Optika.id - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas sampai saat ini tak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan, yakni secara yudisial atau hukum.
Menurut Jaleswari, harus ada dua jalan yang ditempuh, yakni secara yudisial dan non-yudisial atau di luar peradilan.
Baca Juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan, kata Jaleswari, melalui keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (21/8/2022).
Pengalaman di berbagai negara mengajarkan setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial, sambungnya.
Berdasarkan catatan pemerintah, terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM.
Dari 13 peristiwa tersebut, 9 peristiwa termasuk dalam pelanggaran HAM berat masa lalu karena terjadi sebelum ada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Jaleswari pun mengatakan keputusan presiden atau keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan kesempatan yang lebih besar kepada para korban dan keluarga korban mendapatkan hak-hak mereka.
Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi dan lain sebagainya, katanya.
Soal pembentukan tim itu sebelumnya diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8/2022). Presiden mengatakan telah meneken keppres tersebut.
Namun, keppres itu dikritik sejumlah pihak. Setara Institute menilai keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu itu menguatkan impunitas dan memutihkan pelanggar HAM berat masa lalu.
Baca Juga: Isu Rohingya Tak Cukup Laku Buat Jadi Komoditas Politik?
Menurut Ketua Setara Institute Hendardi, Keppres tersebut menunjukkan bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak mau menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setara Institute memandang pembentukan Tim PAHAM hanyalah proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diselesaikan negara, kata Hendardi.
Menurut dia, alih-alih memproses kasus pelanggaran HAM sesuai mandat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan.
Ia pun mengatakan pembentukan tim tersebut akan berdampak pada pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik. Sebab, penyelesaian secara yudisial menjadi opsional.
Sampai saat ini, kasus pelanggaran HAM berat yang tengah ditangani Komnas HAM antara lain Pembunuhan Massal 1965, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Pembunuhan Munir, dan Tragedi Paniai.
Baca Juga: Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya, Terprovokasi atau Diprovokasi?
Komnas HAM pernah menyerahkan berkas-berkas kasus itu ke Kejaksaan Agung, tapi sebagian besar berkas kasus dikembalikan lagi. Kejaksaan sejauh ini hanya menindaklanjuti kasus Paniai dengan seorang tersangka.
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi