Optika.id - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mulai fokus membahas pasal yang mengatur hak cuti suami menemani istri melahirkan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).
Disebutkan dalam draf RUU KIA yang dikirim ke pemerintah, hak cuti yang diberikan kepada suami untuk menemani istri melahirkan yakni 40 hari. Sementara itu, hak cuti untuk menemani istri keguguran diberikan selama 7 hari.
Baca Juga: Penerimaan Tenaga Ahli AKD di Lingkungan DPR RI TA 2024
"Ini sebagai parenting living, menyangkut peran ayah sebagai orang tua dalam menemani istri dan anaknya," ujar Ketua Panja RUU KIA, Diah Pitaloka di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Dia menilai, pertimbangan tersebut diambil lantaran ada kebutuhan ibu yang melahirkan untuk ditemani dan didukung oleh suaminya baik secara fisik maupun psikologis. Menurutnya sosok kehadiran ayah sekaligus suami ini sangat berpengaruh bagi mental dan pemulihan istri usai melahirkan.
"Jadi ada kebutuhan bagi ibu untuk peran bapak, ini menempatkan ayah berperan dalam parenting living tadi," tegas Diah.
Diah menegaskan bahwa saat ini yang menjadi masalah justru bukan masalah ekonomi dan kinerja saat bekerja saja. Melainkan para suami dan istri ini akan jauh lebih produktif untuk bekerja apabila berada dalam mood atau suasana yang nyaman.
Mendengar pendapat dari Politisi PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini nyatanya banyak yang tidak setuju. Mayoritas yang tidak setuju yakni fraksi di Komisi VIII DPR sendiri. mereka khawatir bahwa cuti selama 30-40 hari bagi suami akan menimbulkan masalah lainnya seperti PHK.
Yang menolak salah satunya adalah John Kenedy Aziz selaku anggota dari Komisi VIII DPR fraksi Golkar. Menurutnya, tidak logis jika suami ikut cuti selama sebulan untuk menemani istri melahirkan. Khawatirnya adalah hal tersebut membuat PHK meningkat dan kesempatan kerja pun berkurang.
Baca Juga: RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, ICW: Pukulan bagi Publik dan Pemberantasan Korupsi
"Jangan sampai, ibu dan anaknya jadi tidak sejahtera karena bapaknya terancam kena PHK. Saya khawatir pemberi kerja tidak kuat dengan bapak cuti selama sebulan tentu ada konsekuensi PHK," ucap John.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal soal aturan cuti suami ini menurut John perlu dibahas lebih rinci serta dipertimbangkan lebih jauh lagi efek turunanya baik bagi suami maupun istri dan anaknya. Oleh sebab itu, dia menegaskan perlu pembahasan panjang nan mendalam mengenai pasal ini.
Senada dengan John, Endang Maria Astuti, anggota Komisi VIII DPR ini mengkhawatirkan dampak domino yang ditimbulkan dari aturan cuti suami ini. Maka dari itu, diperlukan pembahasan yang lebih mendalam dengan mengundang para ahli duduk dalam satu meja.
Apalagi, Endang menilai suami secara psikologis akan merasa terbebani dan berat jika sudah terbiasa bekerja dan harus cuti satu bulan untuk menemani istri. Pasalnya, saat suami memulai kerja kembali, aka nada beban mental berlebih yang bisa dirasakan oleh suami.
Baca Juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat
"Garis besarnya cuti baik, tapi banyak dampak efek domino yang perlu dibahas dan diantisipasi. Sekalipun PNS menurut saya sulit kalau 40 hari cuti," ungkap Endang.
Maka dari itu, sebagai solusi dia mengusulkan hak cuti suami menemani istri melahirkan dibatasi paling lama tujuh hari atau satu minggu saja. Dia merinci cuti itu yakni 3 hari cuti resmi dan sisanya kesepakatan antara penerima cuti dan perusahaan pemberi cuti.
"Saya kira satu minggu masih wajar kalau untuk suami. Untuk ibu cuti masih logis 40 hari. Tapi bagi ibu pun terlalu jenuh dan mengakibatkan tidak menikmati cuti kalau sampai 40 hari," tutur Endang.
Editor : Pahlevi