Isu Lingkungan Tidak Mendapat Atensi dari Pemerintah

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 25 Sep 2023 13:29 WIB

Isu Lingkungan Tidak Mendapat Atensi dari Pemerintah

Optika.id - Berbagai konflik antara pemerintah dan warga sipil seputar isu agrarian dan lingkungan menambah daftar panjang dosa negara terhadap rakyatnya. Berbagai kampanye dan janji-janji politik dari pemilu tahun sebelumnya hingga sekarang nyatanya masih belum menyinggung mengenai komitmen calon pemimpin kepada lingkungan. Hal ini pun patut dipertanyakan, sejauh mana keberpihakan negara terhadap isu lingkungan?

Baca Juga: Pengolahan Air Bersih di Indonesia untuk Memenuhi Tujuan Sustainable Development Goals (SDGS)

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, lemahnya komitmen pemerintah dalam isu lingkungan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Dia mengingatkan kepada masyarakat bahwa selama dua periode kepemimpinan Jokowi masih tidak memiliki jejak baik dalam urusan menyelesaikan permasalahan isu lingkungan.

Ketidakpedulian ini, sangat terkait dengan menguatnya konflik kepentingan antara para pebisnis di sektor industri ekstraktif di rezim Jokowi, dengan segala macam jejak buruknya yang secara tidak langsung berdampak pada absennya penegakan hukum atas ragam tindak kejahatan lingkungan, ujar Melky kepada Optika.id, Senin (25/9/2023).

Kepemimpinan Jokowi ini menurut Melky tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mana sumber daya alam terus menjadi tumpuan membangun perekonomian negara.

Di rezim Jokowi, sebagaimana dengan rezim sebelumnya, sumber daya alam itu memang terus menjadi salah satu tulang punggung perekonomian. Sayangnya, yang menikmati keuntungan bukan rakyat, tapi pebisnis dan korporasi itu sendiri, kata dia.

Daerah tambang mineral seperti pertambangan nikel, imbuh Melky, justru tercatat mengalami peningkatan angka kemiskinan. Hal ini sesuai dengan catatan dari Badan Pusat Statistik yang mencatat bahwa wilayah area tambang seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara angka kemiskinannya justru bertambah, padahal pemerintah mengeruk kekayaan alam mereka dengan dalih pembangunan.

Pembangunan yang mana dan seperti apa? Tidak dirasakan sama sekali, malah membuat warga semakin terpuruk. Warga di sejumlah wilayah ini kehilangan ruang produksi, mulai dari urusan pangan hingga air, bahkan berdampak pada kesehatan warga, dan kerusakan ekosistem, imbuh Melky.

Lebih lanjut Melky menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah tidak pernah berupaya dalam pemulihan dan mitigasi kerusakan pasca kegiatan penambangan. Dia menilai tidak cukup hanya menyinggung secuil persoalan lingkungan dalam pidato-pidato kenegaraan. Pemerintah harus menempuh langkah konkret yang memastikan regulasi dan kebijakan yang memberi karpet merah perluasan industri ekstraktif ini bisa dievaluasi.

Baca Juga: Pengolahan Air Bersih di Indonesia untuk Memenuhi Tujuan Sustainable Development Goals (SDGS)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Juga tak ada penegakan hukum. Jika Jokowi mengklaim telah berbuat banyak, kami pastikan itu sekadar gimmick dan retorika semata, tegasnya.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menegaskan bahwa Jokowi bahkan tidak pernah menyinggung soal krisis iklim yang mengancam peradaban manusia saat ini dalam pidato kenegaraannya. Padahal, diketahui Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan sebanyak 31,89% emisi karbon pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri. akan tetapi, nyatanya kebijakan politik yang dihasilkan sangat bertentangan dengan komitmen tersebut.

Sangat menyalahi komitmen yang dibuat sendiri. Disahkannya revisi UU Minerba, UU Ciptaker, dominasi penggunaan batubara pada rencana kelistrikan nasional, pembukaan lahan untuk tambang nikel (hilirisasi industri), target peningkatan produksi minyak bumi 1 juta barel/hari pada 2030, justru menciptakan kebijakan yang semakin membawa negara ini rentan terhadap dampak krisis iklim, papar Leonard, Senin (25/9/2023).

Leonard menyebut bahwa Jokowi dalam pidato-pidatonya mengatakan bahwa hilirisasi dan ekonomi hijau ini sebagai window of opportunity bagi Indonesia untuk sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya alam, energy baru dan terbarukan. Padahal, nyatanya Indonesia masih terseok-seok dalam pengembangan energy terbarukan. Hal ini mengacu pada data pemerintah yang menunjukkan bahwa porsi energy terbarukan hanya mencapai 11,5% pada tahun 2021 silam sementara pada tahun 2025 target yang harus ditempuh yakni 23%.

Baca Juga: Greenpeace Sanggah Jokowi, Sebut Food Estate Perparah Krisis Pangan dan Lumbung Masalah

Di sisilain, sambung Leonard, payung hukum utama dari transisi energy, yakni RUU EBT masih hilang arah lantaran memasukkan turunan batu bara sebagai jenis energy baru dan terbarukan. Hal ini tentu tidak sesuai.

Lebih lanjut pihaknya juga menyoroti hilirisasi sebanyak 43 pabrik nikel yang digadang-gadang bisa membuka luas kran lapangan pekerjaan serta diklaim menjadi komoditas anyar yang bisa menggerakkan perekonomian tanah air. Kenyataannya yakni hilirisasi nikel malah mendorong deforestasi massif di Indonesia bagian Timur.

Hal ini membuktikan bahwa model pembangunan ekonomi Indonesia masih mengandalkan industri ekstraktif, tidak selaras dengan cita-cita pembangunan berbasis ekonomi hijau yang juga disinggung Presiden dalam pidato kenegaraannya, tutur Leonard.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU