Optika.id - Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berbasis gender kerap memilih untuk bertahan dengan pasangannya dan terkadang tidak berniat melaporkan tindakan kekerasan yang diterimanya dengan dalih berbagai alasan. Salah satunya ialah karena rasa cinta dan empati terhadap pasangannya.
Kondisi ini dalam psikologi dikenal dengan istilah Stockholm syndrome. Stockholm syndrome merupakan gangguan psikologis yang membuat korban kejahatan justru memiliki perasaan positif yang didasari rasa empati dan simpati kepada pelaku, alih-alih ketakutan terhadapnya. Hal tersebut membuat korban akan terus mengikat diri dalam hubungan yang tak sehat, seperti halnya KDRT yang dilanggengkan sebab enggannya korban memberi efek jera kepada pelaku.
Baca Juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?
Sindrom ini ramai dikatikan dengan keputusan salah satu public figure tanah air, LK, yang memutuskan untuk mencabut laporan kekerasan yang dilakukan berulang kali oleh suaminya, RB. Dalam pernyataannya yang beredar di media, LK mengaku telah memaafkan suaminya dengan harapan pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya. Padahal, menurut keterangan polisi pelaku sudah melakukan KDRT sebanyak 10 kali.
Sebagai Bentuk Pertahanan Diri?
Dilansir dari Cleveland Clinic, Senin (17/10/2022), istilah Stockholm syndrome ini diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Nils Bejerot berdasarkan dari kasus perampokan bank yang terjadi pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia.
Dalam kasus ini, para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku meskipun telah disekap selama 6 hari lamanya. Anehnya, setelah dibebaskan para korban justru menolak untuk memberikan kesaksian selama penyanderaan terjadi. Tak hanya itu, mereka justru mengumpulkan uang untuk pembelaan pelaku.
Para peneliti kemudian yakin bahwa sindrom ini berkaitan dengan naluri manusia untuk bertahan atau sebagai strategi copping mereka. Ikatan emosi dengan para penjahat dan sandera mungkin saja menimbulkan dan meningkatkan peluang atau harapan untuk bertahan hidup.
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa stockholm syndrome merupakan bentuk dari pertahanan diri yang paling mungkin untuk dilakukan, karena tidak memiliki atau sudah pernah melawan namun justru menyulitkan dan semakin memperburuk kondisinya.
Jika dilihat dalam hubungan KDRT, menurut Irma Sekarlina dalam jurnalnya yang berjudul Stockholm Syndrome pada Wanita Dewasa Awal yang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh Kekerasan, stockholm syndrome membuat korban merasa hubungan yang penuh kekerasan membawa dampak positif terhadap hidupnya, karena ia tidak perlu merasa ketakutan diteror jika memutuskan untuk meninggalkan pasangannya.
Alasan wanita bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan yaitu ingin mengubah perilaku pasangan. Karena subjek merasa sebagai orang yang paling dekat dan paling memahami pasangan, sehingga dengan bersamanya maka diharapkan akan membawa perubahan positif bagi perilaku pasangan, tulis Irma dalam jurnalnya yang dikutip Optika.id, Senin (17/10/2022).
Perasaan positif ini membuat korban berpikir bahwa bertahan akan jauh lebih baik dibandingkan harus pergi dan terus bersembunyi dari mantan pasangannya.
Di sisi lain, keputusan untuk bertahan juga didasari oleh perasaan cinta, melindungi pelaku, karena cenderung menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kemarahan pasangan hingga melakukan kekerasan. Dengan demikian korban akan terus menyangkal bahwa ia adalah korban dan pasangannya adalah pelaku kekerasan.
Baca Juga: Korban KDRT Kerap Terjebak Siklus Kekerasan Berulang
Pengaruh Rayuan dan Manipulasi Permintaan Maaf
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, Stockholm Syndrome juga dipengaruhi oleh rayuan pelaku yang manipulative seperti permintaah maaf yang terkesan tulus, berjanji tidak akan melakukan dan mengulangi kekerasan lagi, serta menunjukkan rasa bersalah dan rasa cinta yang seakan-akan lebih besar dari sebelumnya.
Perasaan positif dan tindakan dari pelaku pasca kekerasan inilah yang akan membuat korban untuk mempunyai alasan memaafkan dan bertahan dengan pelaku. Disertai dengan harapan bahwa pelaku mau berubah dan kekerasan tidak akan terjadi lagi.
Ketika pelaku atau pasangan merasa bersalah dan menunjukan cintanya kembali, korban akan merasa bahwa bertahan merupakan pilihan yang tepat.
Lain halnya dengan para ahli yang berpendapat bahwa Stockholm syndrome atau perasaan positif terhadap pelaku sejatinya bukanlah perasaan yang salah sebab perasaan tersebut diklaim merupakan mekanisme koping atau cara seseorang bertahan hidup.
Oleh sebab itu stockholm syndrome tidak dimasukan dalam gangguan psikologi yang resmi atau tertulis dalam edisi kelima Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) . Pedoman yang digunakan oleh para ahli kesehatan mental dan spesialis untuk mendiagnosis gangguan kesehatan mental.
Baca Juga: Status Sosial Kerap Hambat Laporan KDRT, Ada yang Rela Membisu Demi Harmoni
Sebagai sindrom yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan, maka dibutuhkan kesadaran dari para penderitanya untuk mengakhiri serta berani untuk keluar dari lingkaran toxic relationship. Biasanya sindrom ini lebih mudah ditangani dengan bantuan profesional seperti psikolog dan psikiater.
Tujuan akhir dari penanganan stockholm syndrome adalah untuk menyadarkan penderita bahwa yang mereka rasakan terhadap pelaku hanyalah metode pertahanan diri. Padahal banyak cara lain yang bisa membuat mereka keluar dan terlepas dari kekerasan tersebut.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi