Optika.id - Tiga negara di kawasan Asia Tenggara saat ini tengah bersiap-siap untuk menyambut Pemilu. Oleh sebab itu, para cendekiawan serta pengamat politik saat ini mengungkapkan kekhawatiran terhadap manuver opini publik di media sosial Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Selama bertahun-tahun, manuver para propagandis di media sosial menjadi ancaman berbahaya bagi demokrasi di Asia Tenggara. Diketahui juga, strategi penggunaan cybertroopers di negara-negara Asia Tenggara saat ini semakin meningkat seiring periode pemilihan umum (Pemilu) mendekat.
Baca Juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Saat ini, aktor politik berusaha mempengaruhi opini publik melalui Twitter, Facebook, dan YouTube untuk mendulang suara serta simpati publik di wilayahnya masing-masing.
Tak hanya ketiga media sosial tersebut, TikTok disebut-sebut sebagai alat strategis baru bagi para propagandis untuk mendorong narasi politik selama periode pemilu.
TikTok dimanfaatkan oleh propagandis sebab aplikasi tersebut memiliki fitur unik yang dapat menjangkau publik lebih luas karena model berbagi kontennya yang terbilang baru dibandingkan dengan media sosial lain, dimana TikTok tidak mengandalkan jumlah pengikut melainkan berfokus pada konten itu sendiri.
Artinya, siapapun bisa membuat konten yang cukup menarik dapat membuka For Your Page atau FYP yang nantinya membuka pintu peluang bagi para oportunis politik untuk mendorong narasi politik dengan membuat konten audio-visual sesuai kebutuhan dengan menarik.
Melalui sistem ini, pesan propaganda politik akan mendorong munculnya pengikut fanatik politik baru karena TikTok akan mendorong konten serupa untuk pengguna.
Akan tetapi, di saat perusahaan teknologi lain seperti Google, Facebook dan Twitter telah mengambil langkah tegas dan serius untuk memerangi penyalahgunaan platform mereka dari propaganda bermuatan politis, TikTok tidak memiliki tameng serta kebijakan yang ketat mengenai hal tersebut.
Dilansir dari The Guardian, para peneliti serta media mengkritik TikTok yang mengizinkan konten bermuatan politis muncul tanpa filter di platformnya.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
TikTok tengah mengandalkan sebagian besar pengawasannya pada sistem internal dan kecerdasan buatan, namun tampaknya masih berjuang dalam mengawasi konten yang diproduksi penggunanya di platformnya," tulis The Guardian, Minggu (17/7/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kendati saat ini TikTok sudah membuat panduan komunitas terbarunya guna menghindari penyalahgunaan platform oleh individu, akan tetapi propaganda politik masih ditemukan merajalela di platform tersebut. Misalnya saja di bagian Live dari TikTok yang disalahgunakan untuk menyebar narasi politik di beberapa negara termasuk Rusia dan Amerika Serikat.
Fitur Live tidak seperti konten audio-visual yang diupload, sebab fitur berbagi langsung tersebut menghadirkan tantangan tersendiri karena sifat streaming yang terjadi saat itu juga membuat pemantauan TikTok menjadi kurang efektif jika diawasi secara manual oleh manusia biasa.
Tetapi, mengandalkan manusia dalam mengawasi video terus menerus selama 24 jam tidak realistis karena hal tersebut tidak dimungkinkan secara secara ekonomi karena harus mempekerjakan tenaga kerja yang cukup untuk memantau jutaan konten yang diunggah di TikTok setiap hari.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Oleh karena itu, cara terbaik berikutnya adalah dengan melibatkan komunitas dengan mengembangkan sistem pelaporan untuk membantu mengidentifikasi konten yang melanggar aturan. Cara-cara itu akan direplikasi di TikTok selama pemilihan Asia Tenggara mengingat platform tersebut meningkat popularitasnya di Asia Tenggara dalam tiga tahun terakhir," tutup The Guardian.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi