Optika.id - Sebelum seorang ahli sejarah militer, Nugroho Notosusanto menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dipegang oleh ahli ekonomi, Daoed Joesoef. Selain pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, antara Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef terdapat kesamaan lain. Keduanya gemar menulis. Keduanya seorang sastrawan dan pengarang buku yang menyukai sejarah.
Baca Juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Daoed Joesoef dalam bukunya Dia dan Aku; Memoar Pencari Kebenaran membukanya dengan kisah Nek Darinah, seorang janda asal Brebes yang merantau ke Aceh. Daoed Joesoef bukan hanya sekedar berkisah. Melalui kisah Nek Darinah, kau akan menjumpai realita kehidupan seorang perempuan desa yang terjebak pergundikan tangsi. Kau akan menyaksikan masa lalu Indonesia yang kelam melalui kacamata Nek Darinah.
Perawakannya agak gemuk, rambutnya memutih, berpenampilan bersih. Dia seorang janda dengan kerutan di dahi dan muka, menandakan getir pahit kehidupan yang pernah dialami dan tak tersembunyikan oleh senyum ramah yang selalu menyungging di bibirnya, tulis Daoed Joesoef mengenai Nek Darinah berdasarkan cerita dari Emak (ibu)-nya, dikutip Optika.id, Selasa (11/7/2023).
Nek Darinah pernah menjalani kehidupan yang keras di tangsi militer KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger-Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Selama ekspansi Belanda ke Aceh, Nek Darinah ikut suaminya yang seorang tentara KNIL. Dikisahkan, Nek Darinah harus menganggung beban luka psikologis karena bergonta-ganti pasangan dalam jangka pendek. Bahkan, Nek Darinah belum sempat menaruh hati pada suami barunya yang lebih dulu menjemput ajalnya. Sudah rahasia umum, yang mampu bertahan hidup di tangsi militer KNIL merupakan sosok wanita tangguh berhati lembut.
Tangsi militer KNIL adalah tempat yang tidak manusiawi. Satu bangsal terkadang dihuni oleh seratus serdadu yang mana mereka terpaksa tidur berjejal-jejal di atas dipan bersama istri dan pembantu. Seperti binatang, mereka bercinta dengan bebas di ruangan terbuka. Bahkan, dalam banyak kasus sering terjadi tukar-menukar istri.
Baca Juga: Isu Rohingya Tak Cukup Laku Buat Jadi Komoditas Politik?
Bagi wanita, kehidupan di tangsi militer Belanda sangatlah berat. Dari memasak, melahirkan anak, mencuci pakaian dan tuntutan pekerjaan lainnya yang terhambat keterbatasan. Sehari-hari berhadapan dengan berbagai serdadu yang umumnya kasar dan kurang beradab. Tekanan sosial dari kecemburuan wanita lainnya bukanlah polemik sederhana karena tak jarang memicu keributan yang berujung perkelahian selayaknya ada ketangkasan kaum pria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kisah Nek Darinah hampir menggambarkan keseluruhan muasal wanita dalam tangsi militer KNIL di Aceh. Semua berawal dari upaya Belanda melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah diluar Jawa. Untuk mendukung kepentingan perang melawan pejuang Aceh, Belanda mengerahkan ribuan tentara dari berbagai etnis.
Reggie Bay dalam bukunya Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda menjelaskan jika Pemerintah kolonial Belanda mengadakan perekrutan tentara besar-besaran dengan menjanjikan uang muka yang nantinya semakin menggiurkan. Pemerintah kolonial Belanda juga merekrut tentara dari kalangan pribumi yang dikumpulkan dari desa-desa miskin di Maluku, Sulawesi Utara, Madura, Timur Barat dan Jawa.
Baca Juga: Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya, Terprovokasi atau Diprovokasi?
Perekrutan tentara diperantarai kepala desa. Suami Nek Darinah yang menganggap rekrutmen tentara KNIL sebagai jalan mengadu nasib, mengantarkan Nek Darinah pada kehidupan tangsi militer yang menorehkan trauma psikologis dan luka sejarah.
Sangking parahnya, ketika Nek Darinah kembali ke desa asalnya, ia tidak bisa menyembunyikan bekas pengalaman pahitnya. Meskipun Nek Darinah menjajakan makanan dengan riang gembira, namun hatinya mungkin sedang gundah gulana.
Editor : Pahlevi