Optika.id - Potensi kerawanan pada Pemilu 2024 nanti diprediksi akan meningkat bahkan lebih buruk dibandingkan dengan Pemilu 2019. Hal tersebut diungkapkan oleh pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini. Menurut Titi, potensi kerawanan tersebut meningkat lantaran masa kampanye yang pendek sehingga membuat persaingan Pemilu 2024 lebih ketat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Akan tetapi, di saat yang sama justru jumlah partai politik peserta pemilu kembali bertambah banyak sehingga dimungkinkan akan memunculkan pragmatism caleg untuk tergoda melakukan transaksi suara maupun tindakan illegal lainnya misalnya menyuap penyelenggara pemilu serta melakukan manipulasi hasil suara.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Apalagi, melihat realita dan kondisi pada Pemilu 2019 silam yang digelar serentak. Alhasil, kepedulian dan pengawasan terbagi menjadi dua dan hanya menitikberatkan pada Pilpres saja dibanding pemilihan legislative yang melemah. Bahkan, di TPS pun rata-rata pemilih lebih tertarik pada pertarungan pilpres dibanding dengan penjajakan suara legislative.
"(Sehingga) kualitas kontrol atas prosesnya pun tidak lebih baik dibanding saat penghitungan suara pilpres," kata Titi, Jumat (29/9/2023).
Di sisi lain dirinya mengatakan bahwa selama ini manipulasi dan perubahan hasil suara banyak terjadi di TPS menuju lokasi rekapitulasi di kecamatan. Hal ini disebabkan lantaran tingkat pengawasan suara di kecamatan tidak seketat ketika berada di TPS yang lebih terbuka serta akuntabel dibandingkan dengan kecamatan yang cenderung membatasi kehadiran publik untuk terlibat dalam proses pelaksanaan penghitungan suara.
Baca Juga: Netizen Respon Upaya Anies Dirikan Partai, Ini Penjelasannya!
Sementara itu, lembaga penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bisa mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan tersebut. Caranya adalah dengan memperkuat kapasitas jajarannya dalam pengawasan serta penanganan pelanggaran dalam proses tahapan pemilu. Misalnya dengan membuka akses pelaporan pelanggaran dari dan bagi masyarakat yang mudah, aman, dan aksesibel. Tujuannya adalah masyarakat tidak merasa dipersulit dan merasa diwadahi aspirasinya untuk turut serta berpartisipasi dalam menjaga keadilan pemilu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya itu, Bawaslu juga perlu melakukan sosialisasi yang massif terkait larangan dan sanksi dalam pemilu, serta responsif dan transparan dalam menyampaikan ke hadapan publik terkait apa yang mereka lakukan dalam menangani kasus pelanggaran pemilu. Dengan melakukan upaya tersebut, diharapkan bisa menciptakan dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas Bawaslu dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
"Tentu saja Bawaslu perlu menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk berkolaborasi mengawal dan mengawasi jalannya pemilu. Instrumen sosialisasi Bawaslu perlu dibuat lebih mudah dipahami dan terdiseminasi baik ke berbagai lapisan masyarakat," ucap Titi.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Apabila masyarakat merasa bahwa penerimaan laporan dan penanganan pelanggaran pemilu tidak aksesibel, susah, rumit, maka mereka akan merasa ragu dan tidak percaya pada Bawaslu. Namun, jika sebaliknya, maka mereka akan tidak ragu dan tidak segan untuk terlibat dalam proses pengawasan pemilu terhadap segala kecurangan yang terjadi.
"Bawaslu perlu berkolaborasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) terutama terkait perlindungan pada para pelapor dan saksi yang sangat mungkin akan mendapatkan ancaman dan intimidasi ketika melaporkan dugaan pelanggaran yang melibatkan aktor atau elite politik," jelas Titi.
Editor : Pahlevi