Optika.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengecam aksi orang tua siswa SD Negeri 13 Paguyuman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu orang tua siswa tersebut mencukur paksa rambut seorang guru bernama Ulan Hadji (27) karena tak terima rambut anaknya dicukur secara serampangan.
Baca Juga: Tantangan yang Besar yang Akan Dihadapi Guru di Masa Depan
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim menyebut jika guru merupakan profesi yang terhormat sehingga harus dijaga martabatnya sesuai dengan perintah Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Bahkan, Satriawan menyebut jika aktifitas guru dalam mengajar dan mendidik di sekolah sudah dilindungi dengan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Guru dan Tenaga Kependidikan.
Dalam perspektif regulasi, profesi guru itu berhak mendapatkan empat jenis perlindungan hukum, profesi, kesehatan dan keselamatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual, ucapSatriwankepada Optika.id, Selasa (24/1/2023).
Lebih lanjut dia menuturkan jika dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 pasal 2 ayat 1 sampai 5 profesi guru berhak mendapatkan perlindungan dalam bekerja atas berbagai tindakan kekerasan, intimidasi, serta pelecehan terhadap profesi
P2G juga risau, kejadian serupa sering berulang, baik di jenjang sekolah dasar maupun menengah. Bahkan berujung pada tindakan pemidanaan guru oleh orang tua, seperti pernah terjadi di Banyuwangi dan Majalengka, jelas guru SMAini.
Sebagai upaya atas kekhawatiran tersebut, Satriawan memberi rekomendasi agar peristiwa serupa tidak terulang serta tidak menodai citra guru dan pendidikan bangsa.
Rekomendasi pertama dari P2G yakni sekolah dan guru seharusnya mengubah metode pendisiplinan siswa dan guru mesti mempunyai mindset yang segar kembali. Guru harus sadar jika siswa bukan lagi objek dan guru wajib memahami UU Perlindungan Anak serta Metode Disiplin Positif.
Di satu sisi, sekolah juga wajib merombak aturan tentang atribut siswa dan tampilan rambut siswa. Seperti yang diketahui jika asosiasi siswa rambut gondrong merupakan siswa yang nakal merupakan warisan cara pandang dari Orde Baru yang layak ditinggalkan. Saat itu, Orde Baru pimpinan Soeharto memberi stigma bahwa mereka yang berambut gondrong merupakan anak nakal dan ciri dari premanisme.
Bahkan sekolah seperti Pangudi Luhur tidak mempermasalahkan siswanya rambut gondrong dan prestasi siswanya tetap tinggi. Sepanjang anak-anak memahami tujuan dan peraturan sekolah secara umum ungkap Satriawan.
Kedua yakni masyarakat, khususnya orang tua harus memahami bahwa guru merupakan profesi yang terhormat serta dilindungi oleh Undang-Undang.
Sebagai pendidik, guru pun semestinya memahami UU Perlindungan Anak dengan baik sehingga guru lebih menekankan upaya edukatif serta menghargai keberadaan anak dengan segala haknya sebagai anak dan siswa.
Satriawan menegaskan jika saat ini upaya untuk mendisiplinkan anak sudah tak bisa lagi dengan mempermalukan anak, apalagi dengan hukuman fisik, makian, kekerasan dan teriakan. Dia mengimbau kepada pihak sekolah agar tidak lagi mempermalukan anak di muka umum dengan mencukur rambut mereka dengan asal-asalan sehingga mereka malu.
Baca Juga: PB PGRI Soroti Perlindungan Profesi Guru yang Masih Lemah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kami menyesalkan ortu tak menghargai martabat guru. Tapi kami juga menyayangkan hukuman mencukur rambut anak asal-asalan, masih berkembang di sekolah kita. Mendisiplinkan itu tujuannya bukan mempermalukan anak, melainkan pengembangan perilaku, kataSatriwan.
Sementara itu, yang ketiga menurut Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru P2G yakni kerja sama dari berbagai pihak itu sendiri, seperti orang tua dan guru agar tercipta sosialisasi aturan sekolah secara intensif kepada orang tua dan siswa. Para orang tua juga harus sering berkomunikasi dengan guru dan wali kelas dalam membimbing serta mengawasi anak-anak.
Kejadian ini kan menjadi indikasi terhambatnya komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua, kata Iman, Selasa (24/1/2023).
Oleh sebab itu, P2G mendorong agar memulai gerakan transformatif oleh sekolah seperti selalu melibatkan anak dan orang tua dalam membuat aturan disiplin sekolah.
Jangan lagi aturan hanya dibuat eksklusif oleh guru. Siswa dan ortu pasif menerima saja. Harus ada kesepakatan bermakna. Jika itu dilakukan, maka akan terbentuk ekosistem sekolah yang demokratis, dialogis, dan partisipatif. Tidak seperti sekarang, dimana aturan sekolah masih dirasakan semata-mata sebagai alat untuk menghukum siswa. jelas Iman.
Selanjutnya yang keempat yakni mengubah paradigma dalam mendisiplinkan siswa dengan mengembangkan disiplin positif. perubahan cara pandang ini seperti pendidikan mereka yang berambut panjang tak bisa lagi ditertibkan dengan cara-cara lama, yakni rambut siswa yang gondrong dipotong dengan asal-asalan oleh guru.
Baca Juga: Guru Dituntut Kuasai Teknologi Pedagogi
Pasalnya, dalam usia remaja, mereka masih didorong oleh perasaan jaga image (jaim) yang cukup tinggi. Secara psikologis, anak remaja pantang untuk dipermalukan, apalagi menyangkut fisik mereka. Sebaliknya, anak remaja inginnya didengarkan saja apa yang menjadi isi hati serta unek-unek dalam dirinya, dihargai pendapatnya, dan diajak dialog bersama.
Seandainya mencukur siswa ada di aturan sekolah, mengapa guru memotongnya asal-asalan? Ini rasanya kurang pas. Coba misalkan guru memotongnya rapi, enak dipandang, besar kemungkinan anak dan orang tua tidak mempermasalahkannya, tuturguru honorer ini.
Adapun yang dimaksud disiplin positif yakni cara penerapan disiplin tanpa adanya kekerasan maupun ancaman. Sebaliknya, dalam praktiknya tersebut melibatkan komunikasi tentang perilaku yang efektif antara orang tua dan anak.
Anak juga diajarkan agar memahami segala konsekuensi dari perilaku mereka. Tujuan dari disiplin positif ini yakni mengajarkan maupun menumbuhkan rasa tanggung jawab dan penghormatan anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Terakhir, P2G mendesak perlu sosialisasi Kode Etik Guru Indonesia agar tidak ada lagi korban dari guru ataupun murid. Kode etik ini pun sudah disepakati oleh para organisasi profesi guru tingkat nasional, yang kemudian difasilitasi oleh Kemendikbudristek baru-baru ini. Tujuannya agar guru, siswa dan orang tua dalam memahami dan menghargai peran, kedudukan, fungsi, dan martabat masing-masing.
Editor : Pahlevi