Optika.id - Masih segar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh salah satu pedangdut Tanah Air, Lesty Kejora oleh suaminya beberapa waktu yang lalu. Namun, fenomena KDRT ini merupakan fenomena gunung es yang jumlahnya jauh di bawah dari kata aman.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA), sepanjang tahun 2021 saja ada 10.247 kasus kekerasan dengan korban perempuan.
Baca Juga: Kasus Kekerasaan Seksual Tak Kunjung Henti Terjadi di Sekolah
Kemudian, sebanyak 7.608 kasus terjadi dalam rumah tangga dengan suami sebagai pelaku. Kekerasan ini dilakukan dengan berbagai dalih dan alasan, namun yang utama ialah untuk menunjukkan kekuatan, kekuasaan dan kendali maskulinitasnya.
Melansir dari laman Very Well Mind pada Sabtu (1/10/2022), pria dengan sikap yang kasar cenderung merasa superior terhadap segala hal. Mereka melakukan kekerasan tersebut secara sadar dan penuh perhitungan untuk mencapai tujuan serta dominan memegang kendali.
Tak jarang kekerasan dilakukan untuk tujuan manipulatif. Tujuannya yakni membuat perempuan merasa tidak berdaya, tidak berharga dan merasa rendah. Kadang juga kekerasan dilakukan untuk menutupi kesalahan seperti perselingkuhan. Sehingga menunjukan posisi bahwa ia berhak melakukannya.
Mengutip dari American Psychology Association (APA) sebuah studi yang dilakukan oleh Buss dan Shackelford menemukan bahwa para pelaku KDRT yang berselingkuh juga melakukan kekerasan fisik dengan tujuan untuk mempertahankan pasangannya agar tidak meninggalkan hubungan.
Tindak kekerasan tersebut dilakukan sebagai permohonan sekaligus sebagai ancaman agar pasangannya tetap tinggal. Hal tersebut juga membuat perempuan tidak berdaya untuk pergi dari hubungan, padahal, dampak dari kekerasan yang berulang bisa menimbulkan trauma yang serius, depresi, hingga gangguan mental.
Tak jarang pula pihak perempuan bertahan dengan harapan bahwa pasangannya akan perlahan berubah dan mengakhiri kekerasan.
Baca Juga: Benarkah KDRT Bisa Diwariskan?
Menurut Nora Femenia selaku pakar hubungan, potensi pelaku untuk berubah justru semakin kcil sebab laki-laki sebagai pelaku kekerasan kerap memunculkan rasa dominan, ego berlebihan, kekuasaan dan memegang kontrol yang berkaitan dengan banyak hal misal kecakapan seksual, kekuatan serta harga diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kendati demikian, kemungkinan untuk berubah tetap ada. Namun, itu datang dari dalam diri pelaku, bukan tekanan dari lingkungan luar. Dia mungkin akan berubah jika mulai berhenti menyangkal dan mengakui kesalahan, serta tidak lagi menyalahkan pasangan.
Selain itu, pasangan masih bisa menemui tenaga profesional untuk mengontrol emosi dan perilaku yang bersangkutan untuk menciptakan hubungan yang sehat. Kemudian ia bersedia memberikan pasangannya waktu untuk menenangkan diri dan berjarak darinya.
Namun, jika hal-hal diatas tidak terlihat dari pelaku KDRT, disarankan untuk menimbang risiko terburuk. Pertimbangkan kondisi fisik dan mental serta buah hati yang mungkin mendengar dan menyaksikan kekerasan.
Selain itu dianjurkan untuk mengakses layanan profesional untuk menentukan sejauh apa hubungan bisa dipertahankan.
Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi