Wujud Adaptasi Ekologi Bengawan Solo di Bungah Gresik

author Seno

- Pewarta

Kamis, 28 Apr 2022 01:22 WIB

Wujud Adaptasi Ekologi Bengawan Solo di Bungah Gresik

i

IMG-20220427-WA0038

Optika.id - Tersebut dalam prasasti Canggu (1358 M) bahwa di Kabupaten Gresik terdapat desa-desa di tepian Bengawan Solo yang mendapat penghargaan dari Raja Hayam Wuruk sebagai Naditira Pradeca.

Yakni desa di tepian sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bahasa klasiknya disebut Naditira. Desa-desa ini berjasa atas layanan penyeberangan Bengawan.

Baca Juga: Karya HP Berlage: Gedung Singa dan Mijn Indiesche Reis

Setidaknya ada 7 Naditira pradeca. Yakni Madanten (Bedanten), Wringin Wok, Brajapura (Mojopuro), Jerebeng (Jrebeng), Pabulangan (Bulangan) dan Luwayu (Lowayu).

Dari identifikasi pernah adanya kegiatan penambangan (penyeberangan) yang pada akhirnya diapresiasi oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, maka hal ini menjadi penanda adanya peradaban manusia di DAS. Warga setempat, sebagaimana nama desanya tersebut pada prasasti, sudah berfikir menyediakan layanan penyeberangan untuk memudahkan urusan antar sesama. Bisa jadi itu adalah urusan ekonomi, sosial dan keagamaan kala itu.

Pertanda pernah adanya peradaban manusia adalah dengan diketemukannya berbagai peninggalan. Ada malam kuno, ada bekas struktur bangunan kuno. Ada mata uang kuno. Ada fragmentasi gerabah dan batu bata kuno. Juga tidak ketinggalan sejumlah pusaka seperti keris dan senjata tradisional lainnya.

Adalah di desa Bedanten kecamatan Bungah, sebuah naditira pradeca paling hilir. Ketika itu, muara Bengawan Solo tidak berada di Ujung Pangkah seperti sekarang. Tetapi masih bergaris lurus ke timur dan bermuara di dekat pulau Menarie (Mengare). Oleh Belanda, alur Bengawan dibelokkan ke utara seperti yang kita lihat sekarang.

[caption id="attachment_23943" align="alignnone" width="300"] Sebuah makam kuno di Desa Bedanten, Bungah, Gresik. (Nanang for Optika)[/caption]

Menurut sebuah resume dari hasil penelitian Nadhitira Pradesa Peradaban Maritim Sungai Masa Majapahit di Kabupaten Lamongan (2017), diketahui bahwa ternyata aliran-aliran sungai itu tidaklah senantiasa tetap dalam lintas masa. Artinya, dimungkinkan di tempat-tempat tertentu telah terjadi perubahan lintasan air sungai, yang kini hanya menyisakan kali mati atau bahkan palung sungai yang telah mengering dan berubah peruntukkan menjadi areal pertanian serta fungsi-fungsi lain.

Di bekas penutupan aliran Bengawan yang awalnya mengarah ke pulau Mengare misalnya, kini telah menjelma menjadi area pertambakan. Berdasarkan pengamatan melalui peta google.earth dapat diketahui adanya gambaran mengenai ekologi sungai, rawa, permukiman, areal agraris dan perikanan yang menunjukkan adanya alih fungsi. Apalagi jika bisa mendapatkan peta peta lama sebagai perbandingan dan dari sana dapat pula diketahui kapan perubahan fungsi itu terjadi.

Perubahan Ekologi

Perubahan alur sungai baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia adalah perubahan ekologi yang selanjutnya disesuaikan dan manfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada masa berikutnya.

Inilah adaptif-ekologis. Konon pemanfaatan semacam ini sudah terjadi lama sekali. Salah salah satu pembuktinya adalah informasi tekstual yang didapati pada Prasasti Canggu yang berangkat tahun 1358 M. Dalam prasasti ini disebutkan puluhan tempat di sepanjang sungai terdapat tempat penyeberangan sungai (panambangan).

