Optika.id - Bulan Juli mendatang rencananya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan. Namun, masih ada sejumlah pasal yang meresahkan publik. Yakni, mengenai pasal hukuman bagi penghina pemerintah dan DPR RI.
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin turut merespons terkait rencana rancangan KUHP dengan pasal penghina pemerintah dan DPR dihukum tiga tahun penjara. Menurutnya, pasal ini tidak boleh dihidupkan kembali karena bisa membuat demokrasi memudar bahkan punah.
Baca Juga: Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir
"Mestinya pasal ini tidak dihidupkan kembali. Kalau ini dihidupkan lagi maka demokrasi tidak akan tumbuh dan tidak akan berjalan. Karena nanti masyarakat akademisi, media dan siapapun dari rakyat Indonesia akan takut mengkritik pemerintah," kata Ujang dalam keterangannya, Minggu (19/6/2022).
Kemudian, ia melanjutkan hal ini nantinya menjadi persoalan. Ia mencontohkan misalnya pemerintahan melakukan korupsi pasti rakyat tidak diam saja. Mereka mengkritik. Kritikan mereka nanti dituduh menghina.
"Kalau seperti itu akan terjadi penangkapan-penangkapan. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah mestinya tidak menghidupkan dan mengeksekusi pasal ini. Lebih baik bekerja yang lain untuk rakyat," jelasnya.
Ujang menambahkan kalau ini disahkan rakyat akan dibungkam dengan posisinya yang kritis. Sehingga ia ingin pemerintah tetap dengan kebijakan yang menerima apapun kritikan.
"Diharapkan pasal ini tidak direalisasikan. Rakyat tidak butuh pasal ini. Mereka hanya ingin minyak goreng murah, fasillitas kesehatan gratis dan pekerjaan," katanya.
Membelenggu Demokrasi
Hal senada dikatakan pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, pasal tersebut jika disahkan bisa membatasi kebebasan berpendapat dan membelenggu demokrasi.
"Ya pasal ini membelenggu demokrasi dan kebebasan berpendapat. Delik ini delik materiil artinya penghinaan tidak berdiri sendiri karena harus menimbulkan akibat yang terjadinya kerusuhan. Artinya jika yang terjadi penghinaan saja tetap tidak menimbulkan akibat rusuh tidak dipidana," katanya, Minggu (19/6/2022).
Kemudian, ia melanjutkan pasal ini lebih tepat pidana terhadap pembuat kerusuhan dan keonaran yang tidak dikaitkan dengan penghinaan terhadap pemerintah yang bisa jadi berupa kritik dan saran.
"Jadi, pemerintah itu harus siap dikritik dan diberi saran bahkan harus siap dihina. Apalagi pemerintah itu lembaga bukan orang," katanya.
Abdul menambahkan kalau pasal tersebut melawan demokrasi. Sehingga membuat masyarakat jadi takut untuk menyuarakan pendapatnya.
"Kalau tidak terjadi kerusuhan seseorang tidak bisa dituntut dengan dasar pasal ini," katanya.
Pemerintah dan DPR juga dinilai bersikap otoriter karena tertutup dalam proses pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Padahal, keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran atau mengkritik pembahasan materi atau proses penyusunan undang-undang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Hak masyarakat untuk mengetahui perkembangan penyusunan RKUHP, katanya, juga dijamin melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Ya sikap ini yang aneh dari pemerintah. Seharusnya justru RUU disosialisasikan sebelum diundangkan. Terlepas dari isinya, sikap ini merupakan sikap otoriter yang melawan demokrasi," katanya.
Menurut Abdul, sikap seolah menyembunyikan materi rancangan RKUHP seperti itu tidak patut dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Sebab, RKUHP akan menjadi landasan penegakan hukum pidana dan berlaku terhadap semua warga Indonesia.
"Seharusnya ada keterbukaan baik dari DPR maupun pemerintah bahwa akan mengesahkan undang-undang yang akan menyangkut dan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan orang Indonesia, yaitu perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Semua orang Indonesia harus diinformasikan agar ketika hukum pidana diterapkan justru dapat mencegah terjadinya kejahatan," lanjut Abdul.
Divisi Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menambahkan, pada Juni 2021 lalu tim pemerintah juga sempat menolak membuka draf terbaru yang dihasilkan dari serangkaian proses pertemuan yang dilakukan dengan alasan belum diserahkan kepada DPR.
Akan tetapi, setelah disampaikan kepada DPR, pemerintah masih juga berkelit dan menolak membuka draf RKUHP tersebut.
"Mengenai pentingnya keterlibatan publik ini, Putusan Mahkamah Konstitusi MK 91/PUU-XVIII/2020 turut mengingatkan bahwa tidak terpenuhinya aspek partisipasi bermakna ini mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang memiliki cacat formil. Gairah memutus rantai dengan produk kolonial seharusnya tidak mengkhianati esensi dari pembentukan undang-undang yaitu terpenuhinya rasa keadilan dan pemenuhan etika partisipasi keterwakilan publik. Oleh karena itu, jangan sampai dalih percepatan proses menutupi perwujudan keadilan bagi masyarakat, ucap Fajri.
Hambat Demokratisasi
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Raihan Ariatama, menilai beberapa pasal dalam RKUHP dapat menghambat demokratisasi di Indonesia.
Dalam draf RKUHP versi September 2019 yang dapat diakses publik, terdapat beberapa pasal kontroversial yang dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Ia memberi contoh seperti Pasal 218 tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
Pasal 273 tentang pidana bagi demonstran yang tidak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keonaran dan Pasal 353 dan 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Baca Juga: Selebgram dan Selebriti Diduga Endorse Soal RKUHP
"Pasal-pasal tersebut mengandung multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mempidanakan para aktivis yang menyuarakan kiritiknya, baik itu melalui aksi demonstrasi maupun melalui sarana teknologi informasi seperti media sosial," kata Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama, Minggu (19/6/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Raihan, semangat dekolonisasi yang menjadi landasan pembahasan RKUHP harus dilaksanakan secara komprehensif.
"Pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan pasal pidana untuk demonstran tersebut kan warisan kolonial. Penghinaan memiliki makna yang sangat luas, yang bisa disalahgunakan untuk mempidanakan para aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah," jelasnya.
Padahal, menurut Raihan, kritik itu menyehatkan demokrasi dan merupakan bagian dari checks and balances dalam negara demokrasi. Lebih lanjut, Raihan meminta pemerintah dan DPR untuk tidak tergesa-gesa dalam membahas RKUHP.
"Publik harus benar-benar dilibatkan. Protes keras publik terhadap pembahasan RKUHP pada 2019 seharusnya menjadi concern Pemerintah dan DPR dalam membahas RKUHP kali ini. Apalagi, sampai saat ini, publik masih belum dapat mengakses draf RKUHP terbaru," katanya.
Hal berbeda dikatakan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). BEM SI menilai wajar jika pelaku penghinaan bisa dipenjara jika tujuannya adalah untuk melawan pemerintah. Namun BEM SI menganggap tidak tepat kritik terhadap pemerintah tidak dibolehkan sama sekali.
"Pendapat saya mengenai kebijakan ini adalah kalau semisalnya di sini untuk melawan, ka ada landasan hukumnya. Ataupun ada hal-hal yang sudah diatur dalam undang-undang. Tetapi kalau mengkritisi, itu masih dibebaskan," kata Koordinator Media BEM Seluruh Indonesia Luthfi Yufriza, Minggu (19/6/2022).
Secara pribadi dia menyayangkan adanya pasal tersebut dalam RKUHP. Karena bisa menjadi pasal karet atau menjadi kebijakan yang tumpang tindih antara melawan dan mengkritisi. Luthfi juga kurang sepakat dengan bahasa yang digunakan dalam RKUHP ini.
"Sebaiknya bisa diperjelas lagi untuk tatanan bahasanya," ujarnya.
Diketahui, pada 2019 lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat I tetapi urung dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
Kemudian pada 25 Mei 2022 digelar Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan Komisi III DPR.
Saat itu, Kemenkumham yang mewakili pemerintah menyampaikan 14 isu krusial dalam RKUHP kepada Komisi III DPR pasca pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir.
Komisi III DPR lantas menyatakan menyetujui 14 isu krusial itu dan akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Keputusan itu membuat langkah selanjutnya dalam pembahasan RKUHP adalah tahap Pembicaraan Tingkat II serta pengesahan saat Rapat Paripurna.
Baca Juga: Desak Pembatalan UU KUHP yang Baru, Badko HMI Jatim Minta Presiden Keluarkan PERPPU
Pemerintah dan Komisi III DPR berencana menyelesaikan pembahasan RKUHP dan disahkan pada Juli 2022 mendatang.
Aliansi nasional reformasi KUHP mencatat 11 kegiatan sosialisasi tersebut diselenggarakan di Medan pada 23 Februari 2021, Semarang pada 4 Maret 2021, Bali pada 12 Maret 2021, Yogyakarta pada 18 Maret 2021, dan Ambon pada 26 Maret 2021.
Kemudian di Makassar pada 7 April 2021, Padang pada 12 April 2021, Banjarmasin pada 20 April 2021, Surabaya pada 3 Mei 2021, Lombok pada 27 Mei 2021, dan Manado pada 3 Juni 2021.
Namun obyek utama dari sosialisasi tersebut yakni draf RKUHP baru diberikan aksesnya hanya kepada peserta sosialisasi di Manado.
Akses dokumen RKUHP tersebut sangat eksklusif karena hanya dibagikan khusus kepada peserta yang hadir secara luring di Hotel Four Point Manado maupun yang hadir secara online melalui kanal Zoom.
Padahal, draf tersebut seharusnya dapat diakses melalui Kemenkumham maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Baik berupa offline maupun online lewat website yang bisa mudah diakses masyarakat.
Namun hingga saat ini, ada sejumlah pasal dalam draf RKUHP yang disorot karena dinilai mengancam masyarakat yang menghina pemerintah.
Aturan tentang penghinaan pemerintah tertuang dalam Pasal 240, dengan bunyi sebagai berikut. Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Kemudian, ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasa 240 RKUHP tersebut akan dinaikkan menjadi 4 tahun, jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial, sebagaimana bunyi draft pasal 24 RUKUHP berikut ini.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi