Optika.id - Aliansi Aksi Sejuta Buruh akan menggelar aksi besar-besaran secara serentak di DKI Jakarta dan Ibu Kota Provinsi di seluruh Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2022. Dalam aksi tersebut mereka menuntut dicabutnya Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja.
Koordinator Aliansi Aksi Sejuta Buruh, Jumhur Hidayat mengatakan muatan Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja mengabaikan azas keterbukaan. Atas hal itu, lanjut dia, kaum buruh merasa ketidakadilan dan kehilangan perlindungan dari negara dalam masa bekerja.
Baca Juga: Rizal Ramli: UU Omnibus Law Pintu Masuk Perbudakan Modern
"Karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing), dan ancaman PHK yang setiap saat menghantui serta aturan yang menurunjan standar kesejahteraan," ujar Jumhur saat jumpa pers di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2022).
"Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial," sambungnya.
Jumhur memaparkan, demonstrasi harus ditempuh sebagai respons atas abainya pemerintah dan DPR RI atas berbagai aksi dan dialog. Dalam hal ini, aksi dan dialog sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja.
"Hal ini malahan direspons dengan mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP (Pembentukan Peraturan Perundangundangan), sehingga bisa menjadi alat untuk melegitimasi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK menjadi konsititusional dan berlaku di Indonesia," katanya.
Jumhur mengatakan, Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja telah bermasalah sejak awal pembentukan. Hal itu tergambar jelas dari reaksi yang timbul dari berbagai komponen masyarakat.
Pemerintah dan DPR, lanjut Jumhur, telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dalam membentuk undang-undang tersebut. Hal itu tergambar dari proses revisi Undang-Undang PPP yang begitu instan.
"Bila kita menyimak putusan MK, akan terlihat bahwa tidak mungkin UU ini menjadi konstitusional," katanya.
Baca Juga: Partai Buruh Diambang Manuver Politik dan Idealisme Kelas Pekerja
UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan ini artinya tidak terjadi proses komunikasi, konsultasi, musyawarah secara tuntas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (19) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian juga halnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (I) dan (2), pasal 25 ayat (I) dan (2), pasal 27 yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit.
"Faktanya Serikat Pekerja dan Serikat Buruh tidak dilibatkan dalam perencanaan penyusunan draft/naskah RUU Cipta Kerja padahal ini menyangkut nasib lebih dari 56 juta pekerja formal beserta keluarganya yang artinya juga pasti mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara umum," tegasnya.
Atas hal itu, Aliansi Aksi Sejuta Buruh menuntut agar pemerintah dan DPR segera mencabut Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja. Apabila tuntutan itu bisa direspons, maka aliansi akan siap berdialog secara konstruktif untuk ikut serta menyempurnakan kebijakan nasional tentang ketenagakerjaan.
"Baik yang diatur dalam sebuah UU maupun aturan-aturan turunannya," tukasnya.
Baca Juga: Buruh Dukung Mahfud MD Bongkar Skandal Uang Panas Rp 349 Triliun
Diketahui, hingga saat ini, Aliansi Aksi Sejuta Buruh telah diikuti lebih dari 40 Organisasi Buruh mulai dari, Konfederasi, Federasi, Serikat Pekerja tingkat perusahaan, OJOL (Ojek Online), TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) dan lain-lain di Seluruh Indonesia.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi