Optika.id - Sejak Pemilu 2019, politik identitas muncul sebagai isu yang cukup serius karena dianggap berbahaya dan mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Kendati politik identitas merupakan sesuatu yang ilmiah dan melekat dalam masyarakat, namun menurut Pemerhati Keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, politik identitas bisa membawa masalah yang cukup serius di masa depan. Dirinya pun mengingatkan bahwa poltiik identitas sebenarnya wajar apabila muncul dalam upaya politik.
Sebenarnya politik identitas itu adalah sesuatu yang alamiah. Diferensiasi tertua di dunia, ya identitas. Toleransi itu hadir karena kesadaran kita akan identitas yang berbeda, kata Fahmi, kepada Optika.id, Sabtu (30/9/2023).
Baca Juga: Peta Politik Kekuatan Partai Pemilu di Surabaya
Dirinya pun tak mengelak apabila politik identitas dikaitkan oleh sebagian orang terhadpa fenomena post-truth lantaran kerap digunakan untuk mengatrol ketidaksukaan atau kebencian pada seseorang. Akna tetapi, situasi tersebut justru melahirkan masalah baru dan dinilai sebagia pseudo-problem.
Post-truth sudah eksis sejak awal peradaban. Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, sejak dulu umat manusia sudah membuat fiksi, berdongeng. Dulu bahkan parah. Tidak ada metode untuk menguji dongeng. Sekarang perkembangan media justru telah memungkinkan pengujian itu," ucapnya.
Dia pun menganggap bawha permasalah polarisasi pada tahun 2019 silam bukanlah isu politik identitas, melainkan upaya penebalan identitas lewat strategi politik tertentu. Alhasil, situasi masyarakat Indonesia tidak kondusif dan mudah terpancing hingga saat ini.
Pemilu 2019 diwarnai polarisasi yang tajam dan ketegangan bukan karena politik identitasnya, melainkan karena penebalan identitas dibumbui oleh maraknya penyebaran kebohongan dan informasi palsu, penyesatan informasi, aksi saling olok, saling fitnah dan pemompaan kebencian satu sama lain, kata dia.
Hal tersebut kemudian berbahaya lantaran adanya pembiaran, perlakuan yang tak imparsial terhadap para pelaku perbuatan melawan hukum, serta adanya kelemahan regulasi yang membatasi praktik black hat marketing dalam politik, khususnya pemilu.
Dirinya pun menilai bahwa potensi keamanan dan ketertibakan akan tetap muncul kendati ada upaya menghapus politik identitas dengan berbagai polesan. Menurutnya, perebutan suara tidak bisa dilepaskan dari adanya benturan dan gesekan demi meraih tujuan utamanya, yakni kemenangan.
Lantas, apakah politik identitas bisa dihapuskan?
Baca Juga: Aksi Akrobatik Orang Narsis dalam Panggung Politik
Dirinya menjawab bahwa hal tersebut tidak logis. Pasalnya, identitas digunakan sebagai sarana identifikasi target, asosiasi dan preferensi konstituen. Maka dari itu menurut Fahmi yang harus dihapus adalah politisasi identitas untuk memancing dan menggiring kebencian terhadap kontestan atau kelompok lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, upaya menghilangkan politik identitas dengan cara konsep pemilu dengan minimal 3 paslon tidaklah tepat. Dirinya mengingatkan bahwa politik identitas adalah salah satu alat untuk memetakan dan mengetahui perbedaan pemilih. Dirinya juga menyebut bahwa tiga calon yang maju untuk mencegah politik identitas adalah bentuk cipta kondisi yang berpotensi mengancam proses demokrasi itu sendiri.
Mau tiga calon atau lebih, jika memompa kebencian kemudian menjadi bagian dari strategi pemenangan, maka potensi kekerasan, gangguan keamanan dan perbuatan melawan hukum lainnya akan selalu hadir dalam pemilu," tuturnya.
Upaya yang lebih logis menurut Fahmi adalah perlakuan penegakan hukum yang imparsial, tegas serta adil. Alasannya yakni hal tersebut bisa menindak kelompok buzzer alias pendengung yang menyebarkan ujaran kebencian dan informasi palsu.
Baca Juga: Perolehan Sementara Partai Politik Terkuat di Jatim Versi Real Count Pemilu
Fahmi pun menawarkan opsi lain berupa perlunya komitmen ebrsama tanpa paksaan melalui regulasi. Dengan demikian, black hat marketing atau upaya memompa kebencian secara tidak patut untuk menarik pemilih bisa dihindari.
Yang kedua adalah penegakan hukum secara imparsial, adil dan tegas harus dikedepankan bagi pelaku serta korban kebencian.
Misalnya, dalam pemilihan ketua RT bisa terbentu poros atau kelompok-kelompok tertentu. Mereka bisa saja baku hantam satu sama lain dalam pemilihan ketua RT. Hal ini sama seperti narasi 3 paslon sebagai solusi pemilihan presiden bebas politik identitas dan polarisasi.
Nah, sebenarnya kekhawatiran atas perpecahan itu muncul sebagai akibat dari kebencian yang dipelihara. Ibarat pesta, setelah usai tak ada pihak yang mau merapikan arena. Dibiarkan berantakan. Jadi, narasi tiga calon atau lebih itu cipta kondisi, bukan solusi," pungkasnya.
Editor : Pahlevi