Optika.id - Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali cawe-cawe dan menunjukkan kekuasaannya dengan sesumbar telah mengantongi data parpol dari intelijennya. Pangi Syarwi Chaniago selaku Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting menilai jika Jokowi yang sedang pamer taji dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya tersebut. Lebih lanjut dia menyayangkan sikap orang nomor satu di Indonesia tersebut lantaran menimbulkan kegaduhan di ruang publik untuk yang kesekian kalinya.
Baca Juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Kita juga paham semua informasi intelijen automatically menempel dan melekat sama presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu presiden mendapat laporan semua dan tahu banyak hal terkait data informasi intelijen, namun apakah semua yang presiden tahu harus disampaikan ke publik? ujar Ipang, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima, Senin (25/9/2023).
Di sisi lain, pernyataan yang dilontarkan oleh Jokowi menjadi indikasi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power demi tujuan kepentingan politik pragmatis pribadi saja. Seharusnya, Jokowi bisa memposisikan diri sebagai presiden dan data intelijen tidak tepat dipakai untuk memata-matai ketua umum parpol, memantau pergerakan parpol, cawe-cawe politik lagi, memonitor jeroan serta keputusan parpol yang seharusnya independen hingga melakukan operasi terhadap parpol.
Pangi menegaskan bahwa menggunakan informasi intelijen untuk memantau dan memata-matai lawan politik merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, abuse of power serta bisa merusak integritas sistem politik dan pemilu.
Lebih lanjut, presiden harus mengonfirmasi persepsi publik yang menangkap bahwa data intelijen dipakai untuk operasi politik seperti yang disampaikan oleh dia sebelumnya.
Atau untuk menakut-nakuti ketua umum parpol dalam rangka mempengaruhi intensitas dan arah koalisi? Seperti seolah-olah presiden terkesan jadi dealer partai politik, jelas Ipang.
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Adapun penyalahgunaan data intelijen ini bukanlah masalah yang sepele. Masalah ini sudah termasuk ke dalam skandal politik yang amat memalukan bagi negara dengan statusnya sebagai negara demokrasi. Menurut Pangi, penting untuk memahami bahwa penggunaan data intelijen dalam politik termasuk ke dalam isu yang sangat sensitive dan tertutup pasalnya data intelijen seyogyanya dipakai untuk politik negara bukannya politik pemilu musiman maupun untuk menyetir parpol untuk memuluskan tujuan pribadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data intelijen seharusnya digunakan untuk kepentingan keamanan nasional dan bukan untuk tujuan politik kelompok dan golongan tertentu, ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Communication & Information System Security Research Centre (CiSSReC), Pratama Pershada menjelaskan bahwa adalah hal yang wajar jika lembaga intelijen negara menyalurkan segala informasi kepada presiden. Tujuannya tak lain adalah agar kepala negara secara holistic mengetahui apa yang sedang terjadi di negaranya.
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
Akan tetapi, polemik yang timbul yakni kekhawatiran masyarakat bahwa presiden bisa menyalahgunakan wewenang untuk melakukan penyadapan tanpa izin kepada pemimpin atau pengurus parpol serta mengintervensi terlalu jauh.
Menurut Pratama, hal tersebut bukanlah perbuatan illegal selama penyadapan yang dilakukan semata-mata bertujuan untuk mengatasi suatu masalah yang dapat mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional.
Hal ini tentu akan berbeda jika penyadapan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, di mana hal tersebut adalah tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi hukuman seperti yang terdapat pada UU Telekomunikasi Pasal 56 dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara, serta UU ITE Pasal 47 dengan hukuman maksimal penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp8 juta, terangnya.
Editor : Pahlevi