[caption id="attachment_23944" align="alignnone" width="300"] Rumah loji yang kini menjadi kantor Kecamatan Bungah, Gresik. (Nanang for Optika)[/caption]

Suatu hal menarik dan penting untuk dicermati, setidaknya terdapat 43 titik lokasi desa panambangan purba di alur Bengawan Solo dan anak anak sungainya.

Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya

Di sekitar panambangan-panambangan purba tersebut dan tempat-tempat lain yang lebih jauh dari aliran sungai namun mempunyai akses jalan darat baik yang kini masih ada atau telah menghilang didapati jejak-jejak budaya faktual masa lalu, yang dapat dijadikan tambahan bukti penguat akan tumbuh dan berkembangnya peradadaban maritim-sungai Majapahit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Desa-desa yang dilengkapi dengan tambangan dan pasar desa pada tepi sungai masih diperoleh jejaknya di sejumlah tempat. Begitu juga dengan desa-desa tambangan yang dahulunya terdapat pusat peribadatan dan pendidikan (semacam candi juga mandala).

Bedanten Pusat Peradaban

Bedanten, naditira pradeca paling hilir di Bengawan Solo, sekaligus sebagai gerbang Majapahit. Melalui muara kali inilah jaringan perhubungan maritim Majapahit untuk menjangkau pedalaman Jawa hingga ke wilayah Mataram. Jalur maritim Majapahit ini dapat dilacak dari urutan penulisan naditira pradesa dari pelabuhan Canggu di Kali Brantas hingga ke hilir melalui Surabaya lalu masuk melalui hilir Bengawan Solo dengan gerbang Bedanten hingga ke hulu Bengawan di Wulayu (Solo).

Di Bedanten dengan tidak sengaja telah diketemukan beragam fragmentasi benda benda kuno yang asalnya berupa piring, tempayan, mangkuk, ceret, uang china, batu bata besar, peripih, serpihan atap gerbang serta makam-makam kuno. Makam-makam kuno yang letaknya tersebar di berbagai tempat ini sebagai bukti nyata pernah adanya manusia yang bertempat tinggal (hidup) di Bedanten.

Ketika jaman berubah, Bedanten semakin menjadi jujugan orang orang pendatang. Misalnya dari Eropa. Kondisi ekologi sungai diadaptasi. Alur sungai dibelokkan ke utara sehingga bermuara di Ujung Pangkah (utara), tidak lagi di Bungah (timur). Bekas sungainya menjadi area pertambakan.

Di kawasan Bungah yang tidak jauh dari desa Bedanten berdiri rumah-rumah kolonial seperti rumah Loji bergaya indies yang sekarang menjadi kantor kecamatan Bungah. Juga di Mengare dimana terdapat beberapa rumah kolonial. Termasuk dibangunnya sebuah benteng pertahanan yang tidak jauh dari Mengare. Yaitu benteng Lodewick yang didirikan oleh Daendels pada 1811.

Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya

[caption id="attachment_23945" align="alignnone" width="300"] Struktur bastion di situs Benteng Lodewijk di Bungah, Gresik. (Nanang for Optika)[/caption]

Sebagai pintu gerbang masuk ke pedalaman Jawa, sungai menjadi urat nadi perekonomian, perhubungan dan pembangunan, maka di anak sungainya dibuatlah pintu air dimana terdapat sebuah pabean untuk pajak keluar masuk barang. Hingga kini peninggalan pintu air (Sulis) dan rumah jaganya masih bertengger di sana. Semuanya menjadi onggokan masa lalu yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Namun tidak berarti tidak bisa dimanfaatkan. Ini semua adalah aset sejarah yang bisa dimanfaatkan sebagai pendukung pariwisata desa. Melalui wadah desa wisata kiranya potensi sejarah masa lalu Bungah dapat dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Apalagi Desa Bedanten sudah membuat pusat kebudayaan Bedanten yang lokasinya berada di komplek Balai Desa Beda ten, Kecamatan Bungah. Selama ini lokasi pusat kebudayaan Bedanten telah dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan Sedekahkan Bumi, istighosah dan lain-lain.

Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU