Lubang Kubur Jakarta Tempo Dulu

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 27 Jun 2023 13:05 WIB

Lubang Kubur Jakarta Tempo Dulu

Optika.id - Kehidupan parlente Homo Bataviensis diceritakan oleh Bernard H.M Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia begitu mewah. Homo Bataviensis gemar berkerumun memadati jalan setapak, berpakaian eksotik gaya gothik Eropa Abad Pertengahan dengan motif warna-warni cerah yang mencerminkan gemerlap kemegahan kota Batavia kala itu.

Baca Juga: Kotak Kosong Masih Belum Pasti Terjadi untuk Pilgub DKI Jakarta!

Pendeta Valentijn saat itu juga menggambarkan kehidupan malam anak-anak muda yang gemar menaiki perahu dan menyusuri kanal-kanal diringi alunan musik. Suasana Batavia malam hari digambarkan hiperbola, akan tetapi kenyataannya justru sebaliknya.

Badan kepolisian belum terorganisasi dengan baik, jalan-jalan setapak pun minim penerangan sehingga seringkali dimanfaatkan untuk tindakan kriminalitas.

Perjanjian damai dengan Banten pada 1684 mengurangi tensi ketegangan dan kecurigaan yang memberikan ruang bagi Kompeni VOC untuk lebih memperhatikan keamanan kota Batavia.

Pihak Kompeni VOC pun mengoptimalkan badan kepolisian dengan membentuk polisi lapangan yang bertugas berpatroli pada malam hari (seperti hansip saat ini).

Berdasarkan studi laporan perjalanan, para pelancong umumnya mencatat kekerasan dan pembunuhan yang tidak manusiawi.

Jean Baptiste Tavenier dalam buku Bernard Dorlens yang berjudul Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX memberitakan perangai buruk nyonya-nyonya Homo Bataviensis yang pencemburu, mudah curiga dan kejam dalam membalas dendam.

Seorang nyonya memutilasi dan memasak daging budak perempuannya untuk dihidangkan dalam perjamuan makan keluarga lantaran curiga adanya hubungan gelap antara budaknya dengan suaminya.

Seorang Holtikulturis dan penjelajah dari Perancis, Pierre Poivre menulis bahwa Homo Bataviensis dipenuhi sedikit perasaan kemanusiaan dan agama dalam hati mereka. Para Homo Bataviensis memaksa sesama manusia yang lahir bebas menjadi budak yang dirantai.

...pria-wanita, dipaksa melewati hari-hari menyedihkan dengan beban kerja yang sangat berat, sedikit saja kesalahan akan dihukum dengan cara sangat kejam, ada yang dicabik srigala, yang lain digantung, dibakar hidup-hidup, ditombak, jenis hukuman yang paling sering dikenakan di Batavia, tulis Pierre Poivre, dikutip Optika.id, Selasa (27/6/2023)

Baca Juga: Sapa Warga, Anies Dengarkan Aspirasi Rakyat Jakarta!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kasus kriminalitas, penindasan kapten terhadap serdadu rendahan dan kesadisan majikan atas budak-budak menelan korban jiwa, namun pemusnah massal paling mengerikan bukanlah tangan manusia melainkan wabah epidemi.

Sir Joseph Banks yang berkunjung ke Batavia selama tiga bulan pada 1770 mengkhawatirkan kondisi kesehatannya. Para penumpang kapal kapten James Cook lainnya yang semula dalam keadaan prima, setiba di Batavia banyak yang terlunta-lunta sekarat dan meregang nyawa.

Banyaknya yang sekarat dan terlunta-lunta ini menurut James R. Rush dalam Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985 disebabkan oleh iklim tropis dan lingkungan Timur yang tidak bersahabat diperparah dengan kualitas air bersih beserta terbengkalai berbagai bangkai dan tumpukan sampah mengundang wabah epidemi.

Pada 1730-1733 banyak pegawai pelayaran Kompeni VOC dan para penumpang kapal sudah terkapar tewas setiba di kepulauan Nusantara, sebagian sakit parah sehingga langsung dilarikan ke rumah sakit.

Baca Juga: Hasto Pastikan Pilkada Jakarta, Sumut dan Jatim Tak Ada Kotak Kosong

Korban terus-menerus berjatuhan dan mencapai klimaks pada 1737 yang mana angka kematian penderita penyakit di kapal berkisar 11,8 n 36,4% di rumah sakit. Ratusan nyawa melayang di rumah sakit kota Batavia.

Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memberitakan bahwa disana mayat-mayat manusia menunggu giliran dikuburkan sehingga rumah sakit Batavia dijuluki De Mordkuil atau lubang kubur.

Pierre Poivre juga melaporkan kengerian pengalaman empat bulan bertahan hidup di Batavia. Ia menyaksikan penguburan massal setiap hari yang menurut perkiraannya jumlah korban mencapai 300 orang per-tahun.

Sepintas pengamatan Pierre Poivre menyimpulkan mewabahnya epidemi malaria disebabkan sanitasi buruk berbau busuk yang sebagian mengering akibat sinar matahari. Genangan-genangan air bercampur dengan sampah dan lumpur itulah yang menjadi sarang perkembangbiakan nyamuk malaria.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU