kesimpulan:
Kartini ingin hidup seperti wanita-wanita Eropa yang menikah karena cinta, bukan dipaksa orang tua.
Kartini ingin perempuan Jawa setara kedudukannya dengan pria.
Kartini ingin perempuan Jawa mendapat pendidikan setinggi-tingginya.
Sayangnya, Kartini mengungkapkan kegalauan itu lewat surat pribadi yang ia tujukan pada salah seorang sahabatnya di Belanda. Naskah asli surat-surat Kartini itupun sampai sekarang tak pernah jelas keberadaannya. Hanya Tuhan dan JH Abendanon yang tahu. Tak menutup kemungkinan ada beberapa bagian yang dirubah untuk kepentingan politik Belanda kala itu.
Pertanyaannya, jika gundah dengan ketidakadilan yang menimpa perempuan Jawa, mengapa Kartini tak menulis di surat kabar yang tentu bisa dibaca oleh banyak orang? Mengapa tak menulis buku? Jaman itu di Batavia sudah marak surat kabar dan penerbit lokal. Dengan statusnya sebagai bangsawan dan istri bupati Rembang, Kartini tentu punya link ke ibukota Hindia Belanda.
Apa yang dilakukan Kartini itu dijaman sekarang mirip dengan netizen yang mengkritik pemerintahan Jokowi namun statusnya disetting friend only. Lu galau dengan ketidakadilan, muak dengan kelakuan islamophobia, jengah dengan prilaku koruptif para elit. Lu punya kemampuan menulis, punya ide dan gagasan, tapi gak berani bicara blak-blakan didepan publik. Hanya segelintir teman yang tahu kalau lu gak suka sama oligarki. Ya buat apa? Apakah berharap tulisan lu dimedia sosial akan dibukukan oleh sahabat saat sudah wafat?
Kenapa harus Kartini yang dijadikan tokoh emansipasi wanita Indonesia? Padahal tulisan-tulisan Hajjah Rangkayo Rasuna Said jauh lebih bernas dan viral. Karena diera kolonial, ia mengungkapkan ide dan gagasannya lewat surat kabar.
Baca Juga: Lakukan Aksi 21 April, Emak-Emak Minta Presiden Jokowi Mundur!
Banyak orang belum mengenal HR Rasuna Said yang dijadikan nama ruas jalan protokol di daerah kuningan, Jakarta Selatan. Wanita kelahiran Agam, Sumatera Barat itu dikenal cerdas dan berkemauan keras. Ditahun 1930-an, Rasuna Said sudah getol menulis tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak cuma menulis, Rasuna Said juga aktif mengajar dibeberapa pesantren di Sumatera Barat. Ia juga acapkali berorasi menentang imperialisme dan kolonialisme. Hal itu membuatnya menjadi wanita pribumi pertama yang terkena hukuman speechdelict, yaitu hukuman yang ditujukan kepada orang-orang yang menghujat pemerintah Belanda di depan umum.
Tahun 1932, Rasuna Said dipenjara oleh pemerintah kolonial atas tuduhan subversif. Tahun 1935 ia dibebaskan dan langsung mendirikan majalah Raya dimana Rasuna Said sendiri menjadi pemimpin redaksinya. Majalah ini dicap radikal dan akhirnya dibredel oleh pemerintah Belanda.
Tahun 1937, Rasuna Said pindah ke Medan. Ia lalu mendirikan yayasan yang menerbitkan majalah mingguan bernama Menara Poetri. Majalah itu menjadi media bagi Rasuna Said untuk kembali menyebarkan gagasannya tentang hak-hak kaum perempuan dan perlawanan terhadap ketidakadilan pemerintah kolonial.
Untuk menghilangkan jejak dan menghindari penangkapan polisi rahasia Belanda, Rasuna Said menulis banyak essai dengan nama samaran Seliguri. Tulisannya tajam, lugas, anti kolonialisme.
Baca Juga: Hari Ini, Aliansi Mahasiswa Indonesia dan Elemen Masyarakat Gelar Aksi di Depan Gedung DPR
Hajjah Rangkayo Rasuna Said wafat pada tanggal 2 November 1965 diumur 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata. Tahun 1974, pemerintah orde baru mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.
Tulisan ini sekedar membuka wawasan bahwa ada perempuan yang hidup sejaman dengan Kartini, namun kurang dikenal peran dan sumbangsihnya bagi pergerakan kaum perempuan. Mirisnya lagi, banyak dari kita yang mengenal nama Rasuna Said hanya sebagai jalan protokol di Jakarta Selatan.
Padahal kalau mau dibandingkan dengan Kartini, sumbangsih HR Rasuna Said tentu lebih besar. Tulisannya kala itu sering dimuat diberbagai surat kabar, dibaca banyak orang, membuka kesadaran akan tirani terhadap kaum perempuan. Sedangkan RA Kartini hanya mengungkapkan kegalauannya melalui surat-suratan dengan seorang sahabat nun jauh di negeri Belanda. Kartini tak pernah mengajar, tak pernah menulis disurat kabar. Andil pemerintah Belanda lah yang membuat namanya besar.
Ruby Kay
Editor : Pahlevi