Optika.id - Budayawan yang juga sastrawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun menjalani perawatan di ICU RSUP Dr Sardjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sejak sore tadi. Kondisi Cak Nun saat ini pun dikabarkan semakin membaik.
Baca Juga: Mulai Bisa Berkomunikasi, Kondisi Cak Nun Mulai Membaik!
"Sekarang lebih baik dari kabar yang saya dapat dari jam 17.00 WIB tadi. Jadi kalau jam 17.00 WIB tadi membaik, nah ini lebih baik lagi," kata mantan Sekretaris Cak Nun, Nur Janis Langgabuana seperti dilansir detik.com, Kamis (6/7/2023) malam.
Janis mendapat kabar Cak Nun masuk ke rumah sakit dari adik kandung sekaligus manajer Cak Nun, yaitu Cak Zaki. Saat itu Janis mengaku langsung memantau perkembangan kondisi Cak Nun dengan menghubungi orang-orang terdekat Cak Nun.
"Masuk rumah sakit pukul 14.30 WIB. Saya hanya dapat kabar 'mohon doa CN masuk rumah sakit', terus saya memantau perkembangan. Dua jam selanjutnya menyebut kondisi Cak Nun membaik, mohon doanya," ucapnya.
Janis menceritakan Cak Nun sebelumnya tampil bersama Kiai Kanjeng di Kampung Mataraman, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, pada Minggu (2/7/2023) malam hingga pukul 00.00 WIB. Keesokan harinya, Senin (3/7/2023), Cak Nun beraktivitas seperti biasa.
"Kamis ini kan biasanya ada tawasulan, malam Jumat itu, berselawat tiap malam Jumat. Mungkin karena kelelahan, karena memang Cak Nun harus dijaga, secara fisik beliau kan sudah 70 tahun," ujarnya.
Janis menduga Cak Nun sedang kelelahan sehingga kondisinya menjadi kurang baik.
"Mungkin kecapekan sehingga ada sedikit pendarahan di otak terus kemudian dibawa ke rumah sakit. Tapi jam 17.00 WIB berangsur-angsur membaik. Terus saya konfirmasi ke adik beliau, Cak Zaki, kondisinya lebih baik dari kondisi sore tadi dan dalam keadaan sadar, bisa berkomunikasi terbatas," jelasnya.
Janis juga mengungkapkan ini kali pertama Cak Nun masuk rumah sakit hingga harus menjalani rawat inap. Menurut dia, Cak Nun sebelumnya sempat mengalami stroke ringan.
"Iya, baru pertama (Cak Nun rawat inap di rumah sakit). Sebelumnya stroke ringan lalu pulih kembali, dan setahu saya ini stroke ringan yang ketiga," tukasnya.
Minta Doa Terbaik
Sementara itu, salah satu orang terdekat Cak Nun menyebut Cak Nun masih memerlukan istirahat dan meminta doa yang terbaik.
"CN (Cak Nun) sedang beristirahat di RS (rumah sakit)," kata salah satu orang terdekat Cak Nun yakni dr. Eddy Supriyadi seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Kamis (6/7/2023).
Eddy meminta agar mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan Cak Nun. Mengingat saat ini Cak Nun masih menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito.
"Mohon didoakan agar segera lepas dari proses istirahat. Kita Al-Fatihah," ujarnya.
Pihak Kiai Kanjeng juga sudah memberikan pernyataan tertulis mengenai kabar Cak Nun sakit, berikut pernyataannya:
"Assalamualaikum wr. wb,
Teman-teman semua yang kami hormati, hari ini Mbah Nun sedang istirahat di rumah sakit. Mohon doa dari teman-teman semua agar Mbah Nun segera bisa selesai dari istirahatnya.
Terima kasih banyak.
Wassalamualaikum wr. wb
Dijadwalkan Ceramah 8 Juli
Cak Nun memiliki pengajian yakni Jamaah Maiyah. Pria yang kerap disapa jemaahnya dengan panggilan Mbah Nun ini dijadwalkan akan ceramah di Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu 8 Juli 2023 dalam acara bertajuk Sinau Syukur Kanggo Anak Putu: Mbah Nun & Kiai Kanjeng.
"Sabtu, 8 Juli 2023, 19.30 WIB Perumahan Batumas Chandra Asri
PANDAAN PASURUAN," dikutip Optika.id dari akun Instagram @caknundotcom.
Profil Cak Nun
Diketahui, Cak Nun merupakan seorang sastrawan, budayawan, seniman, penyair yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim Indonesia.
Dia memiliki pemikiran sangat luas di bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan hingga tokoh intelektual Islam. Ia merupakan pendiri pengajian Maiyah.
Cak Nun lahir dengan nama Muhammad Ainun Nadjib dan sering disingkat MH Ainun Nadjib. Seiring waktu, ejaannya diubah menjadi Emha sehingga lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib.
Cak Nun lahir di Desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 dan usianya kini 70 tahun. Dia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara pasangan Muhammad Abdul Lathif dan Chalimah.
Sang ayah, Muhammad Lathif merupakan petani dan juga kiai yang terkenal di desanya. Sementara ibunya, seorang ibu rumah tangga.
Cak Nun yang memiliki jiwa sosial tinggi sejak kecil dan memulai pendidikan sekolah dasar di Desa Menturo. Kemudian melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah Yogyakarta dan Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo.
Cak Nun keluar dari pondok pesantren sebelum tamat sekolah. Dia lalu melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.
Setelah menyelesaikan sekolah, Cak Nun menempuh bangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Meski latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, tak menutup minatnya untuk mendalami dunia seni.
Pada 1975, setelah melewati banyak hal dan berdiskusi dengan berbagai kalangan, khususnya komunitas Malioboro, Cak Nun merilis antologi puisi pertamanya dengan judul 'M' Frustasi.
Pada tahun yang sama, Cak Nun menjadi pemimpin Teater Dinasti yang dia dirikan bersama teman-temannya di Yogyakarta. Di sana dia bertemu Neneng Suryaningsih yang juga aktif di Teater Dinasti.
Mereka menikah dan dikaruniai anak laki-laki bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan vokalis band Letto. Namun pernikahan Cak Nun dan Neneng kandas.
Nama Cak Nun semakin berkibar setelah Pengurus Besar HMI mengundangnya untuk berpidato dalam Dies Natalis ke-29 di Semarang pada 5 Februari 1976.
Cak Nun menikah lagi dengan Novia Kolopaking yang menjadi istrinya sampai saat ini. Novia Kolopaking merupakan seorang seniman film dan penyanyi pada 1997. Mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah dan Anayallah Rampak Mayesha.
Baca Juga: Alami Pendarahan Otak, Budayawan Emha Ainun Dirawat di RSUP Sardjito Yogyakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada masa Orde Baru, sejak 80-an, Cak Nun termasuk salah satu tokoh masyarakat yang vokal dan kritis kepada Soeharto. Dia sering kali menempatkan diri dalam oposisi langsung melawan pemerintahan Orde Baru.
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihat. Dia kemudian menyampaikan celetukan yang diadopsi Soeharto berbunyi 'Ora dadi presiden ora pathèken' (arti dalam bahasa Indonesia: Tidak Jadi Presiden Tidak Apa-Apa).
Karya Cak Nun
Sejumlah karya-karya puisi Cak Nun di antaranya 'M' Frustasi (1976), Sajak-Sajak Cinta (1978), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978) dan lain-lain.
Karya-karya esai yaitu Sastra yang Membebaskan (1985), Dari Pojok Sejarah (1985), Tuhan pun Berpuasa (1995).
Sementara karya-karya buku di antaranya Mbah Nun Bertutur; Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang, BH, Semesta Emha Ainun Najib dan masih banyak lagi.
Cak Nun pernah mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).
Karya Merdeka Tanpa Unsur Kepentingan
Dalam menulis sastra, Cak Nun selalu ingin karya tersebut merdeka tanpa unsur-unsur kepentingan. Kecuali untuk kemanusiaan. Seperti dikutip Optika.id dari situs Institutional Digital Repository (IDR) Perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin, Kamis (6/7/2023).
Awal pergelutan Cak Nun di bidang sastra terjadi pada tahun 1970an. Ia menulis cerpen, naskah drama, puisi, lagu dan semacamnya.
Sebagian besar karya Cak Nun ditulis di masa Orde Baru. Termasuk sekumpulan esai dalam buku Secangkir Kopi Jon Pakir yang ditulis 17 Juni 1987 sampai 22 Juli 1988.
Cak Nun pernah merasa kecewa saat banyak tokoh agama yang berebut kursi kekuasaan politik. Kekecewaan itu melahirkan pengajian Maiyah sebagai protes dan keprihatinannya dalam berbagai masalah sosial, politik serta ketidakadilan di masa Orde Baru.
Bagi Cak Nun, Maiyah adalah wadah bagi seluruh umat manusia agar bisa lebih memahami pluralisme. Sehingga bisa saling menghargai agama orang lain.
Jemaah pengajian Maiyah berbeda-beda. Ada yang sudah menjadi bagian dari Maiyah, ada pula pengunjung yang merasa pemikirannya sesuai dengan cara pandang Maiyah.
Untuk diketahui, hingga saat ini ada puluhan simpul Maiyah di Tanah Air. Seperti Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan Padhangmbulan di Jombang.
Ini Sosok yang Membentuk Karakter Cak Nun:
1. Ayah dan Ibunya
Cak Nun memiliki orang tua bernama H. A. Lathif dan Chalimah. Ayah dan ibu termasuk orang terpandang di desanya. Di masa kecil, Cak Nun menyaksikan orang-orang desa berkunjung ke rumahnya dengan berbagai masalah.
Baca Juga: Ramalan Cak Nun: Indonesia Akan Dipimpin Cendekiawan yang Pahami Sejarah Yogyakarta
Keteladanan ayah dan ibu merupakan cermin yang membentuk Cak Nun. Ibunya menolong warga desa hingga menjual barang-barang yang ada di rumah seperti sepeda motor, televisi, mebel dan lainnya.
Itu yang membentuk kesadaran dan kepedulian sosial Cak Nun dalam berpikir. Menurutnya menolong sesama manusia dari kemiskinan serta bermanfaat sebagai manusia secara utuh, adalah kunci dalam ajaran Islam.
Cak Nun masih mengingat persis surah Ali Imran ayat 95 yang telah ditransfer ibunya, serta sadar bahwa ayat tersebut adalah benih awal perjalanan hidupnya.
Arti surat tersebut adalah: Katakanlah (Nabi Muhammad), 'Maha benar Allah (dalam firman-Nya)'. Maka, ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.
2. Cak Fuad
Lulus sekolah dasar, Cak Nun melanjutkan pendidikan ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Namun ia tidak sampai lulus di Ponpes tersebut.
Ia lalu masuk SMP dan SMA di Yogyakarta. Sebab kakak sulungnya, Cak Fuad sedang kuliah di kota tersebut.
Cak Nun lalu mulai menulis, baik esai, cerpen, dan artikel karena perintah Cak Fuad. Cak Nun juga mulai sering menulis puisi.
Di sisi lain, Cak Nun sering membolos sekolah. Sebab, ia sering begadang di Malioboro. Ia bahkan sempat bertengkar dengan beberapa guru sehingga tidak ingin lagi masuk sekolah SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Beberapa hari kemudian, sore menjelang magrib, Cak Fuad menasihatinya untuk sekolah lagi. "Nun, mbok sekali ini saja jangan keluar dari sekolah. Demi Ibu dan Ayah," kata Cak Fuad.
Cak Nun merasa tergugah sebab berkenaan dengan hati kedua orang tua. Setelah salat magrib, ia langsung menuju rumah wakil kepala sekolah untuk meminta maaf dan izin diperkenankan sekolah lagi.
Menurut Cak Nun, Cak Fuad adalah orang yang tenang dan tidak pernah marah selama membimbing. Seandainya bukan Cak Fuad, ia mengakui tidak akan bisa meningkatkan kreativitas sastra hingga saat ini.
3. Umbu Landu Paranggi
Cak Nun hanya empat bulan kuliah di Universitas Gajah Mada. Ia merasa berbeda dengan dunia akademik. Ia lebih memilih belajar kehidupan di Malioboro Yogyakarta antara 1970-1975.
Cak Nun bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub (PSK). Lalu belajar sastra dengan seorang yang ia hormati bernama Umbu Landu Paranggi. Guru yang dikenal sebagai sufi misterius, dan banyak memberi pengaruh dalam hidup Cak Nun.
Di samping mendalami sastra, Cak Nun juga berbaur dengan berbagai bidang agama, seni, pendidikan, politik dan ekonomi agar bisa lebih berkembang. Pergelutannya dengan dunia sastra dan seni di bawah bimbingan Umbu, melahirkan potensi Cak Nun sebagai penulis hingga eksistensi dirinya diakui oleh masyarakat.
Sosok Umbu bagi Cak Nun adalah seorang guru tadabur sekaligus pencambuk punggung kehidupannya. Sehingga ia menemukan puisi sebagai ujung tadabur yang dinamakan 'kehidupan puisi'.
Secara garis besar, karakter Cak Nun tidak lepas dari peran kedua orang tua, kakak sulung, dan guru di Malioboro. Cara pandangnya meluas dengan bergelut di alam bebas bersama guru yang sangat ia hormati tersebut.
Editor : Pahlevi