Optika.id - Membaca buku masih tetap mendapatkan tempat tersendiri di hati para penggemarnya di tengah gempuran internet dan teknologi digital. Kendati buku bukan tergolong komoditas pokok, namun buku masih mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya sebagai sumber pengetahuan yang lebih valid dibanding media lainnya.
Baca Juga: Membicarakan Seks Tanpa Tabir dan Lebih Berani!
Membaca juga masih menjadi salah satu hal yang paling penting untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan seseorang. Tak hanya untuk pembaca, penerbitan buku pun menjadi industri yang masih bertahan kendati di gempur buku dan platform digital lainnya. Selama aktivitas membaca masih digemari dan dilakukan oleh orang-orang, maka buku masih akan terus diterbitkan sehingga menjadi peluang bagi perusahaan penerbit.
Sebagai informasi, ada tiga jenis penerbitan yang memiliki wewenang untuk menerbitkan buku. Di antaranya yakni penerbit major atau penerbit besar yang sudah mendapatkan nama dan pangsa pasarnya sendiri, penerbit indie, dan self publishing. Setiap penerbit tentunya memiliki pangsa pasar serta peluangnya masing-masing dan berbeda antara satu dan yang lainnya.
Namun, penerbit mayor biasanya menetapkan standar yang tinggi sehingga tidak banyak penulis yang memilih penerbit mayor untuk menerbitkan bukunya. Alternatifnya, banyak penulis yang memilih menerbitkan bukunya melalui penerbit indie atau independen dan penerbit mandiri atau self publishing.
Penerbit independen atau indie posisinya memang tidak sebesar penerbit major dengan presentasi penjualan yang masih jauh lebih kecil serta percetakan dan distribusinya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja. Kendati demikian, kini penerbit indie sudah mulai dilirik oleh para penulis yang membutuhkan peluang untuk menerbitkan buku sekaligus menjadi sebuah bisnis baru yang mempunyai prospek.
Hal ini tergambar dari keterangan dari Editor/Translator Marjin Kiri, Pradewi Tri Chatami, bisnis dari penerbit indie memberikan penghidupan yang baik bagi pekerjanya apabila dikelola dengan baik dan benar meskipun bisnis penerbitan indie bukanlah bisnis yang menawarkan banyak keuntungan finansial.
Marjin Kiri didirikan pada 2005. Hingga kini telah menerbitkan kurang lebih 150 judulbuku, ujar Dewi dalam keterangannya, Rabu (3/5/2023).
Sebagai informasi, Marjin Kiri merupakan penerbit Independen yang menerbitkan buku-buku fiksi maupun nonfiksi. Akan tetapi, Marjin Kiri cenderung menerbitkan buku dengan kategori nonfiksi. Hal ini terlihat dari kategori nonfiksi yang diterbitkan masih mendominasi sebanyak 65 70% sedangkan sisanya yakni buku dengan kategori fiksi.
Baca Juga: Tak Bisa Dipandang Sepele, Ini Manfaat Menulis Tangan yang Banyak Manfaat
Marjin Kiri pun memiliki branding yang berbeda dengan penerbit lainnya. Apabila penerbit lainnya menerima naskah dari penulis, justru Marjin Kiri mencari naskah yang terpilih dan sesuai dengan visi mereka setelah melalui persetujuan dari agensi, penulis, maupun penerjemah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam prosespenerbitan, tak ada biaya yang dikeluarkan oleh penulis/agensi/penerjemah. Dan dalam prosesnya para penulis, agensi, penerjemah mendapatkan kompensasi sesuai dengan kontrak yang disepakati bersama, ucapnya.
Kemudian untuk distribusi penjualan, Marjin Kiri sejak 5 tahun yang lalu tepatnya 2018 sudah menjual buku melalui situs resmi Marjin Kiri dan menjual kepada jejaring reseller independen di Indonesia.
Strategi lainnya untuk mempertahankan bisnis yakni menjalin relasi dengan mengadakan program tatap muka dengan pembaca melalui diskusi, tur buku, dan kerjasama dengan berbagai kelompok studi mahasiswa dan rumah baca swadaya di berbagai tempat. Dewi menyebut jika tantangan terberat yang dilalui yakni minimnya perlindungan atau proteksi bagi pelaku usaha yang menjalankan bisnis ini. Tak ayal menurutnya bisnis penerbitan indie ini seperti mengundi nasib dengan nasib.
Baca Juga: Tingkat Kinerja Baca Rendah, IKAPI: Banyak yang Sulit Bedakan Fakta dan Opini
Tantangan terkait yakni adanya regulasi ketat dalam menghadapi pembajakan buku yang menjadi momok bagi para penerbit. Sementara itu, para pelaku usaha juga tidak mendapatkan keringanan pajak dari negara.
Padahal beberapa tahun ke belakang pernah ada KomiteBukuNasional yang dinilai cukup membantu sektor penerbitan.
Tetapi kemudian lembaga ini dibubarkan dan hingga kini belum ada yang menggantikan sejumlah bantuan yang pernah diberikan lembaga tersebut, tutur Dewi.
Oleh sebab itu, dirinya berharap agar pemerintah semakin memperhatikan nasib penerbit di Indonesia agar iklim literasi semakin subur dan masyarakat bisa mengakses berbagai buku yang diinginkan.
Editor : Pahlevi