Optika.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI pada Rabu (8/6/2022) silam menyampaikan rasa optimisnya terkait momentum pemulihan ekonomi akan tetap berjalan. Namun, pemerintah di sisi lain juga turut menyadari bahwa masih tingginya risiko dan ketidakpastian ke depan.
Menanggapi hal tersebut, Yusuf Rendy Manilet selaku Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan, jika melihat kondisi pada saat ini, resiko stagflasi pada beberapa negara indikasinya terlihat cukup jelas.
Baca Juga: Tabungan Kaum Mendang-Mending Sebabkan Perekonomian Kian Loyo, Kenapa?
Menurutnya, salah satu tanda ini terlihat dari kenaikan inflasi yang sangat tinggi. Namun, di saat yang bersamaan, pemulihan ekonomi tak kunjung cepat mengejar proses kenaikan inflasi. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi masih berada pada level yang rendah.
Adapun salah satu faktor penyebabnya ialah kondisi geopolitik yang mendorong kenaikan harga komoditas energi, dan pada muaranya juga ikut menggerek meningkatnya harga pangan di seluruh dunia. ujar Yusuf ketika dihubungi, Senin (13/6/2022)
Sebenarnya dalam konteks Indonesia, lanjut Yusuf, stagflasi perlu dilihat lebih lanjut. Sebab, jika melihat dari beberapa indikator sebenarnya prasyarat stagflasi di Indonesia masih belum nampak setidaknya sampai dengan bulan Juni ini.
Memang betul bahwa inflasi mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun lalu, namun kenaikan inflasi ini juga diikuti dengan proses pemulihan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dari beberapa indikator, tutur Yusuf.
Misalnya saja, dia menyebut, pada Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks Penjualan Riil yang masih stagnan berada pada level yang lumayan baik sehingga hal tersebut menandakan bahwa permintaan barang dan jasa dari masyarakat masih aktif.
Baca Juga: Bapanas Bangga Inflasi Indonesia Tetap Terkendali
Akan tetapi, risiko pusat klasik menurutnya bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, apalagi jika muara krisis geopolitik dan pangan menghantam secara sempurna. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut terlibat dalam perdagangan global yang tentu akan merasakan dampak dari kondisi tersebut.
Jika hal tersebut terjadi, maka proses pemulihan ekonomi di tahun ini akan mengalami gangguan yang cukup signifikan. Yusuf menyebut, jika stagflasi terjadi maka pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 akan berada di batas bawah angka target pertumbuhan yang disepakati, yakni sebesar 5,3% hingga 5,9%.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertumbuhan ekonomi bisa saja berada di kisaran 4,8% hingga 5% jika stagflasi terjadi di level yang tidak terlalu berat. Namun jika stagflasinya sangat tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan ikut menyesuaikan, ungkapnya.
Yusuf menyarankan, untuk mencegah stagflasi di tahun depan, pemerintah harus memastikan kebijakan perlindungan sosial dan penciptaan lapangan kerja agar perekonomian di negeri ini dapat berjalan secara optimal.
Misalnya, dalam hal perlindungan sosial, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan data penerima bantuan agar berjalan secara optimal. Sementara untuk kebijakan penciptaan lapangan kerja, investasi perlu didorong untuk lebih menonjol dibandingkan dengan tahun ini. Terutama pada investasi di sektor manufaktur.
Baca Juga: Sektor Pertanian di Lamongan Jadi Penopang Rendahnya Inflasi
Sementara itu, kebijakan fiskal meskipun berada pada level konsolidasi juga perlu didorong untuk mendorong proses pemulihan daya beli di tahun depan dengan mendorong belanja yang mempunyai efek multiplier yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya belanja modal, belanja subsidi dan belanja perlindungan sosial.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi