Perbedaan Fasilitas Antara Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Kerja Indonesia Picu Kecemburuan Sosial?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 24 Feb 2023 11:38 WIB

Perbedaan Fasilitas Antara Tenaga Kerja Asing dan Tenaga Kerja Indonesia Picu Kecemburuan Sosial?

Optika.id - Tragedi Morowali yang menelan dua korban pekerja baik pekerja lokal maupun pekerja asing di PT Gunbester Nikel Indonesia (GNI) bukanlah kali pertama di Indonesia. PT GNI merupakan perusahaan pengolahan nikel milik pengusaha asal China, Tony Zhou Yuan, yang berdiri 2019.

Baca Juga: BP2MI Sebut Negara Jamin 3 Perlindungan Pada PMI

Perusahaan smelter nikel ini menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia di bidang hilirisasi mineral dan tambang sejak 21 Desember 2021 dengan investasi dana sekitar US$3 miliar untuk membangun smelter di Kawasan Morowali Utara.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi, gesekan yang terjadi antara Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Asing (TKA) terjadi karena perbedaan fasilitas antara pekerja lokal dan pekerja asing. Pekerja asing kerap kali mendapatkan posisi yang jauh lebih baik padahal, pekerjaan yang dilakukan antara keduanya sama persis.

Yang saya lihat kalau di Indonesia sendiri itu TKA sering diprioritaskan dalam segala hal. Jadi ada kesenjangan. Mulai dari faslitas kerja, gaji, sampai perlakuan lebih baik. Jadi kebalik, ujar Ristadi, Jumat (24/2/2023).

Sementara itu, berdasarkan keterangan dari Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI), Said Iqbal beberapa waktu yang lalu, diketahui bahwa pekerja lokal di PT GNI hanya menerima gaji sebesar Rp3,6 juta per bulan dengan kenaikan hanya sebesar Rp5 ribu saja. Tak hanya persoalan pengupahan yang menuai banyak kontroversi, budaya TKA ketika berhadapan dengan TKI pun sering kali membuat pekerja lokal yang menjadi bawahan kian memanas dan memantik kecemburuan

Sebagian dari TKA kalau menyuruh pakai kaki. Buat mereka mungkin biasa, tapi tidak dengan kita yang mengutamakan kesopanan meskipun sama bawahan, ucap Said Iqbal, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melihat bahwa pasca kasus bentrokan antara TKI dan TKA di Morowali Utara ini, PT GNI malah terus memelihara kesenjangan antara pekerja pribumi dan pekerja asing. Hal ini JATAM dapatkan dari keterangan beberapa buruh kepada mereka.

Koordinator JATAM, Melky Nahar memberi contoh terkait kasus tenaga kerja asing yang memperoleh gaji serta fasilitas-fasilitas tambahan yang lebih besar dari mayoritas pekerja lokal.

Kesenjangan lain terlihat dari helm yang mereka pakai. Itu tanda dan simbolisnya di situ. Kentara banget. Kebanyakan pekerja China pakai helm putih dan merah, sedangkan pekerja lokal pakai helm kuning, ucap Melky Nahar kepada Optika.id, Jumat (24/2/2023).

Adapun penjelasan terkait warna helm tersebut antara lain helm putih merupakan manager, helm merah berarti mempunyai jabatan sebagai supervisor sedangkan helm kuning adalah kru tambang biasa.

Baca Juga: Serapan Tenaga Kerja Tak Imbang, Lembaga Pendidikan Perlu Bekali Siswa Agar Siap Kerja

Lebih lanjut, melihat respon pemerintah terkait bentrokan maut pekerja ini, Melky menilai jika pemerintah cenderung acuh tak acuh serta sibuk mengambinghitamkan para TKI. Khususnya serikat pekerja yang menuntut haknya dan melakukan ajakan untuk unjuk rasa serta melakukan mogok kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jadi di sini jelas, kalau respons elite politik dan proses penegakan hukum yang dilakukan, selain menghindari masalah struktural yang rumit, juga cenderung melindungi kepentingan investor daripada hak para buruh, termasuk keselamatan rakyat terdampak dan lingkungan hidup, kata Melky Nahar.

Sementara itu, secara terpisah pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi menilai jika pelanggaran aturan ketenagakerjaan kerap terjadi lantara lemahnya pengawasan dari pusat. Secara bersama-sama, pemerintah daerah pun semakin menyulut minyak ke dalam api dengan kerap kali main mata ke perusahaan yang mengutamakan kepentingan mereka daripada melindungi pekerja lokal yang notabene masyarakat mereka sendiri.

Hal ini bukan tanpa alasan. Tadjuddin mengatakan jika sikap tersebut terlihat dari berbagai respon yang diambil oleh para pemimpin tanah air. Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan instruksi kepada Kapolri Listyo Sigit agar segera mengambil tindakan tegas kepada para pelaku kerusuhan. Disusul oleh pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang meminta agar peristiwa bentrokan pekerja Morowali tersebut tidak digembar-gemborkan demi menjaga iklim investasi nasional hingga pernyataan Bupati Morowali Utara Deli Julkarson Hehi yang sibuk menuduh berbagai pihak jika pasti ada provokator di balik kerusuhan tersebut.

Bukan tanpa alasan, pemerintah melontarkan pernyataan demikian yakni dengan dalih menjaga iklim investasi agar tetap kondusif sehingga terjadi serapan tenaga kerja, devisa dan pajak. Namun, dengan mengesampingkan nasib pekerja lokal di tanah mereka sendiri.

Baca Juga: Simak Tips Aman Bekerja di Luar Negeri Anti Tipu-Tipu dari Kepala BP2MI

Semakin tumbuh investasi di Indonesia, jumlah pekerja asing jelas akan makin banyak. Ini di satu sisi baik untuk Indonesia karena bisa menghasilkan tambahan devisa. Kalau investasinya di hilirisasi komoditas, bisa menambah nilai dari komoditas kita. Akhirnya, pendapatan negara akan naik, kata Tadjudin dalam keterangannya, Jumat (24/2/2023).

Di satu sisi, Tadjuddin menyebut jika bejibunnya investasi yang masuk itu harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan keberpihakan yang jelas kepada tenaga kerja lokal sehingga mereka tidak merasa dianaktirikan oleh bangsa sendiri.

Diketahui pada akhir bulan lalu, Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi/Kepala BKPM mengungkapkan jika realisasi investasi sepanjang tahun 2022 menyentuh angka Rp1.207,2 triliun. Hal tersebut tumbuh sebesar 34ri tahun sebelumnya. Adapun dari jumlah fantastis tersebut, sebanyak Rp654,4 triliun di antaranya merupakan penanaman modal asing (PMA). Dalam sepanjang periode tersebut, realisasi searpan tenaga kerja mencapai 1,3 juta orang.

Jika dilihat dari asal investasi, Singapura meraih peringkat pertama dengan total investasi senilai US$13,3 miliar. Kemudian diikuti oleh China dan Hong Kong yang masing-masing menanamkan modal sebesar US$8,2 miliar dan US$5,5 miliar.

Investasi memang meningkat, tapi bagi masyarakat terutama pekerja-pekerja di wilayah tempat investasi tersebut akan semakin rentan. Sebab, saat investasi masuk, ada tenaga kerja yang juga dibawa oleh investor, kata Tadjudin.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU