Optika.id - Berbagai manuver politik yang dilakukan baik oleh partai politik (parpol) maupun elite politik lainnya makin bergerak dinamis demi merebut hati pemilih menjelang pemilihan umum serentak (Pemilu) 2024 nanti. berbagai poros koalisi parpol kian menggencarkan konsolidasinya dan bersiap memanaskan mesin menjelang pemilu.
Kurang lebih sekitar empat bulan menuju pemilu yang rencananya akan digelar pada Februari 2024 nanti, parpol maupun paslon capres-cawapres harus berpikir serius untuk bisa memanfaatkan suara dari pemilih yang gamang dan belum menentukan pilihan atau biasa disebut sebagai undecided voters, serta pemilih yang berpotensi berayun atau beralih suara alias swing voters.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Menanggapi hal tersebut, analis politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menyebut jika adanya swing voters atau pemilih yang bisa beralih suara ini ada dua kategori. Kategori yang pertama adalah mereka yang belum menentukan pilihan parpol atau pasangan capres dan cawapres, kedua adalah mereka yang masih bisa mengubah pilihan.
Mereka akan menunggu sampai kampanye capres-cawapres ini. Karena itu momen krusial mereka ingin tahu sebenarnya siapa pasangannya, kata Kunto, kepada Optika.id, Jumat (20/10/2023).
Setiap partai menurut Kunto telah mengantongi pemilih yang termasuk ke dalam kategori swing voters. Mereka rata-rata adalah pemilih partai yang masih bisa dipengaruhi untuk memilih parpol lain. dia menambahkan bahwa menurut hasil survei yang dibacanya, rata-rata swing voters di tiap partai ada sekitar 10%.
Dan ini wajar karena belum kampanye dan mereka menunggu calon ini dan program-programnya, ucap Kunto.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Meskipun begitu, menurut Kunto para parpol harus pasang kuda-kuda dalam menanggapi pemilih swing voters ini dengan cara memikirkan strategi agar mendapatkan lebih banyak suara dari pemilih swing voters sehingga tidak kehilangan lebih banyak suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan kalau dilihat trennya ketika tidak ada isu yang besar, kecenderungan swing voters akan semakin kecil ya. Kecuali ada money politik yang terjadi di hari H (pemilu) yang kemudian ini berbahaya, imbuh dia.
Adapun menurut keterangan dari peneliti politik SMRC, Saidiman Ahmad, faktor tingginya swing voters ini bisa mencakup banyak hal. Antara lain, pemilihan yang masih beberapa bulan lagi, dan pemilih yang masih menunggu menentukan pilihannya.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Tak hanya itu, faktor lainnya adalah pemilihan presiden nanti tidak akan diikuti oleh incumbent sehingga publik tidak bisa secara lebih pasti berpihak ke siapa dan menentukan pilihannya berdasarkan evaluasi dari kinerja pemerintah.
Masyarakat Indonesia memang secara umum cukup kritis. Umumnya publik tidak terikat dengan partai atau kekuatan politik mana pun, sehingga penentuan pilihan lebih pada keputusan pribadi, jelas Saidiman, kepada Optika.id, Jumat (20/10/2023).
Editor : Pahlevi