Optika.id - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mencoba membandingkan oligarki pada pemerintahan era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, Jokowi berhasil melakukan sesuatu yang gagal dilakukan oleh SBY saat menjabat dulu. Hal itu berkaitan dengan oligarki yang memiliki andil di dalam pemerintahan dan pembuatan kebijakan selama ini.
Baca Juga: Hasto Khawatir Kekuasaan Menyandera Parpol: Bisa Terjadi Arus Balik
Akan tetapi, berbeda dengan SBY yang gagal mengontrol oligarki, Jokowi justru menjadi super kuat berkat mereka.
"Oligarki itu masuk ke dalam partai dan itu yang membuat posisi Pak Jokowi menjadi super kuat. Super kuat dalam pengertian di periode Pak SBY menjadi presiden meskipun polanya sama oligarki masuk dalam partai politik, partai politik ditumpuk dalam kabinet over size yang dibentuk oleh Pak SBY, tetapi bedanya zaman itu partai politik yang mengontrol presiden," kata Burhanuddin Muhtadi seperti dikutip Optika.id dari channel Youtube Akbar Faizal Uncensored, Minggu (1/5/2022).
Dia pun menuturkan, dalam banyak kasus, Presiden SBY tidak mampu mengontrol kabinetnya sendiri.
"Tapi dalam masa Jokowi itu kebalikannya, jadi alih-alih partai politik mengontrol presiden, Presiden Jokowi yang mengontrol partai politik. Dan ini yang membuat akhirnya agenda kebijakan yang tidak populer sekalipun lolos, itu tadi karena ada penyatuan kepentingan para oligarki, sesuatu yang sebenarnya akan sangat berguna buat demokrasi jika mereka berkelahi," tukasnya.
Dia menilai perkelahian oligarki justru lebih menguntungkan demokrasi Indonesia.
Mereka (oligarki, red), kata Burhanuddin, akan lebih menguntungkan demokrasi jika berkelahi. Karena saat bersekongkol justru berbagai kepentingan yang belum tentu menguntungkan rakyat akan mudah lolos di parlemen.
"Yang harus dipahami oleh kita semua, oligarki ini tidak tunggal. Saya menulis di sebuah jurnal terkait dengan satu tahun Pak Jokowi, pertarungan antara kelompok oligarki di masa periode pertama Pak Jokowi yang menunjukkan lagi-lagi ada contesting oligarch di periode pertama, terutama di tahun 2014-2015," tuturnya.
Burhanuddin menilai kontestasi oligarki di Tanah Air penting, karena mereka pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
"Karena beda, akhirnya terjadi proses re-check dan mereka menjadi penting karena mereka melihat bagaimana publik melihat preferensi terhadap pertarungan para oligarki tadi," ujarnya.
Baca Juga: Survei Indikator Politik: 75,7 Persen Masyarakat Puas dengan Pemilu
Akan tetapi, para oligarki justru bersatu pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Tapi di produk kedua yang terjadi bukan contesting, tetapi oligarki itu nyatu. Mereka ditemukan dalam berbagai macam kepentingan, revisi undang-undang KPK, revisi undang-undang Minerba, kemudian juga undang-undang IKN, kemudian Cipta kerja, jadi ada banyak kepentingan yang menyatukan sedemikian banyak oligarki," tuturnya.
Oleh karena itu, Burhanuddin menekankan, demokrasi akan diuntungkan jika para oligarki tersebut berkelahi.
"Jadi demokrasi itu diuntungkan kalau mereka berkelahi bukan bersekongkol, berkelahi dalam pengertian idenya bertentangan, interest-nya bertentangan," katanya.
Salah satu buktinya adalah gagalnya wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden direalisasikan.
"Nah ada secercah harapan dalam kasus gagalnya penundaan Pemilu, di mana kepentingan oligarki lagi-lagi tidak sama. Ini menjelaskan mengapa kemudian ide tentang penundaan atau tiga periode gagal, karena tidak ada kesamaan terkait dengan apakah masa pemerintahan Pak Jokowi harus diperpanjang atau tidak," tandasnya.
Baca Juga: Terungkap! Kubu yang Paling Banyak Menawarkan Serangan Fajar ke Pemilih: Paslon 2 dan 3
Dia mengatakan, ada kepentingan ekonomi-politik ditambah nilai demokrasi yang berbeda di antara para oligarki.
"Ada kelompok di sekitar Pak Jokowi yang sangat agresif untuk mengusung ini tapi lupa bahwa pemerintahan ini bukan hanya dia yang punya, ada banyak kepentingan lain yang mungkin berseberangan. Dan karena mereka berkelahi dalam soal isu ini, publik bisa mendesakkan agenda supaya stop terkait dengan wacana penundaan atau tiga periode," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi