Optika.id - Orang zaman sekarang, utamanya warga Gresik, tidak banyak yang tau bahwa desa kecil di tepian Bengawan Solo, Bedanten, di kecamatan Bungah adalah desa penting pada masa lalu. Boleh dibilang sebuah kawasan bandar sungai yang penting dari masa ke masa. Tapi sayang, perjalanan waktu itu tidak sampai ke masa sekarang. Kejayaan masa itu terputus dari masa sekarang.
[caption id="attachment_24708" align="aligncenter" width="985"] Rumah kayu di Paramaribo. (Istimewa)[/caption]
Baca Juga: Karya HP Berlage: Gedung Singa dan Mijn Indiesche Reis
Sebuah babad lokal, Babad Maduran, menceritakan rombongan pengiring pengantin dari keluarga kerajaan Solo, yang hendak meminang putri kerajaan Madura Barat, mampir dan bermalam di Bedanten sebelum mengarungi laut (selat Madura) menuju tujuan.
Jumlah rombongan sangat besar. Disebutkan ada belasan kapal. Mereka berangkat dari Surakarta (Luwayu) dengan mengarungi Bengawan Solo hingga Bedanten di hilir Bengawan. Setiap kapal memuat sekitar 300 orang. Setidaknya tidak kurang dari 3000 orang dalam satu rombongan pengantin ini.
Di Bedanten, mereka menginap. Selain menginap di atas kapal, diduga mereka turun ke darat dan menginap di desa Bedanten.
Di eranya, Bedanten adalah bandar pelabuhan Majapahit besar. Bandar Bedanten menjadi tempat pertemuan kapal kapal dari lepas laut dan kapal kapal dari pedalaman. Di tempat inilah bongkar muat komoditas perdagangan dilakukan. Komoditas dari pedalaman dibawa keluar wilayah melalui Bedanten. Pun demikian komoditas dari luar dan dibawa ke pedalaman juga dari tempat ini.
Sebagai perbandingan, Bandar Bedanten ini tak ubahnya Bandar Surabaya, Bandar Semarang dan Bandar Batavia, termasuk Bandar Paramaribo di Suriname. Bandar bandar sungai di empat titik ini sama sama berkembang di era kolonial. Khususnya di Jawa, perkembangan bandar di era kolonial adalah kelanjutan (sustainability) dari aktivitas dan dinamika dari masa sebelumnya.
Jika bandar Surabaya, Semarang, Jakarta dan Paramaribo terus berlanjut hingga sekarang, maka tidak demikian dengan Bandar Bedanten.
Dinamika besar di Bedanten tinggal nama dan cerita. Semakin memprihatinkan, peninggalan peninggalan di Bedanten itu seolah terkubur boleh jaman. Fasilitas besar yang pernah ada di Bedanten hilang. Misalnya tidak ada lagi perusahaan kayu besar di Bedanten. Padahal perusahaan kayu yang pernah ada di Bedanten adalah salah satu dari perusahaan kayu terbesar di Jawa.
Menurut Kamus Geografi dan Statistika Het aardijkskundig en statistika, yang disusun oleh Johannes Hagema (1865), kelima perusahaan kayu terbesar di Jawa itu adalah Batavia (Jakarta), Semarang, Jepara, Surabaya dan Bedanten. Kini bekas dari perusahaan kayu itu bernama Balok'an. Lokasinya persis di tepi Bengawan.
Sedikit agak ke timur, masih di tepian Bengawan, terdapat nama kampung Bandaran. Di kawasan inilah tempat dimana Bandar Bedanten pernah ada. Kampung ini memiliki tata ruang yang teratur. Peta tahun 1800 an sudah menunjukkan adanya kampung ini. Lorong lorong (gang) kampung langsung menuju ke Bengawan. Di kampung inilah terdapat rumah rumah yang kontruksi nya terbuat dari kayu, mirip seperti di kota Paramaribo.
Rumah Kayu di Bedanten dan Paramaribo
Bedanten dan Paramaribo (Suriname) sekarang bagai bumi dan langit. Perbedaannya terlalu jauh. Bedanden sebuah desa kecil di kecamatan Bungah, kabupaten Gresik. Sementara Paramaribo adalah sebuah kota, ibukota negara Suriname di Amerika Latin.
[caption id="attachment_24709" align="aligncenter" width="687"] Peta Kota Paramaribo 1800. (Alamy)[/caption]
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Namun jika ditarik ke belakang hingga pertengahan abad 19, Bedanten dan Paramaribo sama sama menunjukkan kemiripan. Keduanya merupakan kawasan permukiman di tepian sungai yang ditata dan dikelola kolonial (Belanda). Keduanya berada di hilir bengawan lebar (Bengawan Solo dan Sungai Suriname) yang panjangnya sama sama sekitar 480 km.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika Bengawan Solo bermuara di laut Jawa. Sungai Suriname bermuara di Samudra Atlantik. Keduanya adalah bandar sungai yang sama sama memiliki infrastruktur pelabuhan. Keduanya sama sama memiliki perusahaan kayu. Jalan jalan di permukiman ditata lurus lurus. Rumah rumah dan bangunan umum dikontruksi dari kayu karena ketersediaan bahan. Penyeberangan sungainya dijaga petugas dan sama sama memiliki kantor kepabeanan yang tidak jauh dari sungai. Sungainya terdapat dam dan sluis untuk akses hilir mudik perahu dan kapal.
Itulah kemiripan Bedanten (Gresik) dan Paramaribo (Suriname) pada pertengahan abad 19. Sekarang di abad 21, keduanya bagai bumi dan langit. Suriname terus berkembang menjadi ibukota negara.
[caption id="attachment_24710" align="aligncenter" width="960"] Sebuah pintu air di Kali Miring bukti kejayaan Bedanten. (Istimewa)[/caption]
Sementara Bedanten tetap kecil sebagai sebuah desa. Bedanten menjadi bagian dari kecamatan Bungah. Padahal di pertengahan abad 19, Bedanten dan Bungah sama sama sebagai desa kecil. Bungah berada di sebelah barat Bedanten. Informasi ini dapat dilihat pada peta Belanda yang berangka tahun 1865.
Pada pertengahan abad 19, Bedanten menjadi pusat administrasi proyek besar pembelokan alur Bengawan Solo, yang awalnya mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura dirubah mengalir ke utara ke arah Ujung Pangkah dan bermuara di laut Jawa. Pembelokan alur bengawan ini untuk menghindari sedimentasi di selat Madura.
Sedimentasi dari Bengawan Solo ini terlihat sudah menyatukan pulau Jawa dan pulau Mengare (Pulau Manarie) yang sebelumnya merupakan pulau tersendiri diantara pulau Jawa dan pulau Madura. Tidak jauh dari Mengare terdapat benteng Lodewijk yang awalnya dibangun oleh Daendels pada 1811. Lalu dilanjutkan oleh Van den Bosch untuk penguatan pertahanan pulau Jawa pasca perang Jawa (perang Diponegoro).
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Beberapa batu bata dari struktur bangunan benteng yang diketemukan di situs benteng menunjukkan angka tahun yang bervariasi. Ada yang bertuliskan angka 1833, 1835 dan 1836. Angka tahun ini menunjukkan kelanjutan pembangunan benteng sebagai upaya penguatan pertahanan pulau Jawa setelah perang Jawa. Pembangunan di pedalaman pulau Jawa, salah satunya di Ngawi yang terkenal dengan Benteng Pendem atau Benteng Van Den Bosch (1839-1845).
Kantor kecamatan Bungah sekarang menpati sebuah bangunan loji dari era 1800an dengan langgam pilar pilar yang umum disebut gaya Daendels. Bangunan kokoh ini menghadap ke arah Bengawan, dimana ditepian Bengawan pada sisi barat dan timur pernah terdapat pos penjagaan perahu penyeberangan (overvaart). Kini sudah menjadi jembatan untuk koneksi perhubungan.
Sayang peninggalan kebesaran Bedanten ini tidak banyak diketahui orang. Melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, diharapkan akan mampu menggali potensi lokal yang berbasis sejarah dan budaya untuk pengembangan kreatif desa.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi