Optika.id - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) draf finalnya telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI, telah menuai pro-kontra di masyarakat. Pasalnya, di dalam R-KUHP tersebut terdapat pasal yang dianggap membungkam demokrasi di negeri ini.
Analis kebijakan ahli madya Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) RI Mimin Dwi Hartono memberikan catatan khusus terhadap pemerintah dan parlemen untuk dijadikan acuan dalam mengesahkan RUU KUHP yang mengandung sejumlah pasal yang kontroversi di tengah masyarakat.
Baca Juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
"Terkait hukum yang hidup dalam masyarakat, mekanisme hukum informasil perlu diakui sebagai salah satu bentuk eksistensi hukum di masyarakat dan mengurangi tekanan pada beban di mekanisme pidana formal. Komnas HAM merekomendasikan standar norma dan pengaturan (SNP) Hak Memperoleh Keadilan, kata Dwi dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Selain itu, Dwi Hartono juga menyinggung adanya hukuman mati dalam R-KUHP, menurutnya hal itu bentuk dari pelanggaran hak hidup yang merupakan supreme rights meskipun pidana mati menjadi pidana alternatif.
"Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak untuk Bebas dari Segala Bentuk Penyiksaan, imbuhnya.
Kemudian, lanjut Dwi Hartono, terkait penyerangan atas harkat dan martabat presiden atau Wapres, berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi. Setiap pejabat negara harus memiliki akuntabilitas.
"Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspres, katanya.
Mengenai pelanggaran HAM yang berat, Dwi meminta agar pemerintah dan parlemen mengkategorikan pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana biasa padahal merukana extraordinary crime. Komnas HAM merekomendasikan SNP pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Kelima, contempt of court, membatasi secara sewenangwenang hak atas kebebasan berekspresi, hak memperoleh keadilan, dan hak atas informasi publik. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, SNP Hak Memperoleh Keadilan, ujarnya.
Baca Juga: KPU Tak Sediakan TPS Khusus, Komnas HAM: Pekerja di RS hingga IKN Kehilangan Hak Pilih
Terkait penodaan agama, kata. Dwi Hartono, berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selanjutnya, ihwal pasal kekuatan ghaib, mengancam pidana bagi mereka yang melakukan praktik-praktik tradisional diantaranya untuk tujuan kesehatan. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kesehatan
Lalu, soal pasal perzinaan, sudah ada hukum yang mengatur secara khusus yaitu UU TPKS.
"Unjuk rasa/pawai umum, berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, katanya.
Terhadap pasal penghinaan pada pemerintah yang sah, berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Berpendapat dan Berekspresi.
Baca Juga: Komnas HAM: Pencoblosan Pemilu 2024 Masih Diwarnai Banyak Permasalahan
"Pencemaran nama baik, Berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Bereskspresi, tutupnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi