Optika.id - Lala (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa Sastra Inggris yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Surabaya rela merogoh kocek hingga satu juta lebih untuk dua bab tugas akhirnya.
Baca Juga: Jokowi Tolak ke Jawa Timur Usai Ada Rancangan Demo Mahasiswa
Di tengah tekanan semester tua dan alasan agar bisa lulus cepat namun terkendala kesibukan, Lala terpaksa menggunakan jasa joki skripsi.
Dia mengaku telah membayar dua bab skripsi kepada penjoki tidak dia sebutkan namanya. Dia hanya menjelaskan bahwa penjoki tersebut merupakan senior di kampusnya.
Aku cuma kasih kerangkanya, terus gambaran dari topiknya seperti apa. Itu saja sih. Cuma bab-bab awal yang pakai jasa joki. Dia senior di kampus, sudah lulus. Satu babnya 600 ribu. Aku bayar dua bab, jadi sejuta dua ratus ya, tutur Lala kepada Optika.id, Minggu (14/5/2023).
Lala hanyalah satu dari kebanyakan mahasiswa yang kesehariannya begitu padat serta susah membagi waktu antara tugas kuliah, maupun kegiatannya sehari-hari. Namun, sebagiannya lagi merasa tidak perlu repot-repot dengan urusan akademis serta lebih memilih jalan pintas dengan menggunakan jasa joki skripsi.
Menurut Pakar Hukum Pidana, Asep Iwan Iriawan, jasa joki skripsi sudah bagaikan profesi umum sektor informal yang disembunyikan, kendati peredarannya bergerak dibawah tanah dan bergerilya mengincar mahasiswa yang sedang bimbang. Peredaran joki skripsi ini disebarkan dari mulut ke mulut. Seperti Lala yang mendapatkan akses dari senior kampusnya yang telah lulus.
Asep membeberkan rahasia umum bahwa bukan hanya skripsi mahasiswa saja, bahkan ada oknum dosen yang memburu waktu untuk menyelesaikan makalah atau jurnal ilmiah yang menggunakan jasa ini. Aksi perjokian ini, apabila dilihat dari sisi akademisi tentu dianggap sebagai perbuatan tercela dan bisa dijerat secara pidana. Pihak yang terlibat dalam jasa penyedia perjokian akademik ini bisa terjerat secara KUHP dan tergantung pada penggunaannya.
Kalau dia menggunakannya demi mendapat gelar sama saja menipu, bisa dikenakan pasal memberi keterangan palsu. Kalau dari delik aduan soal plagiarisme bisa kena pasal terkait Hak Kekayaan Intelektual, ujar Asep, Senin (15/5/2023).
Baca Juga: Pasar Bandeng Gresik: Mahasiswa PMM UMG Terjun ke Warisan Budaya Lokal
Asep menjelaskan perlunya proses panjang agar bisa memutus belenggu intelegensi pendidikan ini. Setidaknya, Asep menilai ada beberapa hal kecil yang bisa menyudahi praktik perjokian akademik ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, Asep menyoroti perguruan tinggi yang harus memperhatikan bagaimana tugas-tugas akhir mahasiswa dan proses penyelesaiannya. Dosen pembimbing yang disediakan bisa mengajak mahasiswa untuk memaparkan karya tulisannya ketika bimbingan dan selalu di-follow up.
Langkah lain yang menurut Asep tak kalah penting yakni mengembalikan semangat kejujuran di institusi pendidikan.
Bahwa mahasiswa berasas pada integritas, maka kejujuran sebagai fondasi harus benar-benar dibangun. Jangan sampai melanggar integritas karena yang kita nilai kan prosesnya, kata dia
Baca Juga: Kesempatan Emas, Bank BSI Buka Lowongan Magang, Lulusan SMA sampai S1 Bisa Daftar!
Terlepas dari ujian pendidikan di dunia yang masyarakatnya menuntut segala sesuatunya secara instan, dia menilai bahwa pendidik di Indoensia masih memiliki optimisisme agar bisa membangun jejak positif dan karakternya bagus untuk generasi masa kini hingga mendatang. Berkebalikan dengan kenyataan sekarang yang menuntut hasil namun menghalalkan berbagai macam cara dalam proses mencapai tujuan tersebut.
Apalagi, Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan pemerataan pendidikan yang masih menjadi PR, termasuk bidang pendidikan tinggi, jelasnya.
Terkait hal tersebut, Asep menyampaikan bahwa angka pastisipasi kasar mahasiswa di Indonesia masih berada di angka 38 39 persen saja. Maknanya, hanya ada 39ri seluruh penduduk yang berusia antara rentang 18 24 tahun yang terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Angka 39% tersebut masih jauh dari standar global yang menetapkan angka minimum yakni 50% angka partisipasi kasar sebagai indikator kesuksesan dalam sistem pendidikan tinggi di suatu negara.
Tentunya berdasarkan hal tersebut, mata kita menjadi terbuka bahwa dunia pendidikan Indonesia masih harus terus berjibaku dengan pekerjaan rumahnya agar bisa menciptakan pendidikan berkualitas tinggi yang dijalankan dengan integritas penuh guna bisa melahirkan generasi baru yang berintegritas, kompeten dan tanggung jawab dengan hidup yang dijalaninya.
Editor : Pahlevi