AZIS SYAMSUDDIN, KPK, DAN DRAMATURGI

author optikaid

- Pewarta

Minggu, 26 Sep 2021 12:39 WIB

AZIS SYAMSUDDIN, KPK, DAN DRAMATURGI

i

AZIS SYAMSUDDIN - Optika: 2021, modifikasi berbagai bahan

Optika.id. Surabaya. Penjemputan paksa Azis Syamsuddin, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), oleh tim KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di rumah kediamannya bagai drama politik Jumat Keramat. Azis diangkut dari rumahnya, meskipun status hukumnya belum jelas sebagai tersangka atau saksi. Sampai di Gedung Merah Putih KPK, pukul 19. 55, (24/09/2021), langsung diperiksa.

Ali Fikri, Plt Humas KPK, tidak pernah tegas menyatakan status Azis sampai dengan diperiksanya  Jumat malam itu. Maknanya adalah Azis tatkala dijemput paksa dari rumahnya untuk diperiksa di Gedung Merah Putih KPK mestinya masih sebagai saksi dan belum tersangka. Baru sebagai saksi, apakah etis harus dipaksa diperiksa dengan gaduh seperti malam itu? Padahal sudah ijin untuk menundah dan akan datang 4 Oktober 2021.

Setelah diperiksa hampir 4 jam, sekitar pukul 01.00 WIB, Sabtu (25/09/2021) dini hari, Azis ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan KPK. Azis ke luar dari ruang pemeriksaan dengan baju rompi tahanan KPK berwarna oranye dengan tangan diborgol. Azis dengan muka ditutup masker tampak dingin wajahnya. Azis berjalan ke podium untuk ditunjukkan kepada audien di panggung dalam rangka konferensi pers. Di panggung ada Firli Bahuri, staf KPK, dan digerudug para wartawan.

Dramaturgi Penangkapan Azis Syamsuddin

Pengangkutan dan penjemputan paksa Azis Syamsuddin oleh tim KPK dari rumahnya Azis ke Gedung KPK menjadi tontonan publik yang menarik. Apalagi Azis langsung diperiksa dan kemudian Sabtu (27/09/2021), dini hari, langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Hal itu disajikan dalam panggung konferensiasi pers.

Menurut Goubin Yang, sosiolog dari China, untuk menciptakan emosi sosial yang luas maka panggung depan dari satu peristiwa politik perlu dimanaje begitu rupa. Menurut Yang ada 3 jenis peran yang harus direkayasa: penantang (pengorganisasi gerakan dan aktivis), yang ditentang (lawan), dan penonton (penonton dan publik media).

KPK, sebagai aktor harus menantang koalisi masyarakat sipil yang meragukan kapabilitasnya sebagai lembaga anti rasuah paling handal. Belakangan banyak opini publik dan koalisi masyarakat sipil meragukan kapabilitas dan integritas kepemimpinan KPK saat ini. Dalam sejarah KPK, kepemimpinan Firli Bahuri dinilai paling kontroversial dan melemahkan KPK.

Atas dasar hal tersebut maka KPK harus melakukan langkah dramatis dalam pemberantasan korupsi untuk meyakinkan koalisi masyarakat sipil yang meragukan kinerja KPK. Di sisi lain KPK juga harus mengubah persepsi publik dan masyarakat sebagai penonton dan meyakinkan mereka bahwa KPK masih on the track.

Ada benarnya penangkapan Azis itu sebagai drama, kata Dr Abdul Aziz dari Fisip Universitas Brawijaya (UB) saat dihubungi Optika.id lewat telpon, Minggu (26/09/2021).

"Keberanian KPK menangkap AS sama sekali bukan prestasi, malah terkesan KPK bertindak lambat. Tengok sana-sini dulu, baru kemudian menangkap AS. Jika disebut ada semacam drama di dalamnya, ada benarnya. Kebetulan AS tergolong objek kakap (karena posisi politiknya sebagai Wakil Ketua DPR dan salah satu Ketua DPP Partai Golkar). Jadi, punya point tersendiri bagi KPK, penjelasan lebih detil dari Aziz.

Selaras dengan pendapat Aziz adalah komentar Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurut Zainal Arifin Mochtar, ahli Hukum Tata Negara UGM itu, penangkapan Azis sebagai hal yang logis.

Itu kasus sudah lama. Jika dilihat dari hal tersebut mestinya kasus Azis Syamsuddin selesai lebih awal, kata dosen Fkultas Hukum UGM saat diwawancarai Metro TV, 24/09/2021, Pukul 20.00an WIB.

Secara teoritis, dengan dasar teorinya Yang, apa yang dilakukan KPK adalah untuk mengaduk emosi masyarakat dan kemudian mengambil simpati. Panggung depan yang harus dieksploitasi, simpulan ilmuwan China yang mengambil dasar teori dramaturginya Irving Goffman itu.

Hal itu dibenarkan oleh Ali Sahab, pengamat politik dari Fisip Universitas Airlangga (Unair).

Penangkapan Aziz Syamsuddin bisa dikatakan capaian yang patut diapresiasi untuk mengungkap kolusi yang dilakukan oleh para politisi, kata Sahab lewat WhatsApp, Minggu (34/09/2021) kepada Optika.id.

Sahab menerangkan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa citra KPK merosot. Karena itu salah satu upaya untuk mengembalikan citra ya dengan prestasi,  menangkap Aziz Syamsuddin, urai Sahab.

Kredibilitas KPK Merosot

Dramatisasi penangkapan dan penahanan Azis Syamsuddin oleh KPK di tengah pamornya semakin merosot. Sejak kasus 56 orang penyidik KPK dinyatakan tidak lulus TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) dan kemudian dipecat KPK menjadi sorotan publik.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM terkait TWK Pegawai KPK.

Keputusan tersebut juga menunjukkan ketidakpedulian pimpinan KPK terhadap hak asasi pegawai-pegawainya, terutama yang tidak lulus TWK, urai Usman Hamid.

Karena itu kami kembali mendesak Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dan memulihkan status pegawai KPK yang diperlakukan tidak adil dalam proses dan hasil akhir TWK," kata Usman dalam keterangan resmi Amnesty International Indonesia pada Kamis (16/9/2021).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Terbaru Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM se-Indonesia bersama Gerakan Selamatkan KPK (Gasak) meminta Presiden Jokowi  untuk segera bersikap dan mengangkat 56 pegawai yang tidak lulus TWK menjadi ASN (aparatur sipil negara).

Sikap tersebut disampaikan BEM se-Indonesia bersama Gasak menyusul surat yang dikirimkan kepada Jokowi. Mereka bahkan mengultimatum akan melakukan aksi turun ke jalan bila Jokowi tidak mengangkat Novel Cs menjadi ASN dalam waktu 3x24 jam.

"Kami aliansi BEM dan Gasak memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi untuk berpihak dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN dalam waktu 3x24 jam tercatat sejak hari ini 23 September 2021," isi keterangan surat mereka, Kamis (23/9/2021).

"Jika bapak masih saja diam tidak bergeming. Maka kami bersama elemen rakyat akan turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rasional untuk bapak realisasikan," sambungnya.

Berbagai kritikan dan gugatan masyarakat sipil di atas menyebabkan KPK semakin tidak popular sebagai Lembaga antirasua terdepan di Indonesia.

KPK Tebang Pilih

Sejak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK, berbagai langkahnya dinilai kontroversial. Saat menangani kasus penyuapan Wahyu Setiawan, komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum), ada gejala KPK tebang pilih. Wahyu Setiawan kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK karena kasus penyuapan yang dilakukan Harun Masiku, Jumat (15/02/2019).

Sebagai pengembangan kasus suap Wahyu Setiawan, itu tim KPK berusaha menggeledah kantor DPP PDIP dan memburuh Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal DPP PDIP ke kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Penggeledehan dan perburuan itu gagal semua. Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Alhabsy, baru kali itu KPK gagal melakukan penggeledehan dan perburuhan.

Kegagalan memburu pelaku korupsi dari PDIP itu gagal hingga saat ini. Harun Masiku lenyap sampai hari ini dan belum jelas hasil perburuan KPK. Padahal Harun Masiku bukanlah tokoh politik besar dan kuat. Tampaknya Harun Masiku juga bukan konglomerat sangat kaya.

Begitu pula saat mantan Menteri Sosial Juliari Pieter Batubara ditangkap KPK, Rabu (23/12/2020), karena kasus korupsi bantuan sosial. Awal penangkapan Juliari P Batubara, Ketua KPK, Firli Bahuri langsung mengatakan pejabat korupsi disaat pandemi Covid 19 perlu dihukum mati. Apalagi dana untuk bantuan sosial bagi korbn Covid 19. Ternyata jaksa KPK hanya menuntut Juliari P Batubara ancaman penjara 11 tahun.

Tidak itu saja, KPK tampak pasif tatkala majalah Tempo melakukan investigasi kasus korupsi Juliari Batubara di lapangan mendapatkan dugaan adanya tokoh tertentu dari proyek bantuan sosial. Tempo menyebutnya ada Madame Bansos di balik pembagian bansos yang diduga dikorupsi. Secara indikatif Tempo menemukan 2 politisi PDIP di DPR di balik isu Madame Bansos. Tetapi isu Madame Bansos dan 2 orang politisi PDIP yang sempat diperiksa KPK itu belum ada kelanjutannya sampai saat ini.

Di sisi lain ICW (Indonesian Corruption Watch) melaporkan dugaan gratifikasi Firli ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri karena memakai helikopter untuk keperluan pribadi. Setelah itu Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK oleh 4 orang pegawai KPK non aktif. Dewas memberi sanksi kepada Lili karena melanggar kode etik. ICW kemudian laporkan Lili ke Bareskrim Mabes Polri.

Jika KPK tidak mau dikatakan tebang pilih, maka harus membuktikan penyelesaian kasus-kasus besar lain seperti Harun Masiku. Kalau kasus-kasus besar tidak tertangani upaya apapun untuk mengungkap KKN seolah tidak berarti dan tidak akan bisa memperbaiki nama baik KPK, urai Sahab, dosen muda Fisip Unair itu.

Abdul Aziz menilai KPK saat ini banyak diragukan masyarakat.

Betapa pun KPK berani menangkap AS, tetap saja lembaga anti-rasuah itu mandul dan ompong, sebab objek-objek kelas mega-skandal tak berani disentuh, termasuk kasus Bansos dan Harun Masiku yg keduanya melibatkan tokoh-tokoh besar dan sentral PDIP, urai Aziz tatkala disinggung tentang KPK tebang pilih.

Ya KPK terkesan sangat takut dengan PDIP. Sebaliknya, PDIP pun sangat ramah dan bersahabat dengan KPK, katanya. Menurut Aziz, sisi lain penangkapan AS adalah Partai Golkar. Penangkapan itu sekaligus merefleksikan ada gejolak internal di partai beringin. Ada persaingan, ada rebutan posisi. Posisi AS di pimpinan DPR dan DPP Partai Golkar sedang diinginjan oleh beberapa kader Golkar lainnya, keterangan detil dosen Pasca Sarjana UB itu.

Ketika kasus AS semakin transparan, kader Golkar sendiri ikut mendorong KPK untuk segera memborgol AS. Dengan begitu,  posisi politik AS segera lowong, pungkas Aziz.

Aribowo

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU