[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="150"] Ruby Kay[/caption]
Optika.id - Pemerintah (lord Luhut) berencana menaikkan tiket masuk keatas candi Borobudur karena ingin melindungi cagar budaya yang dibangun pada abad ke-8 tersebut. Dikatakan bahwa kunjungan wisatawan selama ini membuat pondasi candi borobudur mengalami penurunan signifikan. Pijakan kaki pengunjung menggerus lantai dan tangga candi Borobudur hingga 0,2 centimeter per tahun
Baca Juga: Soal Jokowi Tawarkan Kaesang, Luhut: Jangan Asal Omong!
Apakah menaikkan harga tiket hingga 100 dollar untuk wisatawan asing dan 750 ribu rupiah bagi turis domestik menjadi satu-satunya solusi untuk melindungi situs budaya yang tergolong sebagai UNESCO heritage itu?
IMHO, hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan cara membatasi kuota jumlah pengunjung yang mau menaiki candi borobudur. Sasaran wisatawan pastinya stupa paling atas yang menjadi spot paling menarik untuk mengambil foto. Selama ini memang tak ada pembatasan, tua muda, wisatawan dalam dan luar negeri bisa bebas menaiki candi borobudur. Jika niatnya ingin melindungi cagar budaya itu dari kerusakan, berlakukan saja kuota tanpa harus menaikkan harga tiket.
Pahami bahwa 99% orang yang mengunjungi candi Borobudur, menara Pisa di Italia, Piramid di Mesir, Taj Mahal di India adalah wisatawan reguler yang niatnya cuma having fun. Hanya arkeologis lah yang mengunjungi candi benar-benar untuk melakukan penelitian.
Para pelajar SD, SMP, SMA dan guru pun saat mengunjungi candi borobudur niat utamanya untuk berwisata, bukan untuk melakukan studi secara komprehensif. Lagipula kalau hanya untuk mempelajari sejarah cagar budaya yang ada didunia, seseorang bisa memperoleh banyak informasi dari internet, tak mesti harus mengunjungi situsnya langsung.
Diabad keberapa dan dijaman kerajaan apa borobudur dibangun?
Siapa penemu candi borobudur? Tahun berapa ditemukan?
Sudah berapa kali candi borobudur direstorasi?
Jujur saja, saat mengunjungi candi borobudur, adakah wisatawan yang bertanya hal itu? 99ri kita akan menjawab tidak.
Gue sendiri sudah beberapa kali mengunjungi candi borobudur. Saat berada disana, tidak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk mencari tahu sejarah candi tersebut. Satu-satunya hal yang ada dalam pikiran adalah mencari spot foto terbaik dan memuaskan rasa penasaran untuk naik kelantai paling atas.
Ragam prilaku wisatawan akan terlihat. Berfoto dengan berbagai macam gaya atau memvideokan keindahan pemandangan dari atas candi borobudur. Walaupun disana-sini sudah tertera peringatan agar pengunjung tidak menaiki stupa, tetap saja ada yang nekat mengabadikan momen selfi dengan cara duduk atau berdiri diatas stupa.
"Dasar udik! Norak! Gaya wisatawan lokal memang kampungan begitu. Gak bisa menghargai cagar budayanya sendiri. Makanya gue dukung lord Luhut menaikkan harga tiket, agar wisatawan berkantong tipis gak bisa lagi naik keatas candi. Biar bule dan orang kaya well educated aja yang bisa mengaksesnya. Orang kismin cukup foto-foto disekitar halaman candi borobudur aja" ujar beberapa netizen berkomentar dangkal.
Baca Juga: Tolak Jadi Menteri, Luhut Terima Tawaran Penasihat Prabowo
Wait, kok jadi rasis begitu? Pahami bahwa behavior tidak selalu berkorelasi dengan kepemilikan harta atau tingkat pendidikan seseorang. Jika selama ini masih banyak wisatawan yang duduk atau berdiri diatas stupa candi borobudur, hal itu semata-mata karena kurangnya pengawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat berkunjung ke Indonesia, Mark Zuckerberg sang owner Facebook juga melakukan kenorakan itu kok. Ia duduk dan berdiri disalah satu stupa candi borobudur, lalu mempublish foto terbaik keakun medsos pribadinya.
Mohon kedepankan objektifitas saat mengomentari sebuah hal. Tak elok jika hanya menghujat wisatawan domestik lalu menganggap derajat materi dan tingkat pendidikan wisatawan asing lebih tinggi. Di Bali, yang seringkali gak tahu diri dan berprilaku tengil didominasi wisatawan dari luar negeri. Ada yang mabuk-mabukan ditengah jalan bahkan berfoto telanjang ditempat yang dikeramatkan oleh orang lokal.
Oleh karena itu, jangan menjustifikasi orang hanya berdasar pada warna kulit, kepemilikan materi atau tingkat edukasi. Satu-satunya cara untuk menjaga tempat wisata adalah dengan cara memperketat pengawasan. Karena himbauan atau memperbanyak papan peringatan dilarang ini itu pun kadang tak bisa mengontrol prilaku manusia. Harus ada penjaga yang mengawasi.
Tiga tahun lalu, gue berkesempatan mengunjungi pantai laskar pelangi di pulau Belitung. Saat itu tak ada tiket masuk alias free. Walau begitu ada beberapa warga lokal yang berjaga dan mengawasi gerak-gerik wisatawan. Entah mendapatkan gaji atau tidak dari Pemda setempat, yang jelas mereka miliki kesadaran untuk menjaga keindahan alam daerahnya. Alhasil tumpukan batuan granit disekitar pantai bersih alami, sama sekali tak ada coretan atau goresan.
Baca Juga: Luhut Buka Suara Soal Korupsi Timah, Rugikan Negara 271 Triliun!
Beberapa bulan lalu gue berlibur ke Labuan Bajo. Saat mengikuti sailing, tour guide yang orang lokal tak henti-hentinya mengingatkan wisatawan agar tidak membuang sampah kelaut. Ketika mengunjungi pulau Padar, sebelum mendaki bukit kembali tour guide memberi warning kepada wisatawan agar tidak merokok, tidak membuang sampah sembarangan. Petugas berseragam terlihat berjaga dibeberapa rest area pendakian. Selain memastikan keselamatan pengunjung, mereka juga tak sungkan menegur bila menemukan wisatawan yang membuang botol plastik.
Jika pemerintah berniat mengembangkan sektor pariwisata, libatkan warga lokal agar berperan aktif dalam menjaga lingkungan alam dan cagar budaya. Karena yang namanya turis punya behavior bermacam-macam. Ada yang taat dengan himbauan dan larangan, tapi banyak pula yang cuek dengan aturan.
Menaikkan harga tiket berkali-kali lipat dengan dalih untuk membatasi pengunjung yang boleh naik keatas candi borobudur jelas bukan solusi. Toh masih banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya dengan membatasi jumlah wisatawan. Lord Luhut sepertinya hanya membuat sensasi untuk menutupi borok rezim Jokowi. Apa kabar BUMN yang terus merugi, apakah sudah bisa diatasi?
Ruby Kay
Editor : Pahlevi