Menyikapi Fenomena FOMO dengan Bijak Agar Tak Jadi Korban Kapitalisme

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Kamis, 18 Mei 2023 13:01 WIB

Menyikapi Fenomena FOMO dengan Bijak Agar Tak Jadi Korban Kapitalisme

Optika.id - Jagad maya kembali dihebohkan dengan konser Coldplay yang akan digelar di Jakarta. ramai-ramai publik berbicara soal harga tiket, kapan konser tersebut digelar, nostalgia Coldplay, dan sebagainya seolah tak habis untuk dibahas.

Baca Juga: JOMO, Ketika Ikut-Ikutan Tren Terasa Menjenuhkan

Banyaknya yang menanti konser tersebut tentunya membuat suatu fenomena FOMO kembali lagi. Banyak warganet yang berbagi komentar di laman Instagram ketika harga tiket konser Coldplay di Jakarta mulai dikeluarkan oleh promotor PK Entertaiment. Tak hanya platform Instagram, Twitter pun sempat trending dengan Coldplay ketika pertama kali mengumumkan konser tour dunianya yang bakal digelar di Indonesia.

Sifat FOMO atau Fear of Missing Out adalah rasa takut merasa ketinggalan karena tidak mengikuti aktivitas yang sedang tren saat itu. FOMO pun bisa menjerumuskan diri sendiri apabila terlalu dipaksakan.

Misalnya, seseorang tidak terlalu mengikuti perkembangan maupun perjalanan Coldplay di dunia music, akan tetapi, karena dirinya ingin terlihat mengikuti tren dan eksis di media sosial, maka dia memaksakan diri untuk ikut konser. Kerap kali pamer lewat Instagram, Insta Story, Facebook, Twitter, hingga WhatsApp Story agar tidak dicap ketinggalan oleh orang-orang dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Tak mau ketinggalan nonton konser, banyak yang berkelakar untuk menjual ginjal hingga mengajukan pinjaman online (pinjol) untuk membeli tiket konser tersebut. Para pekerja pun mempersiapkan alasan untuk cuti dari kantor serta siap untuk mengeluarkan uang berapapun untuk menonton konser.

Para pebisnis konser maupun promotor kemudian menangkap peluang ini, untuk menjual tiket konser lewat jasa titip (jastip) sehingga meraup untung. Fenomena FOMO yang terjadi karena gaya hidup ini membuka peluang baru karena banyak mendapatkan keuntungan.

Pun dalam sektor lain, bisnis konser pun berdampak pada perbankan serta hotel-hotel di sekitar arena konser. Perbankan menawarkan beragam pinjaman keuangan serta hotel sudah menyiapkan paket khusus bagi penonton yang ingin dekat dengan lokasi konser. Tentunya, hal tersebut merupakan peluang untuk meraup cuan dari fenomena yang datang hanya di momen-momen tertentu saja.

Indonesia bisa dibilang menjadi negara yang menjadi surganya konser musik. Pasca pandemi, banyak konser yang digelar di Indonesia. Misalnya Blackpink yang menggelar konsernya di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Tiket konser yang dibanderol mulai dari Rp1.350.000 hingga Rp3.800.000 itu pun ludes terjual dalam waktu yang singkat. Euphoria konser Blackpink ini sangat terasa ketika dilihat di media sosial banyak berhamburan video-video singkat dari para penggemar Blackpink.

Menanggapi hal tersebut, pengamat music Ryan Kampua dalam keterangannya menjelaskan bahwa antusiasme masyarakat yang terlihat baik di media sosial maupun di lapangan menjadi bukti bahwa industri music di Indonesia kembali hidup pasca dilanda pandemi Covid-19.

Yang pasti dengan banyaknya pagelaran musikhappybanget ya. Apalagi sudah enggak ada larangan-larangan kita bermasker terus juga jaga jarak dan ini bagus sekali buat membangun energi secara optimis, kata Ryan di Jakarta, Rabu (17/5/2023).

Beralihnya status dari pandemi dan endemi serta dahaga karena puasa lama menjadikan momen ini bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat untuk merasakan euphoria dari konser yang menggelora. Menyaksikan sang idola tampil di atas panggung secara langsung, diiringi music dan tata cahaya panggung yang mengiringi pun menjadikan tubuh kembali segar seolah mendapatkan suntikan energy baru.

Baca Juga: Jangan Asal FOMO, Ini Cara Atur Keuangan Secara Efektif Buat Gen Z

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mungkin tiga tahunlah kita nggak pernah rasakan itu karena efek dari pandemi tadi, ucap Ryan.

Memuaskan gaya hidup dengan menonton konser adalah hal yang wajar dan boleh-boleh saja. Namun, tetap harus realistis dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat dan asal memutuskan sesuatu karena ikut-ikutan orang atau tren saja.

Jangan sampai di kemudian hari, terlibat sesuatu yang menjerat dan merugikan diri sendiri seperti terlilit hutang atau terpaksa menjual barang-barang pribadi demi memenuhi hasrat gaya hidup sesaat.

Berbeda dengan Ryan yang memandang maraknya konser sebagai peluang dan optimisme bangkitnya industri musik, Financial Planner, Ghita Argasasmita mengingatkan masyarakat khususnya anak muda agar benar-benar bijak dalam menyikapi fenomena FOMO tersebut.

Pastikan kamu benar-benar belanjakan uang kamu karena ini beneransource of happiness-mu, bukan karenatrendatau orang lain, kata Ghita, Rabu (17/5/2023).

Baca Juga: Faktor Masyarakat Terjerat Pinjol, dari Minimnya Literasi Digital Hingga FOMO

Ghita tak menampik bahwa setiap orang mempunyai prioritas tersendiri dalam membelanjakan uangnya, akan tetapi dirinya juga mengingatkan bahwa ada baiknya bersikap bijak dengan tidak berhutang untuk kebutuhan tersier seperti tiket konser.

Ada uangnya, dan prioritas lain yang lebih penting seperti dana darurat dan bayar hutang beres. Jangan berhutang buat hal yang konsumtif, apapun itu, tegasnya.

Untuk mengatur pendapatan, Ghita pun memberikan rumus jitu agar pengeluaran hanya berkutat pada hal-hal yang penting atau berupa kebutuhan primer sehingga tidak pusing karena terlilit hutang.

Harus punya budgeting pengeluaran, 40 persen untuk kebutuhan primer, 30 persen maksimal cicilan, 20 persen untuk nabung dan investasi, 10 persen untuk kebutuhan sekunder, paparnya.

Hal ini mengingatkan kita agar selalu bijak dalam menyikapi fenomena FOMO entah karena ada konser, ataupun tren yang lain. Jangan sampai hal ini menimbulkan rasa penyesalan karena memiliki beban yang lebih banyak tanpa memikirkan dampak ke depannya seperti apa. Fenomena FOMO memang tak bisa dilepaskan dari gaya flexing atau pamer kemewahan yang sifatnya sesaat hanya untuk mengais validasi. Akan tetapi, jangan sampai menjadi korban dari kapitalis serta kehilangan arah maupun diri sendiri.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU