Optika.id - Lawyer (Kuasa Hukum) Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Johnson Panjaitan heran dengan pernyataan Komnas HAM (Hak Asasi Manusia). Johnson merespons dugaan kekerasan seksual terhadap Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi yang disebut Komnas HAM.
"Aneh bener ya dan ini menurut saya langkah mutakhir ini, mutakhir yang paling canggih dari duet antara Sambo dan istrinya, karena di masa lalu skenario yang dibangun ada pelaporan itu justru ditutup, pertanyaan saya sekarang Komnas HAM dapat dari mana sehingga bisa dapat kesimpulan begitu, karena Komnas kan kerja berdasarkan data yang bener ya, misal BAP karena kemarin saya tidak lihat ada soal pelecehan seksual di rekonstruksi ," ujar Johnson kepada wartawan, Kamis (1/9/2022).
Baca Juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Johnson menyebut Komnas HAM terkesan pro terhadap pelaku. Dia mengatakan hal itu akan meruntuhkan legitimasi Komnas HAM.
"Kalau memang benar temuan Komnas begitu, ini membuktikan kalau Komnas HAM lebih pro pelaku ke negara, daripada korban atau rakyat yang memiliki hak asasi dan cara kerja seperti ini menurut saya meruntuhkan legitimasi Komnas HAM," ujarnya.
Johnson juga menyinggung Komnas HAM yang tidak pernah berkoordinasi dengan keluarga Brigadir J. Menurutnya Komnas HAM hanya sekali bertemu dengan keluarga Brigadir J.
"Karena kami tidak pernah melaporkan pelanggaran hak asasi ke Komnas. Komnas berangkat setelah rapat dengan Wakapolri dan timsus, dan dia hanya datang ke Jambi bertemu dengan keluarga sampai sekarang dia tidak kasih tau apapun kepada keluarga, padahal kan keluarga korban," ujarnya.
Johnson meragukan temuan Komnas HAM yang menyebut adanya dugaan kekerasan seksual. Dia lalu menyinggung hasil rekomendasi yang tidak pernah dilanjuti oleh Polri.
"Bukan cuma meragukan tamuan saya juga meragukan legitimasi Komnas HAM dalam kasus ini. Ini kan rekomendasi ke Presiden dan Mabes Polri, padahal ketua Komnas bilang rekomendasi dari dia saja nggak pernah efektif dilaksanakan. Ini menurut saya ini mengejutkan dan menyedihkan menurut saya ya, karena isu pelecehan seksual menemukan legitimasinya lagi, dari mana, jalannya," ucapnya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga kuat peristiwa pembunuhan Brigadir Yosua (Brigadir J) didahului oleh peristiwa kekerasan seksual. Kekerasan seksual itu diduga dilakukan oleh Brigadir J terhadap istri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, di Magelang, Jawa Tengah.
Hal ini disampaikan Komnas HAM sebagai salah satu poin kesimpulan terhadap penyelidikan kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri yang dihuni Sambo saat itu, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
"Terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi) di Magelang, tanggal 7 Juli 2022," kata komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2022).
Kesimpulan paling mendasar adalah pembunuhan Brigadir J adalah peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum. Kesimpulan selanjutnya, tak ada penyiksaan terhadap Brigadir J. Tewasnya Brigadir J disebabkan oleh luka tembak di kepala dan dada sebelah kanan.
Pasal Ferdy Sambo dkk
Sementara itu, Mantan hakim agung Mahkamah Agung (MA), Prof Dr Topane Gayus Lumbuun, menyoroti pasal yang disangkakan penyidik Polri ke Ferdy Sambo dkk di kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Gayus menyoroti penggunaan 'subsider' dalam pasal itu.
"Saya khawatir di Pasal 340 subsider, subsider ini pengganti, jadi kalau nggak kena itu, ini (pasal 338), kenapa nggak juncto, ini perlu dikonstruksi dakwaan tadi, artinya kalau nggak 340, 338, itu cuma 15 tahun itu, sudah diramalkan gitu," ujar Gayus dalam diskusi publik bertajuk 'Membangun Pengawasan Demokratis Polri: Kematian Yosua dan Perkara Sambo', Kamis (1/9/2022).
Gayus berharap nantinya jaksa akan mendakwa Sambo dengan pasal kumulatif, yakni Pasal 340 dan 338.
"Kenapa disebut subsider, subsider itu pengganti, jadi 338 itu pengganti 340, 338 itu hanya 15 tahun. Semestinya juncto atau kumulatif, karena memang jenis-jenis nantinya dakwaan hakim akan melihat itu, sangat melihat itu," ucapnya.
Gayus lantas mencontohkan perkara Marsinah. Saat itu, di tingkat kasasi terdakwa dibebaskan karena konstruksi kasus yang membuat hakim ragu. Dia berharap kasus Ferdy Sambo di persidangan nanti tidak seperti itu.
"Seperti hakim (di perkara) Marsinah itu hakim yang teruji dan berkualitas yaitu Adi Andojo, siapa yang nggak kenal hakim Adi Andojo, dia bebaskan 9 orang itu, kalau hakimnya lain mungkin orang akan bertanya 'wah ini hakim bagaimana karakternya', ini Pak Adi Andojo, dia bebaskan," ucap Gayus.
"Karena apa, konstruksi dipecah di antaranya saksi mahkota silang terus, ragu, sebagai hakim yang adil, jujur, cerdas, dia ragu, daripada saya menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Saya bebaskan 10 yang bersalah, itu konsep memang, bagi hakim gitu semua pikirannya, tidak mudah," imbuhnya.
Ferdy Sambo dkk Tersangka
Diketahui, Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Dia dijerat sebagai tersangka bersama empat orang lainnya, yakni sang istri Putri Candrawathi, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Bripka Ricky, dan Kuat Ma'ruf.
Ferdy dkk dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP.
Obstruction of Justice
Selain itu Polri telah menetapkan total tujuh tersangka obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi proses hukum pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Kini Ferdy Sambo juga telah ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice.
"IJP FS, BJP HK, KBP ANP, AKBP AR, KP CP, KP BW, dan AKP IW," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Kamis (1/9/2022).
Baca Juga: KPU Tak Sediakan TPS Khusus, Komnas HAM: Pekerja di RS hingga IKN Kehilangan Hak Pilih
Termasuk Ferdy Sambo, ini tujuh tersangka obstruction of justice:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Irjen Ferdy Sambo selaku mantan Kadiv Propam Polri
2. Brigjen Hendra Kurniawan selaku mantan Karopaminal Divisi Propam Polri
3. Kombes Agus Nurpatria selaku mantan Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri
4. AKBP Arif Rahman Arifin selaku mantan Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri.
5. Kompol Baiquni Wibowo selaku mantan PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri
6. Kompol Chuk Putranto selaku mantan PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri
7. AKP Irfan Widyanto selaku mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri.
Pengertian Obstruction of Justice dalam Hukum Pidana
Dikutip dari laman Cornell Law School, obstruction of justice artinya suatu tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, mempengaruhi, menghalangi, atau menghalangi, atau berusaha untuk mempengaruhi, menghalangi, atau menghalangi, administrasi peradilan atau proses hukum yang semestinya.
Pengertian tersebut selaras dengan penjelasan tentang obstruction of justice yang dikutip dari Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro. Obstruction of justice adalah suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena menghalang-halangi atau merintangi proses hukum pada suatu perkara.
Dasar Hukum Obstruction of Justice di Indonesia
Di Indonesia, tindakan obstruction of justice telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni dalam Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Baca Juga: Komnas HAM: Pencoblosan Pemilu 2024 Masih Diwarnai Banyak Permasalahan
Dalam Pasal 221 KUHP, disebutkan bahwa arti obstruction of justice yaitu suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum. Adapun bunyi Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice adalah sebagai berikut.
Isi Pasal 221 KUHP Ayat 1:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Isi Pasal 221 KUHP Ayat 2:
Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Adapun bunyi Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 (Tipikor) tentang ancaman bagi pelaku obstruction of justice adalah sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi