[caption id="attachment_9445" align="alignnone" width="150"] Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]
Optika.id - Selama duapuluh tahun terakhir ini, manusia secara diam-siam sedang diusir, jika bukan diungsikan, dari dunia nyata ke dunia semu. Melalui kekuatan2 _ifrity_ yang bekerja melalui kedipan biner kosong-satu berkecepatan sangat tinggi, terjadi proses dua dimensionalisasi dari realitas tiga dimensi. *Akibat proses reduksi dimensi ini, waktu menghilang*. Padahal ruang dan waktu adalah prasyarat adanya pengalaman, yaitu sebuah penyadaran mengAKU. Hidup sebagai pengalaman spiritual memerlukan ruang 3 dimensi sekaligus waktu. Spiritualitas itu lenyap di metaverse.
Baca Juga: Cegah Korupsi, Kemendagri Buat Layanan Berbasis Metaverse
Begitulah reduksi dimensi ini adalah sebuah proses penzombiean. Setelah gagal mewujudkan janji-janjinya, para _global oligarch_ berusaha menutup-nutupi kegagalannya di universe ini dengan menyodorkan metaverse, sebuah kehidupan palsu. Begitulah _dajjal_ memalsukan Isa al Masih. Di sana neraka tampak seperti surga, sedang surga tampak seperti neraka. Di metaverse itu _child free lifestyle_ dilihat halal, sedang berkeluarga dengan banyak anak dianggap kuno, _close minded_ dan primitif. Riba dan bisnis spekulasi berjaya, sedang dinar dan agromaritim terpuruk. Hampir semua tata nilai kehidupan jungkir balik.
Setelah kemerdekaan massal manusia dirampas melalui persekolahan paksa dan televisi -di Indonesia terjadi sejak Orde Baru-, manusia dijadikan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin2 pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia patuh bekerja bagi para majikan lokal yang menjadi kaki tangan oligarki global. Segera sejak proklamasi kemerdekaan sebagai operasi _false flag_, Republik ini tidak pernah dibiarkan untuk benar-benar merdeka. Pancasila dan UUD45 tidak pernah berhasil diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sejak reformasi 1998, kita hidup dengan konstitusi palsu yaitu UUD2002. *Dengan UUD palsu itu kita dimurtadkan dari Pancasila* secara kaffah.
Begitulah prinsip keterwakilan dipalsukan oleh prinsip keterpilihan. Prinsip permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan diganti dengan _voting_. Pemilihan melalui perwakilan diganti dengan pemilihan langsung. *Reformasi justru menghasilkan deformasi* kehidupan berbangsa dan bernegara. Maladministrasi publik terjadi di banyak sektor dimana undang-undang dan peraturan turunannya dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik yang bermesraan dengan para taipan _oligarch_ domestik maupun global.
Baca Juga: Bicara Metaverse, CTO Cybers Group Singgung Digitalisasi
Sayang sekali, pemerintah yg semula dibentuk untuk melaksanakan misi negara justru takluk dengan tekanan oligarki ini. Berjuta hektar lahan dikuasai segelintir orang, buruh makin ditekan dengan upah murah dan perumahan kumuh, pendunguan massal terjadi terus menerus, sedangkan rezim justru menjadi kaki tangan asing. Bahkan dengan dana APBN dan BUMN, rezim ini justru membuka jalan lebar2 bagi penjongosan massal. Fenomena IPO WIR Group adalah bukti mutakhir atas perayaan kepalsuan ini saat saham GOTO anjlog dan LUNA Crypto bangkrut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. *Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe*, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi *platform budaya untuk belajar merdeka* di ruang 3-dimensi. Para patriot muda bangsa ini perlu bangkit dari kenyamanan *mager sambil rebahan* di metaverse, harus sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dan bergerak berkeringat mengolah semua potensi2 agromaritim universe yang diberkati Allah ini.
Baca Juga: Profesor dari New York University Tak Sepakat dengan Zuckerberg Terkait Metaverse!
Gunung Anyar, 18 Mei 2022
Editor : Pahlevi