Peliknya Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 17 Jan 2023 06:20 WIB

Peliknya Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia

Optika.id - Saat ini, kemiskinan menjadi masalah, fenomena, serta isu sentral bagi perekonomian di seluruh belahan dunia. Tak terkecuali Indonesia yang mengalaminya. Hal tersebut genting mengingat kemiskinan bisa memicu banyak bentuk kriminalitas mulai dari penipuan, pencurian, hingga pembunuhan.

Baca Juga: Bijakkah Solusi Dana Desa Rp5 Miliar yang Ditawarkan Cak Imin?

Pemeran utama dalam pengentasan kemiskinan tentunya pemerintah. Di Indonesia, kemiskinan selalu menjadi isu yang paling seksi alias dipelototi oleh publik dari tahun ke tahun. Hal ini tak lepas dari pengentasan kemiskinan yang dipandang sebagai potret nyata kinerja pemerintah baik di pusat maupun daerah. Tergerusnya angka kemiskinan menjadi torehan nyata prestasi kerja. Yang mengklaim tentu banyak. Mulai dari kepala daerah di level bawah sampai pucuknya.

Tak hanya Indonesia, masyarakat dunia pun menjadikan penghapusan kemiskinan sebagai agenda yang penting. Para pemimpin dunia, termasuk Indonesia sepakat untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 mendatang melalui aksi Sustainable Development Goals (SDGs). Pembangunan harus berbuah kurangnya kemiskinan.

Target yang ditetapkan Indonesia jauh lebih ambisius. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mematok kemiskinan ekstrem harus selesai pada akhir 2024. Melihat target waktu yang tak sampai dua tahun dari sekarang, dia optimis sehingga dia menetapkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022. Selain menetapkan target optimis, target moderat juga ditetapkan. Yakni, kemiskinan ekstrem maksimal 1% pada 2024, atau setengah dari angka saat ini.

Adapun target ini ditetapkan Jokowi dengan menghitung angka kemiskinan ekstrem yang terus menyusut dari tahun ke tahun.Pada tahun 2014 silam, ada sebanyak 20,1 juta penduduk yang tergolong dalam miskin ekstrem. Presentase ini dibandingkan dengan total jumlah penduduk yang mencapai 7,9%.

Kemudian, pada tahun 2019 angkanya terus menyusut hingga tersisa sebanyak 9,9 juta jiwa dengan persentase turun menjadi 3,7% saja.

Sayangnya, hal tersebut terganjal oleh Pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu yang mengakibatkan kemiskinan ekstrem meningkat dari 3,8% atau setara dengan 10,4 juta jiwa pada bulan Maret 2020 menjadi 4,2% atau setara 11,2 juta jiwa pada September 2020 lalu.

Berbicara mengenai upaya menghapus kemiskinan ekstrem, Manajer Unit Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Rissalwan Habdy Lubis menjelaskan tiga strategi percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Strategi yang pertama yakni menurunkan beban pengeluaran. Hal ini bisa diupayakan melalui program perlindungan sosial yang saat ini sudah dilakukan mencakup bantuan sosial (bansos) keluarga, pendidikan, kesehatan, pemenuhan makanan, serta bantuan dan rehabilitasi sosial bagi kelompok rentan.

Yang kedua yakni meningkatkan pendapatan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan pemberdayaan masyarakat. Termasuk di antaranya yakni meningkatkan akses terhadap pekerjaan seperti program padat karya, afirmasi lapangan kerja bagi penyandang disabilitas, dan pelatihan kerja.

Kemudian, ada peningkatan kapasitas sumber daya manusia baik dalam program vokasi serta pelatihan usaha, meningkatkan akses terhadap asset produktif seperti penggunaan lahan, pinjaman modal, serta asset produktif lain seperti asset produksi.

Selanjutnya melakukan pendampingan dan penguatan kewirausahaan seperti kemudahan dalam pemasaran, penggunaan teknologi digital, dan pendampingan strategi kewirausahaan serta mendukung kesinambungan usaha ultra mikro dan makro.

Terakhir yakni meminimalkan wilayah kantong kemiskinan. Hal ini dilakukan melalui sinergi dan integrasi program penurunan beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan baik masyarakat serta daerah, dengan kebijakan pemenuhan pelayanan dasar berupa akses layanan dan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan sanitasi air minum layak. Serta, peningkatan konektivitas antar wilayah berupa sarana transportasi, infrastruktur jalan, akses layanan keuangan serta akses informasi dan komunikasi.

Baca Juga: Bagi Anies, Atasi Kemiskinan Tak Selalu Bansos

Kendati demikian, Habdy menegaskan jika pihaknya, TNP2K, bertugas sebagai pendamping, bukannya eksekutor. Dia menjelaskan jik strategi TNP2K saat ini yakni berupa merancang kebijakan dan program berdasarkan bukti ilmiah dan analisis yang kuat. Ini menjadi rancangan kebijakan dan program advokasi kepada kementerian atau lembaga terkait agar dapat diterima, untuk kemudian dijalankan sebagai bagian dari kebijakan dan program mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Untuk memastikan efektivitas implementasi kebijakan dan program tersebut, TNP2K ikut mendampingi kementerian/lembaga selama pelaksanaan kebijakan dan program tersebut. TNP2K juga membantu melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program tersebut sebagai umpan balik untuk perbaikan," katanya kepada Optika.id, Senin (16/1/2023).

Salah satu yang dilakukan sejak tahun 2021 untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem yakni dengan menetapkan beberapa prioritas daerah di Indonesia yang harus ditangani.

Dia merinci, sejak awal tahun 2021, ditetapkan sebanyak 7 provinsi yang mencakup 35 kabupaten/kota yang menjadi prioritas kemiskinan ekstrem. Kemudian, pada tahun 2022 jumlahnya meningkat menjadi 25 provinis dengan 212 kabupaten/kota. Sementara itu, pada 2023 seluruh wilayah nusantara masuk dalam daerah prioritas. Dia tak menampik jika pengentasan kemiskinan ekstrem merupakan tugas yang berat.

Berdasarkan evaluasi dari pihaknya, intervensi program penanggulangan kemiskinan ekstrem belum optimal pada tahap I sebab jumlah yang belum menerima bantuan sosial masih cukup tinggi

Berdasarkan evaluasi, intervensi program penanggulangan kemiskinan ekstrem belum optimal pada tahap I, lantaran jumlah yang belum menerima bantuan sosial masih tinggi. Persentase penerima bantuan sosial rutin (PKH, Sembako, dan lainnya) pada tahap I yaitu 57,53n yang tidak menerima sebesar 42,47%.

Di sisi lain, persentase penerima Top-Up Bansos (BLT-Desa dan Sembako) pada desil 1 (D1) baru sekitar 9,29ngan yang tidak menerima sebesar 90,71%.

Baca Juga: Target Kemiskinan Ekstrem Nol Persen Dinilai Rasional

Adapun pendataan ini terkait dengan tiga strategi utama dalam Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) yakni pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan.

Habdy menilai, masalah pendataan menjadi kendala yang kerap menghalangi upaya TNP2K. sepuluh tahun yang lalu, ujarnya, pemerintah hanya mengandalkan data berbasis terpadu PPKS (Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial), namun kini telah mengalami banyak modifikasi.

Sedangkan, jika mengacu pada kebijakan Kementerian Sosial (Kemensos), data yang sebelumnya diambil dari PPKS tidak memiliki kemampuan lagi dalam melakukan penyasaran serta memposisikan masyarakat sesuai dengan desilnya masing-masing. Maka dari itu pada tahun 2022 lalu pihaknya berkolaborasi dengan BKKBN membentuk basis data baru dengan data yang didasarkan pada pendataan keluarga yang sebelumnya telah dipakai.

"Karena beberapa unsur dan beberapa variabelnya sudah tidak lagi dipakai, jadi tentunya ini membuat kami melakukan inovasi bekerjasama dengan BKKBN yang saat ini nama datanya adalah data P3K," ujarnya.

Peliknya persoalan data juga diungkap Associates Researcher CIPS, Krisna Gupta. Dia mengamini bahwa data yang akurat dan akuntabel seringkali menjadi masalah dalam program bantuan di Indonesia. Karena itu, kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi suatu kewajiban untuk mengatasi masalah ini.

"Pemerintah, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan BPS, perlu bekerja sama lebih erat lain untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum itu, penetapan kriteria penerima program bantuan juga perlu dipastikan supaya benar-benar tersaring siapa saja yang berhak menerima bantuan," ucapnya ketika dihubungi, Senin (16/1/2023).

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU