Optika.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menegaskan bahwa penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu hanya menitikberatkan kepada korban, bukannya pelaku.
Baca Juga: Mahfud MD: Publik Sedang Tunggu Kejelasan Pemberhentian Dekan FK Unair
Sementara itu untuk pelaku pelanggaran HAM berat menurut Mahfud akan diselesaikan secara yudisial sesuai dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM bersama dengan DPR.
Jadi ini titik beratnya pada korban bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian nonyudisial ini karena itu urusan Komnas HAM dan DPR, katanya, usai rapat terbatas mengenai Pelaksanaan Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat, di Kantor Presiden, Jakarta, yang disiarkan di YouTube Sekretariat Kabinet RI, Selasa (2/5/2023).
Dalam rapat tersebut, Mahfud mengatakan bahwa Jokowi sudah memberikan rekomendasi serta instruksi kepada 19 menteri dan pejabat setingkat dengan menteri agar menindaklanjuti penyelesaian nonyudisial terkait pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM.
Rekomendasi tersebut menurut Mahfud sudah tercantum dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait agar segera mengambil langkah yang dibutuhkan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Selain langkah penyelesaian, dalam rekomendasi tersebut pemerintah telah mengakui bahwa peristiwa pahit pelanggaran HAM di masa lalu memang benar terjadi dan dilakukan di Indonesia. pemerintah, sambung Mahfud, menyesali terjadinya peristiwa yang seharusnya tidak terjadi itu.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan bahwa sebagaimana rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, pemerintah tidak melakukan permintaan maaf terkait pelanggaran HAM berat.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non-yudisial itu, tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud
Baca Juga: Komnas HAM Harap Kekerasan yang di Papua Harus Dievaluasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemudian, dalam penyelesaian kasus nonyudisial, pemerintah mempersempit fokusnya pada 12 kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana hasil yang didapatkan dari penyelidikan Komnas HAM.
Jadi yang kita lakukan ini adalah fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang berdasar temuan Komnas HAM ada 12 peristiwa dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut Undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM, dan Komnas HAM merekomendasikan 12 (peristiwa) yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu, urai Mahfud.
Menurut rencana yang ditetapkan, Mahfud mengatakan bahwa pada Juni 2023 mendatang Jokowi akan melakukan kick-off penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara nonyudisial di Aceh. Peluncuran ini akan ditandai dengan meresmikan taman belajar terkait HAM sehingga harapannya masyarakat maupun pihak terkait bisa lebih humanis.
Selain itu, pemerintah rencananya akan mengundang para eksil atau mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di luar negeri agar kembali ke Indonesia serta menyatakan bahwa mereka ditetapkan sebagai warga negara Indonesia yang tidak pernah mengkhianati negara. Hal ini penting sebab rezim Orde Baru memberangus HAM orang-orang yang diduga mengkhianati negara.
Baca Juga: Mahfud MD: Hak Angket DPR Bisa Makzulkan Jokowi Seperti Soeharto
Berdasarkan catatan pemerintah, ada sebanak 39 orang eksil yang berada di luar negeri dan mengalami trauma kembali ke Indonesia karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Mereka merupakan WNI yang dikirim Presiden Soekarno ke berbagai negara di Eropa hingga China untuk melanjutkan pendidikan. Saat peristiwa G30S terjadi, mereka tidak diizinkan untuk kembali ke Indonesia usai mengenyam pendidikan.
"Mereka ini masih ada beberapa di luar negeri, nanti akan kami undang. Mereka ini bukan anggota PKI. Mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang," pungkas Mahfud.
Editor : Pahlevi