Ekspor-Impor Beras Pangan, Demi Selera Makan Nasi

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 19 Jun 2023 15:05 WIB

Ekspor-Impor Beras Pangan, Demi Selera Makan Nasi

Optika.id - Kini, ekspor dan impor beras Indonesia masih jadi polemik. Apalagi, polemik impor beras di tengah masa panen raya yang ramai dibahas beberapa waktu yang lalu sebelum Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo diperiksa oleh KPK atas dugaan korupsi di tubuh Kementerian Pertanian (Kementan) itu.

Baca Juga: Pengamat Ekonomi Sebut Pemerintah Gagal Mengelola Harga Pangan

Budaya makan nasi memang berpengaruh dalam meningkatkan produksi dan permintaan beras. Akibatnya, beras mewarnai sepanjang perjalanan Indonesia. Permulaaan kemerdekaan, beras dikirim untuk menjalin hubungan diplomasi dengan India.

Hal yang menarik, menurut J.C Van Leur dalam bukunya Perdagangan & Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, pengiriman beras itu bukanlah pertama kali, berabad-abad yang lalu antara India kepulauan (Nusantara) dan India daratan telah terjalin hubungan perdagangan dengan beras sebagai bahan pangan dalam pelayaran.

Beras dan ikanbukan kategori pusaka atau makanan raksasa dan masih dilungsurkan dari masa ke masa. Setidaknya hingga abad ke-16 keduanya umum dan lazim dikonsumsi, tulis Fadly Rahman dikutip Optika.id dalam buku Jejak Rasa Nusantara, Senin (19/6/2023).

Anthony Reid dalam bukuAsia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid 1 Tanah Di Bawah Angin pun menegaskan bahwa beras, garam dan ikan menjadi bahan utama makanan masyarakat Jawa yang diolah bersama rempah-rempah serta daging hewan ternak, lalu dimasak dan dihidangkan pada daun pisang atau piring kayu.. Beras ditanak menjadi nasi lalu disajikan dengan berbagai masakan hasil olahan dari daging hewan ternak dan rempah-rempah.

Sementara itu, James R. Rush dalam Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985 pun mengamati kebiasaan masyarakat Batavia selama tiga bulan pada tahun 1770 membenarkan konsumsi nasi, ikan dan hewan ternak. Bahkan nasi merupakan hidangan utama yang harus hadir menemani menu masakan apapun.

Lidah orang Eropa menyantap masakan Jawa seiring peningkatan praktik pergundikan sekitar permulaan abad ke-19. Para gundik (wanita pribumi) bekerja pada ranah domestik yang mana mengurus dan menyiapkan menu makanan dari proses berbelanja sampai memasak untuk pria-pria Eropa.

Jamuan makan ala Eropa di Batavia menghidangkan nasi dengan berbagai menu makanan Jawa. Citarasa lokal telah berbaur dengan resep-resep masakan Eropa begitu pula sebaliknya. Daftar resep masakan bercitarasa Eropa-Jawa termuat dalam buku masakan berjudul Kokki Bitja: Kitab Masak Masakan India terbitan 1859 yang mana mengubah selera makan sekaligus mengganti makanan pokok orang Eropa dari roti ke nasi.

Baca Juga: Ingin Makan Selain Nasi? Ini 4 Makanan Sumber Karbohidrat yang Bisa Kamu Coba!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berdasarkan pengelompokan bahan makanan di Hindia Belanda yang dibuat Praeger pada 1863, beras merupakan bahan pangan utama. Dari penduduk pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan sampai kepulauan Maluku menghidangkan nasi pada tiap perjamuan makan mereka.

Sementara kentang, sagu, ubi-ubian dan singkong adalah bahan pangan alternatif yang umumnya dikonsumsi masyarakat di kepulauan Nusantara bagian timur.

Seorang jurnalis yang menyoroti kehidupan pedesaan Jawa tahun 1923 menggambarkan aktivitas bertani masyarakat setempat dari menyemai bibit sampai panen.

Augusta de Wit membuktikan bahwa produksi bahan pagan beras dan konsumsi nasi telah menjadi keseharian masyarakat Jawa. Augusta mengamati rutinitas sehari-hari seorang pria Jawa yang menurutnya menikmati hidup sebagai petani.

Baca Juga: Nasib Beras yang Kian Langka Jelang Ramadan dan Idulfitri

Kemudian di siang hari yang panas ia kembali ke rumahnya yang sejuk dan sudah tersedia makan siang berupa nasi dan ikan kering yang disajikan dengan rapi di daun pisang yang segar, tulis Augusta de Wit seperti disadur dalam buku James R. Rush, Jawa Tempoe Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985.

Tidak heran jika terdapat catatan terperinci pembiayaan perkebunan cengkih di Sumatera pada abad ke-19 yang mana pengusaha memberikan uang, peralatan berkebun dan juga beras sebagai bahan pangan untuk para petani.

Selain karena nasi kaya akan karbohidrat untuk menambah stamina dan sulit didapat di kawasan perkebunan, namun alasan utamanya adalah makan nasi sudah membudaya bagi penduduk Nusantara

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU