Membuka Rapor Merah Polri di Antara Jargon Presisi

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 23 Des 2022 11:09 WIB

Membuka Rapor Merah Polri di Antara Jargon Presisi

Optika.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapatkan rapor merah dari masyarakat. Sebabnya, instansi dengan jargon presisi tersebut ternoda oleh beberapa tingkah dari oknum anggotanya sendiri. Mulai dari berbagai tingkatan dari tamtama, bintara, bahkan perwira tinggi yang menyandang bintang di pundaknya. Melakukan dengan sengaja atau tidak, tindakan mereka tetap saja membuat nama Polri melejit namun dalam suasana suram dan negatif.

Baca Juga: Polisi Intimidasi Rektor Demi Jokowi?

Rapor merah tersebut terangkum dalam sepanjang peristiwa di tahun 2022 ini. Yang mana kasus-kasus ini menyita perhatian masyarakat hingga menjadikan masyarakat sebagai korbannya. Beberapa kasus cepat terendam, namun kasus lain masih menduduki posisi teratas perbincangan masyarakat di warung-warung kopi.

Menyikapi hal tersebut, kepolisian pun angkat bicara. Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengaku jika semua isu dan masalah tersebut membuat Korps Bhayangkara akan mengambil sebuah resolusi.

Ketika dikonfirmasi lebih lanjut mengenai resolusi 2023 yang dimaksud oleh Dedi, dirinya enggan membeberkan lebih jauh. Namun, dia berjanji akan membeberkan resolusi tersebut pada akhir tahun ini, pada 30 Desember 2022. Momentum tersebut nantinya akan disikapi oleh kepolisian untuk memberikan hasil rekoleksi diri mereka selama ini dan berpikir mengenai langkah apa yang diambil nantinya.

Sudah kami siapkan resolusi Polri untuk tahun baru nanti. Tunggu saja 30 Desember, akan kami sampaikan. Karena ini sudah masuk ke pembahasan saat rakor Kasatwil kemarin, ungkap Dedi ketika dihubungi, Jumat (23/12/2022).

Dedi menyebut hal tersebut wajib dilakukan, apalagi sudah beberapa pihak yang mengingatkan agar polisi, khususnya Kapolri menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Salah satunya, adalah buku yang ditulis oleh Farouk Arnaz yang berjudul Jalan Presisi Kapolri. Dalam bukunya, Farouk menyinggung Kapolri Sigit sebagai pimpinan tertinggi agar menjadi teladan dengan menunjukkan sikap Bhayangkara sejati. Bukan hanya meniru sikap Hoegeng yang selalu didapuk sebagai polisi sesungguhnya.

Listyo Sigit masih memiliki cukup waktu untuk berbenah di tubuh institusi yang diembannya. Akan tetapi, sebelum pembenahan yang terjadi di waktu mendatang seperti apa yang diucapkan oleh Kadiv Humas Dedi, Optika.id merangkum beberapa rapor merah polisi yang ditimbulkan oleh para anggota kepolisian sepanjang tahun 2022. Beberapa kasus tersebut yakni:

Sengketa Agraria di Wadas

Pada 8 Februari lalu, konflik agrarian di Desa Wadas, wilayah Ganjar Pranowo meletus. Konflik diwarnai dengan kedatangan aparat ke desa tersebut untuk mengamankan pengukuran tanah pembangunan Bendungan Bener. Sedikitnya, di hari itu ada 60 warga ditangkap dan diduga dipersekusi sebab dianggap melakukan penolakan dengan unsur ancaman kekerasan, seperti membawa senjata tajam.

Kasus ini menjadi viral setelah ada unggahan di media sosial. Masyarakat menuding kepolisian jika instansi tersebut bertindak seenaknya dalam kerusuhan tersebut dan menjadi kasus pertama yang menyandung kepolisian.

Tak hanya itu, kepolisian juga merangsek dan mengepuk warga yang berlindung di dalam masjid. Bahkan, ada banyak unggahan berawal dengan adanya berbagai dokumentasi baik foto dan video kegiatan Kepolisian Resor Purworejo yang diunggah oleh akun-akun medsos.

Kendati demikian, kepolisian dan TNI telah memberikan sejumlah narasi untuk melawan isu ini. Bagi aparat, tindakannya semata untuk melindungi masyarakat setempat, dari masyarakat yang bertindak anarkis.

Sengketa Jabatan Mantan Napi Rasuah AKBP Raden Brotoseno

Nama ini sempat memicu perdebatan publik di jagad maya karena Polri yang telah menerima kembali anggotanya tersebut. Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu diketahui mendapat bebas bersyarat sejak 15 Februari 2020 dan bebas murni pada 29 September 2020 lalu. Tahun 2022 namanya kembali menyeruak atas desakan dari banyak pihak sebab masyarakat tidak terima dengan kepolisian yang menampung kembali terpidana tindak pidana korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat.

Saat itu, Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mengatakan jika pemecatan tidak diterapkan kepada penyidik berpangkat kembang dua itu karena Brotoseno dinilai berprestasi di instansi tersebut. Brotoseno menerima keputusan sidang KKEP dan tidak mengajukan banding.

Kendati demikian, Irjen Ferdy Sambo mengaku jika Brotoseno juga tidak menjalankan tugas secara professional, proporsional, dan proseduran dengan wujud perbuatan saat menjabat sebagai Kanit V Subdit III Dittipidkor Bareskrim Polri. Brotoseno juga diyakini telah menerima suap dari tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Brotoseno juga dinilai telah menjalani masa hukuman tiga tahun dan tiga bulan dari putusan Pengadilan Negeri (PN) Tipikor 5 tahun karena berkelakuan baik selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (lapas). Kemudian, Brotoseno bertugas lagi di Divisi TIK Polri.

Selanjutnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada awal Juni mengajukan Peninjaun Kembali (PK) terhadap hasil sidang etik mantan penyidik Komisi anti rasuah, Raden Brotoseno tersebut.

Pengajuan PK, ungkap Sigit saat itu, akan dilakukan setelah revisi terhadap Peraturan Kapolri (Perkap) selesai. dirinya telah melaksanakan rapat dengan berbagai pihak seperti Menkopolhukam, Kompolnas, hingga melibatkan para ahli pidana untuk berdiskusi dan mencari solusi dari permasalahan Brotoseno yang tdiak dipecat oleh instansi kepolisian.

Tragedi Gas Air Mata Meletus di Stadion Kanjuruhan

Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang beberapa wkatu yang lalu melukai hati masyarakat dan menjadi tragedi sepak bola terpahit di Tanah Air. Ratusan nyawa menghilang dalam satu malam di satu tempat selayaknya kejadian genosida.

Kericuhan tersebut bermula usai pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya yang berakhir dengan kemenangan Persebaya. Namun, buntut dari pertandingan itu meluas. Malang bukan hanya kehilangan skor saja, namun anak-anak dan orang tua terpisah di malam itu karena meninggal disebabkan menghirup udara yang terkontaminasi oleh gas air mata.

Gas tersebut disemprotkan oleh aparat kepolisian ke arah tribun padahal saat itu masih banyak supporter Arema yang belum keluar dari stadion lantaran melihat kericuhan yang akan terjadi di bawah arena. Ironisnya, gas air mata melesat lebih cepat seperti setan di depan mereka. Naasnya juga, pintu evakuasi tidak dapat dibuka karena terkunci dari luar.

Baca Juga: POLRI Buka Pendaftaran SIPSS Tahun 2024, Ini Syarat dan Caranya

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Stadion Kanjuruhan selama semalam berubah menjadi pusara akibat ulah aparat.

Baru sajakepolisian mengaku, harus melepaskan salah seorang tersangka yang ditetapkan beberapa waktu lalu, yakniDirektur PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita.

Alhasil, kasus ini menyisakan lima tersangka lainnya. Mereka adalah Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Laga Arema FC vs Persebaya Surabaya, Abdul Haris;security officerSuko Sutrisno,Kabagops Polres MalangKompol Wahyu SS,anggota Brimob Polda JatimH, dan Kasat Samapta Polres MalangAKP Bambang Sidik Achmadi.

Skenario Keji Pembunuhan Berencana Brigadir J

Pada tanggal 8 Juli 2022 silam, narasi polisi tembak polisi antara dua ajudan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo muncul ke publik. Brigadir Yosua atau Brigadir J ditembak oleh Bharada Richard Eliezer atau Bharada E di kediaman Ferdy Sambo dan Istri, Putri Candrawati.

Brigadir J terbujur kaku secara tragis di rumah Ferdy Sambo tersebut setelah dihujam timah panas beebrapa kali tanpa perlawanan. Berbagai narasi difitnahkan oleh Ferdy Sambo kepada ajudan yang telah mengabdi padanya selama beberapa waktu tersebut. Singkat cerita, bukan hanya Brigadir J saja yang menjadi korban dalam lakon lelayu ini. Banyak anggota polri dari berbagai tingkat yang terenggut karirnya sebab terlibat dalam kasus keji ini.

Hingga kini, pengadilannya masih berlangsung. Dan kesaksian dari setiap pihak belum dapat membawa majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai ke titik kesimpulan dan penjatuhan vonis.

Isu ini diwarnai oleh dakwaan dari jaksa penuntut umum, drama keterangan para saksi dan terdakwa, hingga celotehan pengacara Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak mewarnai isu ini. Akan tetapi yang jelas kasus ini memberikan luka menganga bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melancarkan jargon presisi yang dikumandangkan selama ini.

Kini hanya tersisa satu setengah pekan di 2022, sepertinya tujuan penuntasan kasus ini sesuai misi para penegak hukum harus diundur, hingga hakim dapat mengambil sikap dan tidak ada lagi kesimpangsiuran kendati Sambo telah mengakui tindakannya untuk mencabut nyawa Yosua.

Sang Jenderal dan Usaha Sita Jual Narkoba

Kasus ini menyita publik kendati masyarakat tidak lagi heran melihat tingkah polisi yang terlibat dalam kriminalitas. Teddy Minahasa yang menjabat sebagai jenderal bintang dua dengan karir yang cemerlang ini diketahui terlibat praktik lancung yang mencoreng karirnya di kepolisian.

Baca Juga: Kapolri Ajak Masyarakat Wujudkan Pemilu Aman dan Damai

Teddy ditangkap oleh penyidik atas tindakannya menjual barang haram sitaan kepolisian. Padahal, saat itu Teddy baru saja hendak menjabat ssebagai Kapolda Jawa Timur lantaran Nico Afinta dilengserkan dari jabatannya atas insiden Stadion Kanjuruhan.

Bermula dari kasus tersebut, Kapolri Listyo Sigit kembali direpotkan dengan mencabut surat telegram mutasi dan menggantinya dengan yang baru. Ketika surat telegram itu resmi dikeluarkan yang baru, penyidik langsung menangkap sang jenderal, pada Oktober tahun ini.

Teddy sendiri sempat menunjuk pengacara canggih spesialis antinarkoba untuk menghadapi kasusnya ini, yakni Henry Yosodiningrat. Tak lama, Henry kemudian mengundurkan diri dan penasehat hukum kondang bergelimangan cincin di batu jemarinya, Hotman Paris Hutapea, mengisi kursi sebagai pengacara Teddy tersebut.

Diketahui, berkas kasusnya telah dinyatakan lengkap oleh pihak kejaksaan. Penyidik langsung membereskan kembali pemberkasannya untuk diserahkan sebagai bagian dari tahap II.

Ismail Bolong, Jenderal Bintang Tiga dan Mafia Tambang

Kasus ini muncul saat seorang bernama Ismail Bolong mengunggah video yang berisi adanya setoran dana kepada beberapa Pati Polri, termasuk Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto terkait dengan kasus tambang illegal di Kalimantan Timur. Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan selaku mantan Karopaminal Divpropam Polri. Untuk diketahui, Hendra Kurniawan juga terlibat dalam kasus polisi tembak polisi skenario Sambo.

Hendra, dalam kasus tersebut juga membenarkan adanya keberadaan laporan hasil penyelidikan (LHP) terkait tambang illegal di Kalimantan Timur sesuai dengan apa yang terdapat dalam video Ismail Bolong.

Yosodiningrat selaku penasihat hukum dari Hendra Kurniawan menjelaskan jika kliennya dan Ferdy Sambo memastikan bahwa Agus telah diperiksa dan tertuang dalam berita acara interogasi. Kemudian, perkataan keduanya dianggap memberikan penegasan sebagai bukti cukup bahwa jenderal bintang tiga itu terlibat dalam kasus ini.

Nah sekarang Ismail Bolong harus dilindungi, jangan ditekan, jangan suruh lari, jangan dihilangin, katanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (1/12/2022) silam.

Sambo juga telah mengamini, terkait pemeriksaan terhadap Agus dalam kasus ini. Namun, Agus membantah dan menuding pihak Sambo cs hanya mencoba lempar bola panas karena ramainya isu Brigadir J yang menjerat dirinya.

Dalam beberapa kesempatan, Polri enggan berbicara lebih jauh soal isu tersebut. Polisi masih ingin berfokus pada bukti yang ada, dan semua bukti yang ada dianggap hanya merujuk pada perkara tambang ilegal di sana dengan Ismail Bolong cs sebagai tersangka.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU