Optika.id - Ketika Covid-19 melanda, Indonesia dan seluruh dunia kalang kabut dibuatnya. Banyak negara berlomba-lomba untuk membuat vaksin guna mengatasi virus anyar tersebut. Tak terkecuali Indonesia. Meskipun sudah melakukan impor vaksin baik AstraZeneca, Sinovac, Pfizer dan lain sebagainya, Indonesia tetap berupaya membuat vaksin sendiri yang dinamai vaksin Merah Putih.
Baca Juga: Kerugian Capai 125 Miliar, KPK Usut Dugaan Korupsi Bansos Jokowi Saat Covid-19!
Dalam perkembangannya, masyarakat terbagi menjadi dua kubu. Mereka yang menyambut baik adanya vaksin untuk mengatasi penyakit, dan kubu lainnya adalah mereka yang skeptic bahkan menolak vaksin itu sendiri dengan berbagai konspirasi yang dibuat-buat.
Indonesia tidak pertama kali menghadapi pengalaman menangani penyakit menular dan membuat vaksin ini. Tercatat bahwa ada perjalanan panjang dalam perjuangan menghadapi pageblug. Termasuk soal vaksinasi.
Misalnya, ketika wabah pes melanda wilayah Malang dan sekitarnya pada tahun 1911 1916.
Penulis buku Epidemi Penyakit Pes di Malang 1911 1916 sekaligus sejarawan kesehatan, Syefri Luwis mengatakan jika korban yang meninggal dunia karena pes di Malang dan sekitarnya pada tahun tersebut berdasarkan laporan dari pemerintah kolonial nyaris menyentuh 34.000 jiwa.
Jumlah korban yang meninggal tersebut dipaparkan dalam laporan di surat kabar kolonial. Bahkan, dalam laporan itu ada sebuah desa yang penduduknya meninggal dunia. Namun, seperti Indonesia yang dulu sempat kalang kabut menghadapi Covid-19, pemerintah Hindia Belanda saat itu juga mereduksi data jumlah korban sehingga kemungkinan jumlah korban jiwa jauh lebih besar dibanding data yang dipaparkan di laporan surat kabar.
Beragam upaya untuk mengatasi wabah pes ini dilakukan. Salah satunya adalah uji vaksin. Syefri menyebut vaksin pes baru berhasil ditemukan pada tahun 1930-an. Vaksin ini menurutnya efektif menangani pes lantaran obat-obatan lain yang diberikan untuk penderita malah membuat mereka kehilangan nyawa.
Dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung lah yang berhasil menemukan vaksin untuk pes pada tahun 1931. Otten kala itu mengembangkan vaksin dari bakteri pes hidup yang dilemahkan untuk membuat antibody dalam tubuh yang disuntikkan.
Dalam tesisnya yang berjudul Dukun dan Mantri Pes: Praktisi Kesehatan Lokal di Jawa pada masa Epidemi Pes 1910-1942, Martina Safitry menulis jika vaksin temuan Otten lebih efektif dibandingkan dengan vaksin impor asal Jerman dan Inggris.
Sebelumnya hanya sedikit pula orang yang dapat vaksin, karena masih mengimpor, tulis Martina, dikutip Optika.id, Minggu (16/7/2023).
Baca Juga: Selain Covid-19, Tubuh Juga Butuh Vaksin Ini Lho!
Tak hanya pes saja, Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda juga pernah dihantam oleh pandemi flu spanyol pada tahun 1918 1919. Ravando Lie, penulis buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia masa Kolonial 1918 1919 mengatakan bahwa saat itu angka kematian penduduk di Hindia Belanda akibat flu spanyol merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbeda dengan penelitian dari Siddarth Chandar dari Michigan State University yang dipublikasikan dalam makalah ilmiahnya yang terbit pada tahun 2013 lalu, Ravando Lie menulis jika jumlah korban jiwa di Jawa dan Madura mencapai 1,5 juta orang. Sementara Siddarth menyebut korban yang meninggal di Jawa dan Madura mencapai 4,26 4,37 juta jiwa.
Upaya lain untuk mengatasi wabah ini menurut Ravando adalah pemerintah kolonial saat itu menyerukan masyarakat agar menggunakan masker. Melalui Tenaga kesehatan, sosialisasi dilakukan. Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan) pun melakukan propaganda kesehatan dengan menganjurkan obat-obatan berupa aspirin, kina, dandoveripoeder untuk mengatasi wabah.
Namun di masyarakat akar rumput justru lebih menghendaki penggunaan obat-obatan herbal, seperti dari labu air, jahe, temulawak, cengkeh, dan obat tradisional lainnya, tulisnya.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat saat itu untuk menghadapi flu spanyol sedikit banyak sama dengan yang dilakukan di masa Covid-19 saat ini. Akan tetapi, tak pernah ditemukan vaksin untuk mengatasi flu spanyol. Ravando menyebut bahwa pandemic itu berakhir dengan sendirinya pasca tercipta kekebalan massal di masyarakat.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Tembus Ratusan, Dinkes DKI: Masih Terkendali
Flu spanyol lalu tidak lagi dianggap berbahaya. Sudah dianggap seperti flu biasa saja. Tubuh manusia bereaksi menyesuaikan diri dengan kondisi virus itu, ucapnya.
Tak hanya pes dan flu spanyol saja, Indonesia juga penah pontang panting menghadapi penyakit menular lainnya seperti kusta, cacar, kolera, tuberkolosis, demam berdarah, dan malaria.
Salah satu penyakit menular yang membuat pemerintah kolonial kewalahan saat itu adalah cacar.
Berdasarkan laporan dari jurnal yang berjudul Dari Mantri hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX yang terbit di jurnalHumanioraedisi 3 Oktober 2006, cacar mulai ditemukan di Jawa pada awal abad ke-17.
Diketahui sekitar 100 penduduk di Jawa terkena cacar pada tahun 1781. Dari 100 orang, 20 di antaranya meninggal dunia. Kemudian pada awal abad ke-19, penyakit cacar di Jawa menyumbang angka kematian tertinggi pada anak-anak terutama di bawah usia 14 tahun mencapai 10%-30%.
Editor : Pahlevi