Optika.id - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai keputusan impor Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebanyak 2 juta ton beras pada 2023 ini sebagai keputusan dilematis. Diketahui sebanyak 500.000 ton beras impor akan datang tahun ini dengan harapan agar bisa memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP).
Baca Juga: Dampak El Nino, Lamongan Gelar Gerakan Pangan Murah!
Menurut Khudori, keputusan impor yang telah disetujui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) tersebut dilematis karena bersamaan dengan momen panen raya di masyarakat.
"Di satu sisi, saat ini petani menikmati harga gabah tinggi. Biasanya, saat panen raya harga tertekan. Tentu ini menguntungkan petani. Di sisi lain, karena harga tinggi, Bulog kesulitan melakukan penyerapan," katanya dalam keterangan, Senin (27/3/2023).
Dia menilai jika sebenarnya peluang terbaik bagi Bulog dalam pengadaan CBP yakni dalam momen panen raya seperti saat ini. Akan tetapi, apabila momentum tersebut terlewat maka target yang akan menyerap sebanyak 2,4 juta ton beras petani nasional sepanjang tahun ini takkan terealisasi.
"Sampai 24 Maret lalu, penyerapan Bulog baru 48.513 ton beras. Amat kecil. Pada pekan lalu, CBP yang ada di gudang Bulog hanya 280.000 ton. Jumlah ini amat kecil," ujar Khudori.
Apalagi, mulai bulan Maret hingga Mei ini Bulog rencananya akan menyalurkan sebanyak 630.000 ton beras untuk bantuan sosial (bansos) yang dibagikan kepada 21,35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang masing-masing KPM akan mendapatkan 10 kilogram (kg) beras.
Dirinya melihat kemustahilan Bulog untuk dapat menyerap beras petani nasional dalam realisasi penyerapan dan rencana penyaluran bansos tersebut. Kendati Bapanas mengklaim telah mengoreksi harga beras petani melalui mekanisme pembelian yang ada.
Baca Juga: Lamongan Progresif, Kebutuhan Pangan Terus Naik
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Kalau mengandalkan penyerapan atau pengadaan dari dalam negeri, mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Bapanas memang telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp5.000 per kg dan beras di gudang Bulog Rp9.950 per kg. Tapi, harga gabah dan beras di pasar masih lebih tinggi dari HPP," tuturnya.
Oleh sebab itu, dirinya mengkritisi cara Bapanas serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) yang memanggil penggilingan menengah hingga besar dengan tujuan membantu penyerapan beras dari Bulog. Akan tetapi beras yang terserap hanya sebanyak 60.000 ton saja. Menurutnya, cara-cara tersebut tidak membantu bahkan tidak ramah pasar.
"Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar," ucapnya.
Baca Juga: Megawati: Jangan Andalkan Impor Beras, Kita Harus Bisa Berpikir!
Di sisi lain, menurutnya ketersediaan CBP akan perlahan membaik apabila Bulog tetap melakukan mekanisme komersial. Akan tetapi, kelemahan dari sistem tersebut yakni Bulog menjelma sebagai lembaga yang agresif ketika masuk ke dalam pasar serta berkompetisi dengan pelaku usaha lain dalam memperebutkan gabah atau beras. Kemudian, tindakan tersebut akan memicu kenaikan harga beras serta menyalahi tugas Bulog.
Untuk diketahui, sejak tahun 2018 merujuk data BPS, Indonesia mengalami surplus beras. Akan tetapi, pada 2018 angkanya mengalami penurunan sebantak 4,7 juta ton dan pada tahun 2022 tersisa 1,34 ton saja. Khudori menegaskan, kendati angkanya mengalami penurunan, namun ketika surplusnya kian mengecil maka distribusi dan pengelolaan cadangan menjadi isu krusial yang harus diperhatikan matang-matang lantaran jika salah penghitungan maka berdampak fatal.
"Ke depan, perlu ada upaya-upaya yang serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas. Produksi dari 2018 ke 2022 terus menurun. Produktivitas memang naik, tapi minor. Tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La Nino. Tahun ini, mulai April akan terjadi El Nino, yang jika merujuk pengalaman biasanya, produksi turun," pungkasnya.
Editor : Pahlevi