Optika.id - Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar mengungkapkan bahwa tingkat keterpilihan caleg selebritas terhitung cukup rendah. Pada Pemilu 2019 lalu, persentase caleg selebritas ini hanya berkutat di kisaran belasan persen saja dan paling tinggi hanya 31%.
Baca Juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol
Dengan kata lain, popularitas dan nama besar tidak sama artinya dengan mereka bisa memiliki golden ticket yang secara otomatis menjamin duduk di kursi parlemen.
Jika dilihat dari pemilu tahun-tahun sebelumnya, caleg selebritas pada Pemilu 2019 hanya 13 orang yang melenggang ke Senayan dari 91 orang. Pun pada Pemilu 2014, dari 100 caleg artis, hanya 16 saja yang lolos dan duduk di kursi parlemen.
Rendahnya tingkat keterpilihan caleg selebritas ini seolah menjadi tamparan sekaligus gambaran nyata bahwa popularitas bukanlah segalanya. Butuh usaha yang lebih untuk mengubah popularitas menjadi suara dan simpati dari rakyat.
"Jadi popularitas mungkin bisa jadi salah satu modal, tapi kalau tidak bisa mengkonversi menjadi elektabilitas, popularitas itu tidak terlalu berguna," kata Usep kepada Optika.id, Rabu (30/8/2023).
Popularitas Bukan Segalanya
Meski unggul secara popularitas, caleg artis memang mau tak mau tetap harus menunjukkan kepantasannya. Selayaknya caleg-caleg lain dari latar belakang berbeda.
Maka dari itu, menurut Usep, caleg artis harus benar-benar punya strategi jitu. Dibarengi dengan reputasi yang harus terus dijaga baik di masyarakat. Jika itu tidak dilakukan, popularitas tidak akan menjadi 'angin surga'.
Terlebih diyakininya, pemilih saat ini kebanyakan bukanlah 'pemilih asal'. Namun, pemilih rasional yang memberikan suaranya dengan alasan-alasan masuk akal.
"Ya tentu mungkin di antara caleg artis itu juga ada yang punya kemampuan. Kita juga sudah mengenal beberapa artis yang intelek, punya kerja nyata di masyarakat (ketika terpilih). Ada yang vokal, ada yang diam saja, yang tidak terlihat kerjanya apa," ucap Usep.
Baca Juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama
Tanggung Jawab Parpol
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Usep menegaskan bahwa penilaian masih sepenuhnya berada di tangan masyarakat sebagai pemilih suara.
Apabila berbicara secara kualitas yang ideal, Usep mengatakan partai politik (parpol) turut bertanggung jawab menjadikan mereka (para caleg yang berasal dari kalangan artis) benar-benar dianggap layak secara kualitas.
Partai seharusnya bisa melakukan pendidikan politik serta menyaring kader yang memiliki kapasitas serta kapabilitas untuk disorongkan ke publik sebagai caleg, apabila hal itu dilihat dalam konteks teoritis. Dengan begitu, maka kualitas sudah disaring sejak hulu dan tidak ada tong kosong yang maju sebagai caleg dan hanya mengandalkan kepopulerannya yang sebenarnya tidak berhubungan dengan politik maupun masyarakat.
Di sisi lain, seharusnya caleg dari berbagai latar belakang maupun profesi memenuhi dua tahapan dan syarat ideal seperti sertifikasi dan nominasi. Dua tahap awal itulah yang menurut Usep sudah harus dilakukan oleh parpol.
Baca Juga: Pengamat Sebut Anies Segera Gabung Partai, Tak Selamanya Bisa Independen!
Namun, dua tahap itu mungkin saja belum dilaksanakan parpol atau hanya digunakan sebagai formalitas belaka. Maka dari itu dia mencurigai jangan-jangan kriteria untuk menjadi caleg hanya ditetapkan secara serampangan dan tidak serius.
Maka masyarakat diminta untuk tidak kaget apabila yang diajukan oleh parpol sebagai jagoan mereka hanyalah nama-mana yang sekadar memiliki popularitas belaka. Bahkan dia pun menyayangkan apabila parpol tidak adil dan tidak melihat mereka yang mumpuni serta memenuhi kriteria untuk maju di Pemilu justru menjadi orang yang terbuang hanya karena dianggap kurang populer dan tidak bisa mengatrol suara parpol.
"Sebenarnya bukan mempersoalkan siapa dari latar belakang mana caleg itu datang. Cuma, kan, persoalannya, ketika muncul, justru artis yang seperti itu (tidak memiliki kualitas). Jangan-jangan karena kriterianya yang dibikin longgar atau tidak sesuai dengan kriteria-kriteria yang dikehendaki rakyat," jelas Usep.
Usep menilai dengan parpol mengusung caleg artis atau politikus yang sudah mapan dan mempunyai nama besar itu menunjukkan bahwa sistem kaderisasi parpol sangat lemah dan bisa dinego hanya dengan popularitas. Dia pun mempertanyakan apakah popularitas yang dikantongi sejumlah nama-nama itu harus benar-benar menggeser orang yang betul-betul berkualitas?
"Jadi serasional apapun pemilih, kalau tidak disediakan calon-calon yang punya kapasitas kompetensi, jadi mau milih siapa," pungkasnya.
Editor : Pahlevi