Optika.id - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku prihatin terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada era Firli Bahuri yang dinilai masih belum bisa, serta cenderung ciut nyalinya dalam mengungkapkan kasus-kasus besar alias big fish.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong Sebagai Tersangka Kasus Impor Gula
Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah, kata Boyamin dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Optika.id, Senin (27/3/2023).
Boyamin mengaku jika pihaknya sudah meramal sejak 10 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK bakal kalah pamornya dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap berbagai kasus besar tindak pidana korupsi. Dirinya mengaku telah menyampaikan ramalan tersebut kepada kedua belah pihak bertahun silam sebagai peringatan, terutama kepada KPK.
Ketidakmampuan KPK dalam mengungkapkan kasus besar seperti Kejagung menurut Boyamin disebabkan oleh pola kinerja dari KPK itu sendiri.
Menurutnya KPK saat ini hanya berfokus pada operasi tangkap tangan (OTT) saja yang mengacu pada Pasal 5 tentang tindak suap, Pasal 12 tentang Penerima Hadiah dan Pemerasan dan Pasal 11 tentang Gratifikasi.
Ketika melakukan OTT itulah KPK mendapatkan pengembangan kasus yang seolah dimudahkan dalam proses hukum lantaran selalu berasal dari OTT dan pasal yang dipakai itu-itu saja.
Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau ngincer orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu, katanya.
Dirinya membandingkan dengan kinerja Kejagung. Lembaga Adhyaksa tersebut selalu terlibat dalam kontribusi konkrit dan berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dengan segala turunan dan perubahannya.
Baca Juga: Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Diusut KPK: Kapan Tersangka?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang mana dalam Pasal 2 menunjukkan tentang perbuatan melawan hukum sementara Pasal 3 merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang. Hal inilah yang menjadikan lingkup kinerja Kejagung lebih luas dan konkrit.
Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti, katanya.
Boyamin menyebut, dengan pencarian alat bukti berdasarkan kinerja tadi, maka Kejagung otomatis akan berfokus serta berkonsentrasi di bidang itu seraya menebar umpan. Maka lama kelamaan ikan besar (kasus besar) akan terjaring. Bukti ikan besar yang berhasil terjaring yakni kasus Jiwasraya yang dilaporkan oleh MAKI pada tahun 2018 silam. Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 20192020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI.
Tidak hanya kasus Jiwasraya dan ASABRI saja, MAKI saat itu melapor ke Kejagung mengenai kasus langka dan mahalnya harga minyak goreng akibat ekspor CPO saat itu. MAKI juga melaporkan kasus impor tekstil di Batam yang mencurigakan serta kasus Satelit Kemenhan. Kemudian disusul beberapa kasus besar lainnya seperti kasus Surya Darmadi dengan perkebunannya yang menggegerkan publik dengan kerugian yang ditanggung negara mencapai Rp50 triliun.
Baca Juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat
Hal inilah yang menurut Boyamin, membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.
Oleh sebab itu, pihaknya menilai selama ada perbedaan kinerja dan segala macamnya antara kedua kubu tersebut, KPK dan Kejagung, maka mereka berdua tidak akan bisa bekerja sama karena bekerja di porosnya masing-masing. KPK akan tetap berfokus pada OTT dengan Pasal 5, 11 dan 12, sementara Kejagung juga demikian.
Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya case building, ungkapnya.
Editor : Pahlevi