Optika.id - Sekitar 150 bakal caleg tercatat dalam daftar calon sementara (DCS) anggota DPR dan DPRD untuk Pemilu 2024 yang memiliki hubungan kekerabatan. Hal tersebut diungkap oleh riset bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan TempoI beberapa waktu yang lalu. Dalam riset tersebut, ada beberapa kerabat dari petinggi partai politik (parpol) yang turut mendaftar sebagai caleg.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Yang paling mencolok yakni keluarga dari Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. Warganet menyoroti bahwa Keluarga Perindo tersebut kompak mendaftarkan diri sebagai bacaleg dari partai yang mereka dirikan sendiri.
Tercatat Hary mendaftar sebagai caleg dari dapil Banten III sementara istrinya, Liliana Tanoesoedibjo mendaftar sebagai caleg dari dapil Jakarta II.
Lebih lanjut anak pertamanya, Angela Tanoesoedibjo maju sebagai caleg dapil Jawa Timur I. Valencia yang merupakan anak keduanya maju dari dapil Jakarta III dan anak ketiganya, Jessica maju sebagai caleg dari dapil NTT II. Sedangkan anak keempatnya, Clarissa maju sebagai caleg darpil Jawa Barat I dan terakhir, anak bungsunya, Warren Tanoesoedibjo maju sebagai acleg dari dapil Jawa Tengah I.
Tak hanya dari keluarga Tanoesoedibjo saja, keluarga dari petinggi parpol lainnya pun maju sebagai caleg bersama beberapa anggota keluarga mereka misalnya Puan Maharani yang maju lagi sebagai caleg dari dapil Jawa Tengah V disusul oleh anaknya, Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari yang maju sebagai caleg dapil Jawa Tengah IV.
Melihat hal demikian, masyarakat tentu menuding bahwa petinggi parpol tersebut melanggengkan dinasti politik. Namun, berbeda dengan tanggapan analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Silvanus Alvin yang menilai bahwa tidak semua situasi bisa disebut sebagai dinasti politik.
Menurutnya, dinasti politik adalah tindakan atau praktik menyeleweng di mana anggota dari keluarga yang sama atau dekat secara berurutan atau bersama-sama memegang jabatan publik dalam jangka waktu yang lama seperti yang terjadi pada era Orde Baru. dengan kata lain, ada upaya untuk melanggengkan kekuasaan itulah yang disebut sebagai dinasti politik.
Namun, di sisi lain kita harus menyadari semua orang punya hak berpolitik yang sama. Praktik untuk mendapat jabatan politik itulah yang harus dijaga, jangan menyeleweng. Misalnya dengan memanfaatkan kekuasaan politik untuk menggolkan jabatan politik bagi keluarganya, kata Alvin kepada Optika.id, Rabu (20/9/2023).
Kendati demikian, dirinya juga tidak menampik bahwa dinasti politik bermakna negatif. Ada beberapa hal yang mendasarinya yang pertama adalah dinasti politik cenderung mengakibatkan monopoli politik serta kerap mengabaikan prinsip regenerasi politik kekuasaan. Padahal, hal tersebut merupakan faktor penting dalam demokrasi.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faktor kedua adalah dinasti politik berpotensi mengurangi kemampuan masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling cakap dan mampu, menggerus meritokrasi dan menyalahi demokrasi.
Adapun yang ketiga adalah dinasti politik bisa menciptakan ketidaksetaraan dalam akses maupun peluang politik bagi warga negara. Pasalnya, orang-orang di luar keluarga yang berkuasa, orang-orang biasa mungkin merasa termarjinalkan atau insecure atas kurangnya peluang untuk berpartisipasi dalam politik.
Terakhir, dinasti politik membuka keran untuk korupsi, kolusi dan nepotisme seperti yang terjadi di era Orde Baru. dalam praktiknya, anggota keluarga yang saling memegang jabatan ini bisa memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompoknya. Hal ini lah yang menurut Alvin bisa menjelaskan mengapa partai masih menggunakan strategi dinasti politik itu sendiri.
Di sisi lain, menurut dia ada sejumlah faktor mengapa strategi ini masih digunakan yakni partai masih menggunakan kekuatan nama dari keluarga politikus yang dikenal publik dan mempunyai jaringan kuat dalam politik. Mereka dianggap memberikan keuntungan elektoral kepada calon dari keluarga tersebut.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Faktor yang kedua adalah dinasti politik membantu stabilitas internal partai dalam perolehan suara partai. Secara tidak langsung, elektabilitas yang ikut terkatrol tersebut memuluskan jalan dinasti politik serta melanjutkan kebijakan di masa depannya.
Dinasti politik bisa memuluskan kontinuitas kebijakan. Partai politik mungkin berpendapat bahwa dengan mempertahankan anggota keluarga dalam jabatan, mereka dapat menjaga kontinuitas kebijakan dan agenda partai dari satu generasi ke generasi berikutnya, ucapnya.
Alvin menilai bahwa dinasti politik masih dibolehkan apabila keluarga politik itu memberikan sepak terjang dan bukti nyata yang baik. citra seperti itu, ujar nya, akan mereduksi makna dan stigma bahwa dinasti politik itu buruk dan perlahan akan menjadi penilaian positif dari masyarakat yang merasakan kerja dan aksi nyata mereka.
Di sisi lain, memang harus disadari adanya fakta bahwa politik itu walau hak semua orang, tapi tidak semuanya bisa masuk dalam politik karena politik membutuhkan sumber daya finansial dalam jumlah tertentu, ujar dia.
Editor : Pahlevi