Mengapa Harimau Jawa Bisa Punah? Yuk Telusuri Sejarahnya!

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Sabtu, 24 Jun 2023 14:26 WIB

Mengapa Harimau Jawa Bisa Punah? Yuk Telusuri Sejarahnya!

Optika.id - Pohon-pohon tropis menjulang tinggi menghalangi pancaran sinar mentari mencapai permukaan tanah. Menuangkan kisah-kisah tokoh menembus semak belukar rimbun, berpetualang penuh resiko ancaman satwa-satwa liar. Mengarungi hutan rimba dengan membawa pasukan yang siap bertempur, menyergap dan bertahan hidup. Tanahnya sangat subur, sangat hijau,pohon-pohon menutupi sebagian besar tanah,hutannya penuh dengan gajah, badak, beberapa jenis harimau, beruang, menjangan, rusa, musang, babi hutan, sapi, banteng liar, babi, tulis Piere Poivreseperti yang dikutip dalam buku Bernard Dorlens, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad ke XX oleh Optika.id, Sabtu (24/6/2023).

Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Kurang lebih begitu penggambaran situasi pulau Jawa pada abad ke-18. Setiap pemukiman berjarak berjauhan dan tidak jarang terkepung hutan belantara yang sepi manusia namun padat makhluk halus, raksasa dan mitos-imaji alam pikir orang Jawa lainnya. Lukisan Pdt.Valentijn yang tersohor itu pun kemudian mengabadikan momen ketika Kapten Winkler menembak seekor harimau yang berkeliaran di sekitar lapangan Kasteel pada tahun 1697.

Sebelum kedatangan orang-orang Eropa, sebagian besar wilayah Batavia adalah hutan yang menjadi habitat alami hewan buas. Bahkan, permulaan abad ke-19 harimau belang, harimau akar dan harimau kumbang menjadi hewan buruan bagi orang-orang Belanda. Berburu harimau merupakan olahraga kaum bangsawan Eropa yang ditiru masyarakat kelas atas di Batavia.

Seperti orang-orang Belanda, bangsawan Jawa gemar memusnahkan harimau dengan alasan ritual. Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Jilid 1 menggambarkan bahwa upacara-upacara besar (rampog) itu dihadiri berbagai masyarakat bawah, keluarga keraton dan para pejabat menampilkan pembantaian keji terhadap seekor harimau menggunakan lembing. Di alun-alun Blitar tahun 1894, seorang penjelajah Eropa mengabarkan berlangsungnya rampog yang membantai seekor harimau belang dan tujuh ekor harimau kumbang.

Bagi masyarakat Jawa, harimau adalah binatang buas yang mengancam nyawa manusia. Menangkap harimau lalu mempertontonkan ketidakberdayaan raja hutan yang sengaja dikelilingi ratusan pria bertombak merupakan simbolis kekuasaan untuk menjamu tamu penting maupun sebagai hiburan dan pesta perayaan.

Baca Juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Bahkan Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 menyebut bahwa pertarungan antara manusia dan hewan yang termasuk seremoni keraton menjadi ajang perlombaan, setiap hari senin dan sabtu alun-alun di sebelah utara keraton berlangsung hiburan rakyat dengan harimau sebagai tumbalnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ahli spesies fauna, Alfred Russel Wallace dalam Kepulauan Nusantara: Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam menuturkan ketika dirinya mengunjungi daerah Mojoagung dan menceritakan seekor harimau Jawa yang dikejar-kejar kurang lebih 700 warga suruhan Wedono.

Seekor harimau yang menerkam anak kecil itu dikelilingi lalu dilempari tombak. Perburuan yang lebih pantas disebut pembantaian terhadap harimau tersebut menggambarkan bagaimana murka manusia jauh lebih buas daripada binatang buas serta menjawab alasan mengapa harimau diburu..

Baca Juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?

Fotografer Armenia, Ohannes Kurkdjian yang memotret kegiatan perburuan harimau di Jawa menandai konsistensi hingga sekitar awal abad ke-20. Sekitar tahun 1950, diperkirakan spesies harimau hanya tersisa 25 ekor, tahun 1973 dikabarkan hanya 3 ekor harimau di pulau Jawa dan berita keberadaannya pada tahun 1990 berasal dari keterangan yang kurang valid.

Naluri kebangsawanan yang menjadikan kegiatan memburu harimau sebagai olahraga, perayaan pesta-hiburan dan ajang balas dendam tercermin dari putra Presiden Soeharto yang secara khusus datang dari Jakarta untuk membunuh seekor harimau yang tersesat di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1978.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU