Sindrom Upik Abu, Ketika Perempuan Dibuat Selalu Merasa Bergantung

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Minggu, 21 Mei 2023 12:28 WIB

Sindrom Upik Abu, Ketika Perempuan Dibuat Selalu Merasa Bergantung

Optika.id - Capek banget sama hidup, banyak banget masalahnya pengen cepet-cepet nikah aja keluh teman saya, Umi, siang hari itu. Dia mengeluh banyak masalah yang menimpanya akhir-akhir ini. Entah keluarga, finansial yang belum mapan, maupun pekerjaannya. Ketika saya tanya mengapa dia berpikiran seperti itu, jawabannya sungguh di luar nalar walaupun bisa ditebak sedari awal.

Baca Juga: Ada Topeng Bobrok dalam Pamer Kemesraan di Media Sosial

Teman-temanku banyak yang udah nikah. Ini keluarga jauh udah nanya kapan aku nikah karena anak mereka udah nikah dan aku enggak pernah bawa cowok ke rumah. Mereka khawatir kalau aku enggak laku. Aku juga sama sih, khawatir juga. Kalau nikah enak juga, beban masalah terbagi dua, ucap Umi kepada Optika.id, Sabtu (20/5/2023).

Tidak menampik, di beberapa daerah, banyak perempuan yang terbawa arus untuk menikah muda dengan alasan seperti itu. Khawatir dengan gunjingan tetangga dan keluarga, lelah bekerja, serta khawatir tidak laku dan berakhir menjadi perawan tua.

Fenomena lelah bekerja dan melakukan rutinitas lantas pengen nikah tersebut ditanggapi oleh Psikolog Ayoe Sutomo. Dirinya menilai jika hal tersebut merupakan bentuk dari perilaku perempuan yang kurang bertanggung jawab terhadap apa yang tengah terjadi dalam dirinya dan kehidupannya. Dia menyebut hal demikian sebagai Cinderella Syndrome.

Kalau kita mengatakan fenomena tersebutcinderella syndrome, kita telaah lagi sindromnya seperti apa, kata Ayoe, kepada Optika.id, Sabtu (20/5/2023).

Istilah Cinderella Syndrome ini dicetuskan oleh psikolog sekaligus penulis Amerika Serikat, Collete Dowling. Collete menerbitkan buku bertajuk The Cinderella Complex: Womens Hidden Fear of Independence pada tahun 1981 silam.

Sementara itu, pada artikelnya yang terbit di The New York Times Magazine edisi 22 Maret 1981 berjudul The Cinderella Syndrome Collete menulis bahwa perempuan dibesarkan untuk bergantung kepada pria.

Perempuan akan merasa dibuat ketakutan dan telanjang tanpa kehadiran seorang pria. Terlalu rapuh, terlalu lembut, dan membutuhkan perlindungan tulisnya.

Perempuan dalam analisis tulisan Collete tersebut diajarkan untuk percaya bahwa mereka tidak bisa berdiri sendiri maupun independen dalam menjalani kehidupan. Ini membuat perempuan merasa tidak percaya diri dengan potensi yang mereka punya serta mau tidak mau bergantung kepada pria yang dianggap berkuasa dan lebih kuat daripada mereka.

Mengamini Collete, Ayoe menyebut bahwa ketakutan pada seorang perempuan untuk mandiri, bebas, dan independen melakukan apapun sendiri merupakan dampak dari Cinderella Syndrome. Pada akhirnya, ketakutan tersebut dipupuk dan membuat perempuan bergantung kepada orang lain.

Maka dari itu, perempuan lebih memilih untuk berada dalam situasi ketika mereka mendapatkan perhatian, bergantung pada orang lain, disanjung dan disediakan apa yang mereka butuhkan, serta mengharap bantuan dari orang lain sehingga mereka tidak bisa mandiri.

Meskipun demikian, Ayoe menyebut bahwa rata-rata perempuan malah menikmati berada di posisi sedemikian rupa. Entah merasa ataupun tidak.

Dampak dari Pola Asuh Orang Tua

Ketika disinggung mengenai sebab munculnya sindrom tersebut, Ayoe langsung menyebut jika hal itu terjadi karena pengaruh dari pola asuh orang tua. Serupa tapi tak sama, Collete menyebut jika kecenderungan munculnya sindrom tersebut dimulai sejak bayi.

Baca Juga: Gen Z Enggan Terima Panggilan Telepon, Benarkah Kena Telephobia?

Argumentasi Collete berdasarkan pada penelitian tahun 1976 yang menunjukkan kecenderungan orang tua untuk membuat perbedaan interpretasi ketika buah hatinya menangis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Orang tua bayi perempuan akan mengartikan tangisan tersebut sebagai tangis ketakutan, dan kemarahan jika bayi tersebut laki-laki, tulis Collete dalamThe New York Times Magazineedisi 22 Maret 1981.

Sementara itu, tulisan ilmiah lainnya dari professor departemen Psikologi Universitas Michigan, Lois Wladis Hoffman menjelaskan bahwa pengkondisian keadaan serupa itu kepada anak-anak merupakan awal pola interaksi ketika bayi perempuan akan belajar dengan cepat bahwa ibunya adalah sumber kenyamanan utama bagi dirinya. Penelitian tersebut dimuat dalam tulisan ilmiah yang terbit pada tahun 1972 berjudul Early Childhood Experiences and Women's Achievement Motives.

Orang tua, menurut Hoffman juga lebih protektif dan gelisah terhadap anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari perilaku misalnya anak-anak yang menyebrang jalan. Anak laki-laki cenderung dibiarkan saja ketika menyebrang jalan yang ramai di usia yang lebih dini ketimbang anak perempuan.

Hoffman menyambung jika pengalaman sosialisasi yang berbeda juga akan berpengaruh terhadap Cinderella Syndrome ini di kemudian hari.

Beberapa penelitian menunjukkan, ketergantungan psikologi yang ditunjukkan anak laki-laki tidak akan bisa ditolerir oleh orang tua, guru, teman sebaya, dan media massa. Sebaliknya, ketergantungan tersebut lebih dapat diterima pada anak perempuan, tulis Hoffman.

Lebih lanjut, Hoffman menilai dalam tulisannya jika ketergantungan yang terjadi kepada perempuan ketika masa anak-anak ini akan berlanjut hingga usia dewasa. Dan hal demikian ditegaskan oleh Hoffman tidak akan terjadi pada laki-laki.

Baca Juga: Waspadai Tiga Kebiasaan Beracun yang Bisa Rusak Mental Diri Sendiri

Apa yang ditulis oleh Hoffman seolah memvalidasi bahwa pola asuh dari orang tua dan lingkungan berperan penting dalam menciptakan sindrom upik abu alias Cinderella Syndrome ini.

Di sisi lain, Ayoe pun menjelaskan bahwa orang tua berperan penting dalam mengajarkan kepada anak-anak agar bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, apa yang dirasakan dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dia. Para orang tua juga wajib mengajarkan agar anaknya bisa mandiri dan tidak bergantung kepada siapapun. Terlepas dari gendernya.

Ayoe juga menegaskan bahwa solusi ketika sedang lelah dalam menjalani rutinitas kehidupan bukan dengan menyerahkan hidup dan membagi beban dengan orang lain sebab hal itu tidak bisa dikatakan sebagai jalan keluar.

Apakah nanti dia tidak akan lelah ketika menikah, itu kan satu hal yang lain, katanya.

Untuk bisa terlepas dari sindrom ini, Ayoe menjelaskan bahwa perempuan harus menyadari posisinya dan menyadari bahwa pola pikir yang dianutnya selama ini keliru. Perempuan, untuk mengatasi sindrom upik abu ini, bisa berdiskusi dan bertukar pikiran dengan orang-orang yang dianggap mampu memberikan masukan dan berpikiran terbuka agar tidak terjadi saling penghakiman dalam diskusi nanti.

Ayoe melanjutkan, setiap individu mesti menyadari kalau pemikiran yang dianutnya selama ini kurang tepat. Maka dari itu sindrom ini pun sangat mungkin untuk diubah di kemudian hari ketika sedang sadar.

Kalau saat ini kan katanya tergantung mindset ya hahaha. Sehingga dia mempunyai kemauan yang besar dan kuat, untuk menerima dan mendengar masukan, serta mengubah apa yang dia pikir, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU