Optika.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 2 periode ini diwarnai dengan berbagai masalah. Namun, masalah yang menjadi warisan dari generasi ke generasi yakni kemiskinan.
Baca Juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Jokowi mengklaim bahwa dalam upaya mengentaskan kemiskinan, dirinya sudah memiliki strategi yang efektif. apalagi, di bawah pemerintahannya, jajarannya juga mendukung hal tersebut dengan mencanangkan program untuk menurunkan kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada tahun 2024 nanti, momentum ketika Jokowi turun jabatan.
Adapun cara yang diklaim efektif tersebut adalah melakukan pendataan menyeluruh baik identitas maupun alamat masyarakat yang tergolong dalam kategori miskin ekstrem. Dengan adanya data-data tersebut, Jokowi mengaku lebih leluasa untuk menindaklanjutinya melalui program bantuan sosial (bansos).
Tak hanya itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memiliki ikhtiarnya sendiri dalam mengurangi kemiskinan antara lain dengan cara menggelontorkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 senilai Rp562,6 triliun. Anggaran sebanyak itu merupakan belanja pemerintah pusat yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat misalnya program keluarga harapan (PKH) dan kartu sembako.
Berbeda dengan klaim-klaim pemerintah, Muhammad Andri Perdana selaku Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa sampai saat ini masih belum ada strategi jitu yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan upaya mengentaskan kemiskinan. Pasalnya, pemerintah yang banyak berencana, namun pada dasarnya masih belum ada perubahan kebijakan yang bertujuan untuk mencapai penurunan kemiskinan secara drastis.
Target (penurunan) drastis membutuhkan perencanaan yang drastis pula. Kalau tidak ada perubahan radikal dari program-program pengentasan kemiskinan, maka ini bukan ambisius, tapi irasional," kata Andri dalam keterangannya, Selasa (26/9/2023).
Apabila dilihat secara rasional, ujar Andri, sebenarnya pemerintah bisa menurunkan sebanyak 2,04%. Standar ini menggunakan standar pengeluaran Rp10.739 per hari. Untuk menjadi nol persen dalam waktu kurang lebih satu tahun, Andri menegaskan bahwa pemerintah sedang berangan-angan secara tidak rasional. Di sisi lain, dalam lima tahun terakhir, kalkulasi penurunan kemiskinan ekstrem dengan mengacu pada standar tadi hanya rata-rata 0,48% per tahun saja.
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Tingkat penurunan ini sudah melambat dari sebelumnya di tahun 2015-2019 yang turun rata-rata 0,696 persen per tahun," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Bank Dunia sendiri sudah memperbarui standar kemiskinan ekstrem internasional menjadi 2,15 dollar AS menggunakan PPP 2017. Semula, standar kemiskinan 1,9 dollar AS dan masih menggunakan PPP 2011. Maka dari itu, dengan adanya perubahan tersebut yang membuat jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia masih stagnan di angka 3,5% yang mana hanya turun sebanyak 0,3% saja dari tahun sebelumnya.
Jadi untuk menurunkan 3,5 persen menjadi 0 persen ini jauh dari rasional, apalagi dengan kita melihat tidak ada perubahan radikal dari kebijakan pengentasan kemiskinan kita," kata dia.
Langkah yang ditempuh pemerintah pun menurut Andri cukup berisiko untuk mendorong perilaku yang kontra produkti dengan substansi mengentaskan kemiskinan demi mencapai angka nol persen pada tahun 2024 nanti. hal ini dikarenakan yang terpenting adalah menghasilkan angka 0 persen tersebut, namun tidak memperhatikan kondisi riil kehidupan orang-orang yang hanya dilihat oleh pemerintah sebagai data statistic belaka.
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
Tidak bijak apabila penduduk miskin ekstrem kita besok pengeluarannya meningkat melebihi garis kemiskinan Rp10.739 per hari tersebut, namun nyatanya harga berbagai kebutuhan pokok naik lebih tinggi dari naiknya pendapatan mereka, apalagi karena kenaikan beberapa harga komoditas tidak akan serta merta direfleksikan secara representatif pada PPP yang menentukan tingkat garis kemiskinan ekstrem tersebut," jelas dia.
Maka dari itu, dia mendesak agar pemerintah tidak hanya terpaku pada target-target irasional tersebut yang terlihat luar biasa di atas kertas namun tidak substansial di masyarakat.
Ironisnya, kata Andri, pemerintah saat ini justru gencar untuk membuat Indonesia berada di status negara upper-middle income. Padahal, untuk negara middle-income, standar garis kemiskinan yang dipakai adalah 6,5 dolar AS (PPP), yang mana jika menggunakan standar tersebut, 60,64 persen penduduk kita termasuk pada golongan miskin.
Editor : Pahlevi