Negeri Paradoks

author optikaid

- Pewarta

Minggu, 08 Mei 2022 21:54 WIB

Negeri Paradoks

i

Negri Paradoks

Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono, Nganjuk, Jatim)

Negeri Paradoks, negeri yang penuh dengan kontradiksi, saling bertolakbelakang, dan pertentangan. Ia menyalahi kebiasaan umum karena bertentangan dengan yang seharusnya. Ia kontradiktif (tanaqudl), karena banyak kontra di dalamnya, banyak pertentangan antara yang seharusnya dengan kenyataan yang ada. Ada gap antara yang seharusnya benar dan yang seharusnya salah, Ada dua hal yang saling bertolakbelakang (taqabul, muqabalah) antara dua kenyataan yang berbeda dalam waktu dan tempat yang sama. Ada dua wajah dalam muka tunggal negeri ini. Ada dua kenyataan yang saling bertentangan (tadladlud) perlakuan negara terhadap J dan H. Berbeda antara das sein (al-waqiiyyah) dan das sollen (al-nazhariyyah) terhadap subyek yang sama. Ada perlakuan berbeda pada satu realitas dalam entitas yang sama, yang sama-sama anak negeri, dan keduanya tidak mungkin sama-sama benar.

Baca Juga: Hidrogen Alternatif Bahan Bakar yang Bagus

Karena paradoks, ia menjadi kontroversial, sebab bertentangan (taarudl) dengan ketentuan yang seharusnya berlaku pada umumnya (urf al-hukm wa al-ijtima). Ia paradoks, karena yang seharusnya ada, tetapi tidak ada; seharusnya tidak ada, malah ada. Di negeri paradoks ini, semua serba mungkin, seperti hukum jaiz bagi Tuhan, semua serba kehendak-Nya. Tidak ada yang tidak mungkin di negeri paradoks? Semuanya serba mungkin ada, sesuai kemauan kekuasaan, baik saat powe full maupun saat terdesak.

Di negeri paradoks, akan dijumpai banyak dalang, banyak sutradara, banyak lakon, banyak aktor, banyak pelawak, banyak komedian. [Seolah] negeri ini, negeri parodi, negeri para pelawak, negeri drama[tisasi], negeri opera sabun. kasihan stand up commedy, dan [Bukan] Empat Mata, kesaing pendapatannya.

Di negeri ini, seharusnya yang menjadi sutradara adalah sutradara sebagaimana yang diamanahkan perundang-undangan. Lah, sutradaranya malah menjadi aktor komedian di kawah candradimuka drama negeri paradoks. Sutradaranya justru disutradarai wayang oligarki. Aktor yang seharusnya jadi wayang untuk melakukan peran sesuai apa yang diarahkan dalang, malah menjadi dalang. Sedang dalangnya menjadi wayang. Camuhnya negeri komedi ini.

Negeri paradoks bukan negeri wayang, tapi mainnya kaya Negeri Wayang. Ada dalang, yang bisa bercerita banyak untuk membuat lakon pewayangan, tetapi dalangnya bukan dalang yang sebenarnya, namun dalang di balik layar. Hebatnya, dia mampu mensutradarai lakon di pentas layar pewayangan negeri. Ada dalang, tetapi dalangannya didalangi yang lain, untuk bermain sesuai dengan para pembisiknya. Ia boneka [yang dipermainkan pembelinya (para penyokong)], ujar Cak Nun.

Dalang yang sebenarnya adalah dalang yang mampu menghibur dan menyenangkan penonton, yang merupakan rakyat kebanyakan, walau sekedar tertawa. Namun di negeri ini, malah yang muncul dalang-dalangan. Dalangnya dijadikan pinokioan, ketawaan, lelucuan, candaan, dan komedian, karena tak bisa [n]dalang, gak bisa memainkan lakon. Lakonnya malah disekenariokan yang lain di balik layar, hingga cerita wayangannya tidak karu-karuan, tidak ada ujung pangkalnya, rasanyacemplang, suaranya fals, ceritanya tidak menarik dan tidak enak didengar telinga, karena sering tidak koneks, sering kontradiktif, dan paradoks. Dalangan-nya justru menjadikan otak tumpul, tidak mencerdaskan, menjadikan dungu, membuat perut mules, menyesakkan dada, menghilangkan semangat, tidak menggairahkan, bahkan membuat impotensi. Begitulah negeri ini, negeri paradoks. Yang seharusnya tidak begitu, malah menjadi begitu.

Negeri Paradoks ini, benar-benar sedang memainkan drama, yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Barang [bukti] seharusnya diselamatkan dan dijaga baik-baik agar tidak hilang dan musnah, malah dihancurkan dan dihilangkan. [Diorama] sejarah sebagai gambaran sejarah negeri dihilangkan, malah dibangunkan Patung Tunggal, [bukan Dwitunggal]dan performanya tidak pernah ada dalam sejarah biar ada dalam sejarah. Tes Kebangsaan seharusnya menjaring anak negeri yang terbaik untuk dipilih, yang kelak akan dijadikan ksatria untuk menjaga negara ini, malah digunakan untuk menjaring ikan teri biar mudah digoreng dan diuntal. Baliho tokoh keagamaan diturunkan, baliho politisi dibiarkan menjamur di seantero negeri, ironinya dipajang juga di atas musibah bencana alam.

Negeri ini, negeri paradoks. Ada rakyat yang tak berdosa dihabisi aparat, yang membunuh aparat dijadikan sahabat; oposan dipenjara, penjilat dipelihara. Salah sebesar gunung tak nampak kelihatan, yang tak bersalah dicarikan celah untuk ditersangkakan dan dijerujikan. Hajatan dijadikan alasan untuk mengkriminalkan, sambutan pawai di atas kendaraan terbuka, dibiarkan dan tidak diperkarakan. Negeri ini,memang negeri paradoks. Sesama anak bangsa, yang sama-sama hidup pada masa yang sama, hukum yang sama, tempat yang sama, tetapi nasib berbeda, diperlakukan secara zhalim. Berbeda karena dibedakan, bukan berbeda karena keadilan.

Doeloe, menangis-nangis, seolah membela rakyat, menjunjung demokrasi, anti otoritarian dan oligarkhi, saat berkuasa malah tampil berbeda. Hilang teriakan tangisannya yang membela tak berdayanya masyarakat atas harga yang tak terkendali, tak terdengar suaranya dalam membela demokratisasi, tak nampak pembelaannya atas nasib rakyat kecil, rakyat miskin, rakyat termarjinalkan. Ompong kepada kekuasaan, membangun otoritarian, merajut oligarkhi, dan Chauvinian. Jauh panggang dari api, jauh harapan dari apa yang pernah dijanjikan. Lain di mulut, lain di hati, beda antara ucapan dan kenyataan, hipokrit, munafik.

Doeloe, aktifis partai merah: Mbok, anak, dan dayang-dayangnya, nangis-nangis karena BBM dinaikkan beberapa ratus rupiah, mendemo penguasa, mengecam tidak peduli nasib rakyat kecil, membuat rakyat sengsara. Sekarang, selagi berkuasa, minyak goreng naik berpuluh ribu, malah bela penguasa, mengecam rakyat miskin yang gak bisa mikir, Mbok yo direbus saja!!! pintanya. Lah malah rakyat kecil yang disalahkan dan dianggap gak iso mikir, now kok tidak membela mereka yang melarat dan kesulitan ekonomi, malah bela penguasa yang tidak bisa ngelola negara paradoks ini.

Baca Juga: Kenali Tiga Kuliner Fermentasi Asal Asia yang Sudah Mendunia, Ada Khas Indonesia!

Di negeri paradoks ini, buzzer dipelihara dan dibiayai, oposan diberangus dan dikerangkeng. Kebebasan berpendapat dikekang, suara penjilat dibela kuat-kuat. Rakyat dipaksa satu suara.
Beda sedikit dilaporkan dan ditangkap, memfitnah oposan, mencela, menghina, dan menghujat adalah makanan pokok bersama, dan dibiarkan bebas semaunya, karena satu suara dengan penguasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketidakadilan dipertontonkan di mana-mana; yang kritis dipenjara, berbeda suara ke mana-mana ditutup jalannya, sedang pro penguasa melenggang kangkung ke mana-mana untuk berkhutbah di mana saja, dan media apa saja. Bila ada laporan, yang oposan diproses secepat kilat, yang pro penguasa tak diproses, atau diproses tapi bebas. Yang satu diinjak, yang lain diangkat tinggi-tinggi (politik belah bambu). Rakyat dipecah belah, diadu domba, yang satu dibela, lainnya dianiaya. Rakyat dipertontonkan ketidakadilan, biar tidak kritis dan tidak berseberangan dengan penguasa. Kata KH. Zainuddin MZ., Pengadilan ada di mana-mana, tetapi keadilan sulit dicari ada di mana.

Di negeri paradoks, mumpung di atas, mumpung kuasa, negeri diatur seenaknya, diputar dari kanan, ke sebelah kiri, Pancasila mau diganti Ekasila, Tuhan Yang Maha Esa mau diganti Tuhan yang berkebudayaan. Teriakannya, Pancasila harga mati, malah Pancasila benar-benar mau dimatikan. NKRI harga mati, malah NKRI jadi negeri oligarkhi. Negeri dikelola atas prinsip yang penting jalan, tak tentu arah, bahkan arahnya mengarah ke jurang [kehancuran], karena jalannya tidak di khat al istiwa (garis lurus), tidak sesuai khittah yang diqanunkan, negeri berasaskan Pancasila, negeri yang seharusnya berjalan di atas rel ang dibuat para Founding fathers, malah dikelola seenaknya sendiri, semaunya sendiri, mengambil jalan zig-zag kanan-kiri, semau gue, bahkan ke Kiri, yang anti Tuhan, anti Agama, dan pro sekularisme.

Lihatlah, frasa agama dihilangkan, madrasah dihilangkan, hari besar agama dipindahkan, adzan dipermasalahkan, Panca dijadikan Eka, Esa dijadikan budaya, perusak masjid masuk Istana, bicara benar dicap SARA, kyai dihabisi, orang gila [kok] tahu target yang dicari. Aneh negeri ini, negeri paradoks. Apa pun kebijakan dan tindakan yang dibuat, adalah benar, dan menjadi kebenaran. Yang salah adalah oposan, dan tak memiliki kebenaran.

Masyarakat kecil disuruh sabar, atas ugal-ugalan penguasa membuat apa saja menurut nafsu kuasa. Tak peduli masukan, kritik, pendapat, aspirasi berbeda, demo, semua dianggap sampah, tak ada gunanya, semua ujungnya hanya satu: turuti penguasa. Negara adalah Aku, negara adalah [milik] penguasa; sedang rakyat adalah pelayan penguasa, tak berhak bersuara, apalagi menentukan arah negara. Demokrasi hanya verbalisme belaka, ia gincu pemanis mulut saat belum berkuasa, membela rakyat kecil hanya slogan kosong saja, untuk didengar sesaat biar viral dikenal sebagai pembela wong cilik di kala ada di luar kekuasaaan, seolah jadi pahlawan rakyat. Setelah ini, amnesia semua atas janji dan ucapan yang pernah dikhutbahkan.

Idiologinya pun a-history, dan no ethic. Tidak peduli sejarah dan tak punya unggah-ungguh. Orang Jawa bilang, Ngono yo ngono, tapi ojok ngono. (berbuat apa saja boleh, tapi harus tahu etika, bukan semaunya sendiri). Tapi di negeri ini, sejarah dibengkokkan, bahkan ada yang sengaja dihilangkan. Loh, yang profesor pun jadi un logic, bahkan jadi dungu kata Rocky Gerung. Agamawan pun jadi culun, dulu kritikus, now, jadi pengkultus. Demi memenuhi janji: Balas dendam; walau cara halus, sehalus tepung padi. Intelektual seharusnya berfikikir ilmiah, kritis, dan berada di gerda terdepan membela kebenaran, malah jadi dungu di hadapan penguasa, hilang daya kritisnya, tumpul akalnya, jadi satpam oligarki, menjadi oportunis, takut jauh dari kekuasaan.

Baca Juga: 78 Tahun Merdeka, Indonesia Masih Terseok-Seok

Negeri ini, negeri paradoks, negeri yang kaya-raya sumber daya alamnya, namun rakyat miskin di mana-mana. Hidup di negeri ini, bagai Ayam mati di lumbung padi. Beras ada di mana-mana, rakyat miskin di mana-mana. Perkebunan sawit ada di saentero negeri, tapi rakyat menangis atas mahalnya minyak goreng yang langka. Miyak goreng seharusnya melimpah-ruah dan harganya murah, bahkan rakyat bisa tenggelam karena luberan tumpahan minyak dari bahan baku Sawit. Tetapi ada dikata, Tahu mafianya, tapi tak berdaya sutradaranya. Benar kata orang, Eksploitasi alam, tak sejurus dengan kesejahteraan masyarakat. Peristiwa memalukan di negeri kaya tanaman Sawit ini mirip dengan kesenjangan sosial antara penambang yang kaya raya dari hasil eksploitasi alam di daerah yang kaya SDA, sedang rakyat sekitar melarat dan hanya bisa melihat mobil mewah lalu-lalang, sambil menelan ludah karena hanya bisa berhayal untuk hidup kaya yang penuh gaya. Mirip rakyat Firan yang ingin kaya seperti Haman, namun cuma sekedar khayal belaka.

Ketidakbebasan, kemiskinan, kebohongan, kemunafikan, janji, hutang, kartel, oligarki, KKN.
di mana-mana, Pak Tua butuh puluhan tahun untuk mengangkat anaknya jadi Mensos, Pak The Cow, sukses menjadikan anak dan son in law jadi penguasa lokal. sukses menaikkan son dan son in law jadi penguasa lokal. Tak butuh waktu lama, bahkan tiga pendahulunya pun kalah. Kata orang bijak, Power tend to corrupt. Kata al-Quran, Kalla innal insana layathgha, an raahu istaghna, (Sungguh! Manusia itu cenderung despotik [menyalahgunakan kekuasaan],manakalat tahu diirnya cukup [memiliki segalanya].)

Ada pejabat Dinas Pekerjaan Umum kaget saat cek di lapangan, Kok tukang lasnya orang aseng? pejabat ini lagi menunjukkan kejujurannya, karena begitu mudah dipinokio, dibunguli, sehingga tak berdaya, bahwa di negeri ini penuh paradoks. Sekelas tukang las harus impor dari Negeri Tirai Bambu. Apa penduduk negeri ini goblok semua, sehingga ngelas saja harus impor? Di mana lulusan ESEMKA? apa mereka gak bisa ngelas, sehingga ngelas saja harus impor. saat jutaan rakyat masih nganggur, tak punya kerjaan, antri berdesakan berjam-jam melamar kerja untuk memenuhi hajat hidup dasarnya, justru jutaan pekerja aseng masuk ke negeri ini? Bukan pekerja expert lagi, tetapi pekerja kasaran seperti kebanyakan rakyat kita. Slogan anti impor cuma gombal saja, kelas pekerja kasar, impor dari negeri lain.

Doeloe membuat janji anti import dan memacu program ekonomi mandiri, produksi sendiri. Alah dallah, saat berkuasa malah membuka kran import besar-besaran, mulai dari kedele, garam, daging, padi dan lainnya. Tak kalah menakjubkan, tenaga kerja, kuli bangunan pun import dari Negeri Tirai Bambu. Karena import itu, Sang Petugas, meng-goblok-kan bawahannya, kok negeri paradoks ini dipenuhi barang import? Atas adegannya, ada tik toker membuat parodi, ABang lagi mengkritik Presiden.

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU