LPSK Sebut Kasus Penyiksaan Warga Sipil Bagai Fenomena Gunung Es

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 28 Jun 2022 21:04 WIB

LPSK Sebut Kasus Penyiksaan Warga Sipil Bagai Fenomena Gunung Es

i

handcuffs-g0b35c12bf_1920

Optika.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membeberkan kelakuan aparatur negara yang menjadi aktor di balik banyaknya penyiksaan kepada rakyat sipil.

Maneger Nasution selaku Wakil Ketua LPSK menyebut, ada 13 kasus penyiksaan yang masuk ke LPSK pada tahun 2020, sebanyak 28 kasus pada tahun 2021 dan 13 kasus pada Januari - Mei 2022.

Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?

Melihat datanya tersebut, Nasution menambahkan, walaupun datanya sebatas puluhan, namun LPSK meyakini jika praktik penyiksaan ini sebagai gejala gunung es. Sebabnya, ia yakin jika data tersebut belum mampu menggambarkan dan mencakup peristiwa sesungguhnya.

"Bisa jadi peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab tidak semua masyarakat yang mengalami (korban) atau saksi yang melihat itu punya keberanian untuk melapor," kata Nasution di Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Nasution merinci, tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK tertinggi justru pada tahap penangkapan. Yang kedua, ketika penyelidikan dilakukan. Ketiga justru di luar proses hukum, kemudian yang terakhir ketika berada dalam masa tahanan.

"Siapa aktornya? Aktor atau pelaku dari penyiksaan itu penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik," ujar Nasution.

Tak hanya itu, LPSK juga menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Misalnya, kasus yang terjadi di Sumba.

Baca Juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin

"Yang manas-manasi, menghasut oknum tentara untuk melakukan kekerasan itu anggota DPRD," kata Nasution.
Fenomena seperti ini, menurut Nasution, masih terjadi sebab tidak terlepas dari situasi di Indonesia. Ia menyinggung persoalan substansi hukumnya juga. Sebab, sampai saat ini Indonesia masih belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam Undang-Undang Induk, yakni KUHP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam KUHP, sambung Nasution, yang diatur malah norma kekerasan, dan bukannya penyiksaan.

Selain itu, Indonesia memang sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998. Namun, hingga kini, belum juga meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Oleh karena itu, Nasution mendorong pembuat UU memasukkan norma penyiksaan dalam RKUHP.

"Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, di sisa-sisa periode keduanya ini, mengambil inisiatif baru meratifikasi OPCAT. Kalau ini terjadi, sungguh legacy yang baik, ujar Nasution.

Baca Juga: Relasi Kuasa Dibalik Anak Pejabat yang Doyan Kekerasan

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU