Optika.id - Pada Rabu (6/12/2023), publik digemparkan dengan peristiwa pilu nan tragis akibat tewasnya empat anak yang ditemykan di kontrakan Jalan Kebagusan Raya, Jakarta Selatan sekitar pukul 14.45 WIB. Adapun keempat anak tersebut berinsial VA (6), SP (4), AR (3) dan AS (1).
Keempat anak tersebut dibantai oleh ayah mereka, Panca Darmasyah alias Panca (41). Ketika ditemukan, Panca mencoba mengakhiri hidupnya di kamar mandi dengan kondisi luka di tangan. Adapun istri Panca sekaligus ibu dari keempat bocah malang tersebut, D, tengah dirawat di rumah sakit lantaran mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Panca.
Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Menanggapi hal tersebut, Psikolog Sani Budiantini Hermawan menduga bahwa pelaku gemar bersifat agresif dan tidak bisa mengendalikan emosinya sehingga melakukan kekerasan terhadap para korban, istri dan anak-anaknya.
"KDRT bisa terjadi karena adanya ketidakmatangan secara emosional, perilaku agresif, dan mungkin banyak tekanan-tekanan yang tidak bisa dilakukan penanganan efektifnya atau solusinya belum tercapai sehingga tekanan itu membuat seseorang menjadi mudah terpancing emosinya, sensitif, dan melakukan perilaku penyerangan atau agresif," ujar Sani, kepada Optika.id, Selasa (12/12/2023).
Meskipun terkait motif pembunuhannya perlu dilakukan analisis lebih lanjut dan secara mendalam, namun Sani menyebut motifnya bisa disebabkan karena terduga pelaku khawatir anak-anak tidak ada yang merawat. Hal itu dilihat dari pembunuhan yang dilakukan terhadap empat anaknya sekaligus. Di sisi lain, bisa juga terduga pelaku memiliki gangguan kejiwaan.
"Namun tetap motif harus dianalisa terlebih dahulu sehingga jangan sampai juga pelaku ini bebas hukum, kalau dinyatakan gangguan kejiwaan akan bebas hukum," imbuhnya.
KDRT Karena Faktor Keturunan?
Lebih lanjut, Sani mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan KDRT yakni internal dan eksternal. Faktor internal meliputi biologis dan genetis. Artinya, kekerasan bisa diwariskan secara genetic.
Baca Juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?
"Misalnya, kecenderungan mudah marah atau sensitif dan adanya gangguan kejiwaan dapat diturunkan," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun faktor eksternal yakni berupa trauma misalnya pernah menjadi korban bullying atau parenting yang tidak tepat. Contohnya, seseorang yang mengalami pola asuh otoriter atau justru permisif sewaktu dia masih kecil.
"Yang jelas kombinasi dua hal ini bisa membentuk kepribadian seseorang yang akhirnya membentuk pola perilaku tertentu," ungkapnya.
Sementara itu, ujar Sani, orang tua bisa melakukan kekerasan terhadap anak lantaran menganut nilai kekerasan, kurang berempati serta tidak mengetahui peran sebagai orang tua. Di sisi lain, biasanya KDRT menurut Sani dilakukan oleh seseorang yang tidak pintar.
Baca Juga: Beragam Alasan Mengapa Mahasiswa Memilih Mengakhiri Hidup, Kampus Bisa Apa?
"Bisa juga melakukan perilaku meniru, meniru yang dia sudah terjadi terhadap dirinya, pemilihan tayangan atau tontonan. Yang jelas adanya ketidakmatangan secara emosional," ucap Sani.
Agar kasus serupa tidak terulang kembali, ujar Sani, maka dibutuhkan peran keluarga baik keluarga inti maupun kakek dan nenek. Keluarga terdekat harus secepatnya membawa ke psikolog atau psikiater apabila terjadi KDRT. Agar pelaku dan korban bisa ditinjau dan diberikan medikasi atau psikoterapi.
"Terutama bagaimana keluarga terdekat bisa melindungi korban. Potensi korban itukan bisa pasangan, bisa anak. Dilakukan mediasi-mediasi supaya komunikasinya lancar, terbuka dan bisa jadi tahu apa permasalahannya dan dilakukan penanganan serta dicari solusinya seperti apa? Ini yang mudah-mudahan bisa meminimalisir potensi kekerasan, terutama akhirnya berujung pada hilangnya nyawa dari korban," pungkasnya.
Editor : Pahlevi