Optika.id - Konsep slow living atau hidup lebih santai belakangan ini ramai digandrungi oleh orang-orang di generasi sekarang yang menuntut semuanya serba cepat. Di sisi lain, gaya hidup anyar yang sedang booming dengan alasan untuk menyelamatkan lingkungan adalah slow fashion. Slow fashion bisa dibilang merupakan konsep yang bertentangan dengan fast fashion atau tren mode cepat.
Baca Juga: Hadapi Gempuran Thrifting, Asosiasi Tekstil Desak Turunkan Suku Bunga
Dengan kata lain, slow fashion mendorong pendekatan yang lebih berkelanjutan dengan menekankan kualitas dibandingkan kuantitas.
Dalam konsep slow fashion, pakaian dirancang untuk tahan lama, diproduksi dengan proses yang lebih perlahan dan menggunakan bahan berkualitas. Tujuannya tak lain adalah mempromosikan etika kerja yang baik, mengurangi pemborosan dan mengurangi dampak lingkungan.
Tren slow fashion ini mengubah pandangan dari hanya mengonsumsi pakaian yang hanya sementara, menjadi pakaian bernilai dalam jangka panjang. maka dari itu, tren ini mendorong konsumen untuk memilih pakaian yang sesuai dengan gaya pribadi dan membuat mereka mempertimbangkan keberlanjutan dalam membeli pakaian (sustainability).
Baca Juga: Mengapa MenkopUKM Gencar Larang Keras Impor Pakaian Bekas?
Lebih lanjut, Founder and Creative Director Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto dalam keterangannya menjelaskan bahwa konsep slow fashion ini pada dasarnya mengonsumsi pakaian dengan jangka waktu yang lebih lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Rules-nya tidak terjebak dengan tren masa kini. Karena sebenarnyafashionitu kontrolnya harus ada dari genggaman diri sendiri. Yang terpenting ketika terpaksa membeli pakaian, usahakan selalu melihat label baju dan menghindari bahan yang mengandungpolyester," ucap Chitra dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).
Baca Juga: Modus Ilegal Impor Baju Bekas Diungkap Bea Cukai
Menurutnya, bahan polyester merupakan jenis serat sintetis yang dibuat dari molekul yang berulang-ulang diproses dan seringkali berasal dari minyak bumi, disebut sebagai polimer. Alhasil, proses dekomposisi polyester itu memerlukan waktu yang cukup lama serta limbah polyester tidak mudah terurai di alam. Hal itu juga mengakibatkan akumulasi sampah di lingkungan yang kian membludak dari waktu ke waktu dan tidak bisa didaur ulang.
Sisi buruk polyester lainnya adalah produksinya yang masih menggunakan minyak bumi dan energy yang signifikan sehingga menyebabkan emisi gas rumah kaca dan polusi lingkungan. Maka dari itu, imbuh Chitra, pilihan yang paling bijaksana dan pengelolaan yang baik bisa membantu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Editor : Pahlevi