Optika.id - Setelah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) bersuara, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) turut menyoroti pasal-pasal di RKUHP yang dianggap dapat merusak demokrasi. Pasal tersebut adalah Pasal 273 dan Pasal 354 RKUHP.
Pasal 273 adalah soal pidana penjara bagi demonstran tak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keonaran. Sementara itu, Pasal 354 adalah pidana bagi yang menghina penguasa.
Baca Juga: Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir
"Beberapa pasal di dalam RKUHP tidak sejalan dengan semangat reformasi di Indonesia karena mengancam demokrasi serta persatuan kesatuan bangsa Indonesia," kata Ketua Umum PP GMKI Jefri Gultom dalam keterangannya, Selasa (21/6/2022).
Jefri Gultom memaparkan, ada dua aspek penting dalam RKUHP, yaitu aspek perkembangan demokrasi di Indonesia dan aspek keutuhan integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia menyampaikan Pasal 273 dan 354 di dalam RKUHP berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia. Dalam Pasal 273 RKUHP, aktivis mahasiswa dapat dipidana jika melakukan demonstrasi tanpa pemberitahuan kepada yang berwenang dan mengganggu kepentingan umum.
"Dalil mengganggu kepentingan umum memiliki makna sangat luas, aktivis mahasiswa sangat rentan dikriminalisasi jika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau pejabat tertentu yang menjadi sasaran kritik," ucap Jefri.
Dia menilai Pasal 273 dan 354 dalam RKUHP bertentangan dengan misi RKHUP sebagai bagian dari dekolonisasi dalam hukum pidana di Indonesia. Selain itu, bertentangan dengan semangat Presiden Jokowi dalam melindungi demokrasi.
"Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, niat baik Presiden Jokowi memperbaharui KUHP justru dirusak oleh pasal yang antidemokrasi," jelasnya.
BEM UI Desak Transparansi
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Universitas Indonesia (UI) mendesak transparansi pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka menilai publik tak dapat memantau draf terbaru RKUHP.
"Publik tidak dapat mengawal dan memantau permasalahan yang terkandung dalam draf terbaru RKUHP," demikian bunyi keterangan BEM Se-UI dalam pernyataan tertulis dari Ketua BEM UI, Bayu Satria Utomo, Selasa (21/6/2022).
Mereka telah menggelar aksi pernyataan sikap terkait transparansi draf final RKUHP di kampusnya, di Depok Jawa Barat, Senin (13/6/2022) lalu. Mereka menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah dan DPR. Pembahasan RKUHP dinilai minim partisipasi publik.
"Hingga saat ini, tidak terdapat draf terbaru RKUHP yang dibuka kepada publik. Hal tersebut bertolak belakang dengan fakta bahwa proses pembahasan RKUHP oleh Pemerintah dan DPR RI terus berjalan pascapenundaan pada tahun 2019," lanjutnya.
Dalam keterangan yang sama, BEM Se-UI bicara soal 24 poin krusial dalam daftar Inventarisasi Masalah RKUHP versi September 2019 yang diajukan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Namun kini, lanjut BEM Se-UI, pemerintah dan DPR hanya menginformasikan matriks berisi 14 isu krusial RKUHP.
Menurut mereka pemerintah dan DPR menyepakati langsung membawa RKUHP ke dalam rapat paripurna karena pembahasan tingkat pertama telah dilakukan pada periode sebelumnya. BEM Se-UI merasa pembahasan substansi belum cukup sehingga belum bisa langsung dibawa ke rapat paripurna. Pembahasan yang belum cukup yakni meliputi partisipasi publik sebagai syarat wajib.
3 poin pernyataan sikap BEM Se-UI soal RKUHP:
1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membuka draf terbaru RKUHP;
2. Menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dan inklusif dengan mengutamakan partisipasi publik yang bermakna; dan
3. Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk meninjau kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP sebelum pengesahan dilakukan.
Aturan Keterbukaan Draf RUU
Keterbukaan membuka draf RUU merupakan amanat Pasal 5 UU No 12/2011. Pasal tersebut mensyaratkan pembuatan UU harus berdasarkan asas keterbukaan.
Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas asas keterbukaan itu dalam putusan Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan bila keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan:
(i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu:
Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard);
kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered);
Baca Juga: Selebgram dan Selebriti Diduga Endorse Soal RKUHP
ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas," papar MK.
Tujuan pembahasan RUU butuh keterbukaan:
Menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan.
Membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan;
Meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif;
Memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan;
Meningkatkan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan
Menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Salah satu misteri draf RUU itu di antaranya Pasal 353 ayat 1.
Berikut bunyi draf Rancangan KUHP:
Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II
Dalam penjelasan disebutkan:
Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota.
Draf RKUHP juga memuat pasal yang mengancam aksi demonstrasi tanpa pemberitahuan ke aparat. Ancamannya adalah penjara setahun.
Baca Juga: Desak Pembatalan UU KUHP yang Baru, Badko HMI Jatim Minta Presiden Keluarkan PERPPU
Selama ini demonstrasi memang perlu didahului pemberitahuan tertulis kepada polisi. Namun demikian, demonstrasi tanpa pemberitahuan tidak punya konsekuensi pidana penjara, melainkan cukup dikenai tindakan adminstrasi yaitu pembubaran. Ini diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998.
Namun kini, pemerintah dan DPR tengah menyusun RKUHP berisi aturan baru soal demonstrasi. Demonstran yang berunjuk rasa tanpa didahului pemberitahuan bisa kena pidana penjara setahun, apabila demonstrasi itu mengakibatkan gangguan publik.
Draf terakhir yang beredar saat ini adalah draf RKUHP 2019. Berikut adalah pasal yang mengatur soal demonstrasi tanpa pemberitahuan itu:
Pasal 273
Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Penjelasan Pasal 273 yaitu:
Yang dimaksud dengan "pawai" adalah arak-arakan di jalan, misalnya pawai pembangunan.
Rencana dari pemerintah, RKUHP akan disahkan pada Juli mendatang.
Komnas Perempuan seperti dilansir cnnindonesia, juga menyoroti sulitnya mengakses draf RKUHP. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan kesulitan tersebut membuatnya hanya bisa merujuk pada draf RKUHP yang dikeluarkan pada tahun 2019.
Kondisi ini mempersulit koalisi masyarakat sipil untuk mengikuti perkembangan pembahasan RKHUP. Termasuk untuk memastikan RKUHP mengakomodir isu kekerasan seksual yang masih belum tercakup dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Bisa jadi ada perkembangan-perkembangan lanjutan. Bahkan ketika kami menyusun tim, kami juga ragu, jangan-jangan sudah berubah banget," ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (25/5/2022) lalu.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi