Pengamat: Kesan Sombong hingga Tak Butuh Partai Kecil Hanya Akan Merugikan Ganjar dan PDIP

author Eka Ratna Sari

- Pewarta

Senin, 07 Agu 2023 14:59 WIB

Pengamat: Kesan Sombong hingga Tak Butuh Partai Kecil Hanya Akan Merugikan Ganjar dan PDIP

Optika.id - Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Profesor Henri Subiakto mengomentari tindakan politik Guntur Romli yang memutuskan untuk meninggalkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) setelah partai tersebut memberikan lampu hijau untuk mendukung Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024.

Baca Juga: PDIP Tegaskan Tak Kekurangan Stok Pemimpin untuk Pilkada Jawa Tengah

Menurut Profesor Henri, keputusan yang diambil oleh Guntur Romli berpotensi untuk diikuti oleh para pendukung setia PSI yang merasa kecewa dengan tindakan partai tersebut. Masyarakat yang sebelumnya loyal kepada PSI merasa kecewa karena dinilai sebagai pengkhianatan terhadap dukungan sebelumnya kepada Ganjar Pranowo.

"Walau katakanlah perubahan PSI ini adalah dampak kekecewaan hubungannya dengan PDIP, tapi sebaiknya PSI komit pada arah politik konstituennya tanpa terganggu dengan sikap PDIP," ujar Henri dalam sebuah cuitan di akuntwitternya dilansir Senin (7/8/2023).

Dalam cuitannya, Profesor Henri juga menyoroti PDI Perjuangan yang tampaknya enggan mengakui dukungan PSI terhadap Ganjar Pranowo. Meskipun PSI telah lebih dulu mengumumkan dukungannya terhadap Gubernur Jawa Tengah tersebut sebelum deklarasi sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.

"Kesan sombong, kaku, merasa paling solid, merasa paling berhak, hingga tdk butuh partai kecil, dan Kesombongan lain, hanya akan merugikan Ganjar dan PDIP sendiri," ucapnya.

Henri menyatakan bahwa PDIP berhasil menjadi partai pemenang dalam dua Pemilu berturut-turut bukan semata-mata karena kinerja partai yang sangat baik, tetapi karena kehadiran Jokowi sebagai calon presiden yang didukung. Tanpa kehadiran Jokowi sebagai capres, partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut belum tentu menjadi partai penguasa selama dua periode terakhir.

"Jokowi memiliki keterikatan yang kuat dengan rakyat, yang secara signifikan berpengaruh pada suara PDIP. Terlebih sekarang, kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Jokowi mencapai lebih dari 80 persen," lanjutnya.

Henri menegaskan bahwa kekuatan PDIP di legislatif hanya mencapai 20 persen. Jika Ganjar ingin meraih kemenangan pada Pilpres 2024 mendatang, dia harus memenangkan simpati pendukung Jokowi yang mencapai 80 persen.

"Diakui PDIP itu partai yang pendukungnya hingga di grassroot loyal dan fanatik. Tapi bermodal 20 persen tidak akan menang jika hanya mengandalkan konstituen PDIP lalu kurang erat merangkul pendukung Jokowi," katnaya lagi.

Baca Juga: Ini Kata PDIP Soal Pelegalan Politik Uang di Pemilu

"Kalau PDIP tetap kaku dan arogan kasihan Ganjar. Harusnya PDIP memberi hak yang besar ke Ganjar. Hak untuk memilih cawapresnya. Hak konstitusional memilih kabinetnya. Dan harus disampaikan ke publik oleh pak Ganjar nanti," sambung dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Herni lanjut menuturkan, tidak semua penentu harus dari seorang Megawati. "Konsep petugas partai itu urusan mekanisme ke dalam, untuk jadi ikatan moral komitmen ke dalam," imbuhnya.

"Tapi tidak elok diumumkan keluar, untuk menunjukkan PDIP lebih tinggi dari kadernya yang jadi presiden. Konsep yang bagus untuk partai bisa jadi terkesan arogan karena disampaikan terbuka dan berulang," katanya.

Henri menilai, Ketum PDIP memang harus dihormati dan jadi pemersatu faksi-faksi di Partainya. Megawati merupakan simbol Nasionalis penerus Soekarno, figur penentu dan pemutus kebijakan partai.

"Tapi harus diingat, rakyat Indonesia itu mayoritas tidak suka dengan bu Mega. Terutama umat Islam. Megawati pernah maju Pilpres dua kali kalah di 2004 dan 2009. Ini terkait cara komunikasi, faktor histori, kebijakan dan faktor sosial politik," bebernya.

Baca Juga: PDIP Tugaskan Ganjar untuk Pemenangan Pilkada Serentak

Sebagai putri Fatmawati yang punya akar dari keluarga Islam Muhammadiyah di Sumatera, lanjut Henri, Megawati tidak dekat di hati mayoritas muslim, terutama di tanah ibunya Sumatera.

"Dulu ada Taufik Kiemas yang luwes bisa jadi jembatan, idealnya Puan menggantikan peran ayahnya yang asli Sumatera dan dekat dengan politik Masyumi. Tapi Puan lebih mirip fotocopy ibunya dari pada bapaknya. PDIP benar-benar kehilangan tokoh yang mampu merangkul kaum muslimin saat pak Taufik tiada. Kekakuan sekaligus Kelemahan PDIP inilah yang membuat banyak orang kurang nyaman," tandasnya.

Dia menyatakan bahwa PSI yang sebelumnya berpihak pada Presiden Jokowi, kini justru membuka komunikasi dan terkesan bisa berkoalisi dengan Prabowo.

"Ini menimbulkan kontroversi dan mengecewakan orang-orang seperti Guntur Romli. Atau mungkin saja tindakan PSI ini telah mendapat persetujuan dari Jokowi, sehingga terkesan bermain politik dengan dua kaki. Kita akan menunggu perkembangan selanjutnya," tutupnya.

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU