Optika.id - Kekerasan anak, baik anak sebagai pelaku maupun sebagai korban menjadi bahasan yang hangat akhir-akhir ini. Teranyar adalah kasus malang yang menimpa bocah kelas 2 SD Menganti Gresik, Jawa Timur yang mengalami kebutaan permanen salah satu matanya akibat kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya.
Baca Juga: KPPPA Minta Kasus Perundungan Sekolah Internasional Binus Diselesaikan dengan UU Pidana Anak
Kakak kelasnya tersebut kesal lantaran korban menolak dimintai uang. Lantas, pelaku mencolok mata korban dengan tusuk bakso yang mengakibatkan salah satu mata korban kehilangan penglihatannya.
Kekerasan anak ini seolah tak pernah ada habisnya. Pada tahun 2018 lalu, KemenPPPA merilis hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPAR). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa prevalensi pelaku kekerasan terhadap anak didominasi oleh teman sebayanya yakni 75%. Sementara oleh keluarga sebanyak 12%, orang dewasa yang dikenal 11,4%, pasangan/pacar sebanyak 1%, dan orang asing hanya 0,6%.
Menanggapi kasus kekerasan anak tersebut, Psikolog Anak dan Remaja, Irma Gustiana menyebut bahwa salah satu faktor anak melakukan tindak kriminal adalah disebabkan oleh kurangnya kasih sayang oleh keluarganya sehingga dia mencari pelampiasan untuk memuaskan masalah psikologisnya di luar.
Sedangkan dari sisi eksternal yakni lingkungan pergaulan, Irma menyebut bahwa seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal lantaran didasari oleh kebutuhan validasi atau pengakuan dari teman-teman sebayanya yang menganggap keren.
Baca Juga: Bullying Terjadi Lagi, FSGI: Sekolah Tak Boleh Cuci Tangan dan Main Aman
Bisa karena mencari validasi ya dari sesamanya. Itu juga berkaitan dengan sisi internal, yakni keluarga. Apabila anak tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarga, tidak menutup kemungkinan dia akan mencari hasrat itu di lingkungan luar demi mendapat atensi. Berbuat nakal, misalnya bahkan sampai kriminal, ujarnya, kepada Optika.id, Selasa (26/9/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, menurut Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Yuanita Aprilandini Siregar menjelaskan bahwa ketika seorang anak mulai menjadi atau terlibat bersama anggota suatu geng atau kelompok tertentu, maka dalam kepala anak tersebut tertanam pola pikir kelompok (group think).
Jika mereka tidak dapat mengikuti pola pikir kelompoknya maka akan terjadi proses bullying dan labelling (kekerasan emosional) bahkan berlanjut kepada kekerasan fisik, kata Yuanita.
Baca Juga: Penyebab dan Cara Mengatasi Erotomania, Delusi Halu Cinta Terhadap Orang Asing
Pada akhirnya, dalam konteks anak sebagai pelaku kekerasan, kekerasan fisik yang dilakukan tersebut dimaknai sebagai karakter maskulinitas dan identic dengan kejantanan. Biasanya, hal itu timbul lantaran mereka ingin menunjukkan kekuasaan serta senioritas pelaku terhadap adik kelasnya, maupun teman sebaya dalam pertemanan kelompoknya.
Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan tindak bully kepada adik kelasnya. Karena mereka merasa superior, mereka merasa kuat. Apabila orang tua tidak mawas dengan hal tersebut, anak akhirnya akan tumbuh dengan membawa watak dominasi maskulin itu dalam dirinya dan itu merugikan baik untuk dirinya, maupun orang lain, ucapnya.
Editor : Pahlevi